News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tidak Ambil Langkah Solutif, Pemerintah Bisa Dianggap ‘Menikmati’ Sikap Koersif Warga

Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi demonstrasi

TRIBUNNERS - Penggagalan yang berlanjut tindakan teror atas rencana diskusi oleh Constitutional Law Society (CLS) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), merupakan bentuk persekusi atas kebebasan akademik dan kebebasan berpendapat, yang dijamin oleh Konstitusi Republik Indonesia. 

Pemasungan kebebasan ini adalah bentuk penghancuran literasi dan ilmu pengetahuan yang berdampak buruk pada demokrasi yang berkualitas.

Diskusi merupakan media pertukaran gagasan sekaligus sarana untuk memahami suatu kondisi lebih dalam dan dari beragam perspektif.

Baca: Ketua KAHGAMA Otto Hasibuan Minta Usut Tuntas Teror Terhadap Mahasiswa UGM dan Dosen UII

Oleh karena itu, penyelenggaraan diskusi menjadi salah satu bentuk mimbar akademis yang dipilih untuk mengulik pandangan akademis dalam melihat suatu peristiwa.

Baca: Unggah Tulisan Jokowi Tak Lulus UGM di Twitter, Warga Cianjur Mengaku Handphonenya Diretas

Cara ini menjadi sarana literasi bagi akademisi secara khusus maupun masyarakat secara umum agar tidak menelan suatu narasi peristiwa secara mentah-mentah.

Tindakan persekusi atas kebebasan berpendapat ini bukanlah yang pertama terjadi di masa pemerintahan Jokowi sejak 2014 silam. 

Baca: Tunjukkan Citra Penegak Hukum, Polisi Harus Ungkap Peneror Diskusi di UGM

Indeks HAM yang dirilis SETARA Institute (2019) menunjukkan bahwa skor untuk kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat selama pemerintahan Jokowi (2014-2019) hanya 1,9 dengan skala 1-7.

Sementara rata-rata skor untuk 11 variabel HAM yang dievaluasi adalah 3,2. 

Rendahnya skor untuk kebebasan berekspresi dan berpendapat ini didukung oleh data pelanggaran yang serius seperti 204 peristiwa kriminalisasi individu, pemblokiran 32 media online, 961.456 pemblokiran situs internet dan akun media sosial, 7 pembubaran diskusi, pelarangan buku, dan penggunaan delik makar yang tidak akuntabel untuk menjerat sekurang-kurangnya 7 warga negara.

Pemerintah, sebagaimana dikemukakan Menkopolhukam, Mahfud MD, tidak berada di balik teror tersebut (KompasTV, 30/5), akan tetapi membiarkan persekusi dan pelanggaran HAM terjadi atas warga negara adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.

Jika tidak mengambil langkah solutif dan pelembagaan penghapusan praktik pelanggaran kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat, pemerintah bisa dianggap menikmati seluruh tindakan persekusi dan sikap koersif warga atas dalam berbagai peristiwa. 

Benefit politik atas praktik pembungkaman resistensi terhadap pemerintah adalah pemerintah.

SETARA Institute mengecam keras ancaman, teror, dan intimidasi yang dilakukan oleh oknum masyarakat tersebut. Praktik koersif tersebut bertentangan dengan demokrasi.

SETARA Institute menegaskan pentingnya pengelolaan deliberative democracy. Perspektif yang beragam dan pembahasan suatu perkara harus diberikan ruang aman untuk diekspresikan.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini