Gus Baha', Aset NU yang Patut Dibanggakan
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*
TRIBUNNEWS.COM - Warga Nahdiyyin Indonesia sudah tidak asing dengan Gus Baha’, yang bernama lengkap KH. Ahmad Bahauddin Nursalim, putra KH. Nur Salim, pengasuh pondok pesantren al-Quran, Kragan, Narukan, Rembang. Kiai Nur Salim sendiri adalah teman akrab Gus Miek atau KH. Hamim Jazuli, Kediri. Mereka berdua pendiri Jantiko-Mantab atau Dzikrul Ghafilin.
Kedekatan Kiai Nur Salim dan Gus Miek karena nasab ayahanda Gus Baha' itu memang jalur ulama besar tanah Jawa. Dari garis ibunya, Gus Baha' adalah bagian dari keluarga besar ulama’ Lasem, Bani Mbah Abdurrahman Basyaiban atau Mbah Sambu. Sedangkan menurut penuturan Kiai Said Aqiel Siradj (Ketum PBNU), garis nasab Gus Baha' bersambung pada raja tanah Jawa, Brawijaya V Raja terakhir Majapahit.
Selain keturunan raja dan ulama Jawa, Gus Baha’ juga terkenal sangat alim di bidang fikih, hadits, dan tafsir al-Quran. Pria kelahiran 1970 ini sejak kecil sudah menghafal al-Quran di bawah bimbingan langsung ayahandanya, yang memiliki sanad kepada Kiai Arwani Kudus dan Kiai Abdullah Salam Pati. Kefasihan dan makhorijul huruf membaca al-Quran menjadi titik tekan jalan sanad ini. Baru setelah menginjak remaja, Kiai Nur Salim menitipkan Gus Baha' kepada Kiai Maimun Zubair, pengasuh pondok pesantren al-Anwar, Sarang Rembang.
Tahun 2003 atau ketika usia mencapai 33 tahun, Gus Baha' mengembara ke Yogyakarta. Beberapa musollah di Bantul memiliki jamaah yang setia menyelenggarakan pengajian. Kota pelajar itu mengagumi Gus Baha' karena keluasan ilmunya yang dibawa dari pondok al-Anwar.
Kealiman Gus Baha’ di bidang al-Quran mendapatkan apresiasi dari ulama-ulama besar di bidang al-Quran seperti profesor Quraish Shihab, profesor Zaini Dahlan, dan profesor Shohib. Bahkan, profesor Quraish Shihab menyebutkan, “di Tim Dewan Tafsir Nasional, Gus Baha’ tidak saja dikenal sebagai mufassir tetapi juga mufassir-faqih, yang paham detail aspek hukum dalam setiap ayat al-Quran”.
Pujian tidak saja datang dari ilmuan senior melainkan juga dari ustad-ustad muda milenial. Ustad Abdul Somad (UAS), misalnya, mengatakan bahwa Gus Baha’ sebagai Hafizul Quran, ahli tafsir, dan diberikan ilham oleh Allah, banyak gagasan-gagasan baru dari beliau. Selain UAS, Ustad Adi Hidayat juga mengapresiasi kedalaman ilmu Gus Baha’ dengan menyebutnya sebagai “manusia al-Quran”.
Penulis sendiri lebih cenderung melihat Gus Baha’ sebagai aset Nahdlatul Ulama (NU) di masa depan. Beliau adalah penjaga turats Islam. Terminologi turats mengacu kepada seluruh khazanah intelektual Islam sejak awal abad Hijriyah hingga perkembangan mutakhir yang sudah berusia 14 abad lebih ini. Tidak banyak ulama muda NU yang berjuang di wilayah turats klasik ini.
Wacana kembali pada turats sempat dikumandangkan oleh Prof. Dr. Ahmad Thayeb, Universitas al-Azhar, Mesir, sebagai kekuatan tunggal umat muslim. Karena mayoritas umat muslim sudah mengabaikan urgensi menjaga turats Islam ini, menurut Grand Syeikh Al-Azhar itu, banyak negara Islam dan kampus-kampus Islam di seluruh dunia tertinggal di belakang dibanding Barat. Selalu membebek buta dan terbelalak kagum pada segala pencapaian Barat.
Di Indonesia, Gus Baha’ tampil sebagaimana diharapkan oleh Dr. Ahmad Thayeb. Bisa dibilang, Gus Baha’ adalah representasi ulama Nusantara yang patut diandalkan.
Belakangan, satu video ceramah Gus Baha’ mengajak para santri untuk memberanikan diri menjelaskan kepakaran diri mereka, sebagaimana banyak para pekerja profesional, misal dokter gigi, bidan, dan lainnya terang-terangan menjelaskan profesi dan keahlian mereka. Sementara santri, menurut Gus Baha’, tidak ada yang berani membuat pengakuan tegas ahli fikih, ahli kitab Fathul Wahhab, dan lainnya.
Candaan Gus Baha’ semacam itu adalah ide brilian yang serius, karena menyangkut soal mentalitas kaum santri yang harus percaya diri, bangkit, menyaingi kepercayaan diri kaum akademisi lulusan perguruan tinggi. Gagasan Gus Baha’ perlu direspon serius karena tidak saja menyangkut persaingan kepakaran dalam bidang ilmu, tetapi juga potensial untuk menyelamatkan publik dari belajar kepada ustad yang tidak memiliki keahlian dalam bidang agama.
Agama yang jatuh pada tangan orang yang tidak ahli bukan saja berdampak buruk secara personal melainkan meluas pada urusan sosial dan politik. Sering kali atas nama agama, publik jatuh pada fanatisme, dan ujung-ujungnya proyek politik kekuasaan. Agama selalu dijual setiap 5 tahun sekali, lebih-lebih mendekati pesta demokrasi seperti Pileg dan Pilpres.