Berdasarkan Laporan Keuangan PLN per 31 Desember 2019 yang dilaporkan pada 18 Mei 2020, penerimaan subsidi tahun 2019 sebesar Rp. 51,71 triliun.
Penerimaan pendapatan kompensasi Rp. 22,25 triliun. Angka ini sedikit naik diandingkan tahun 2018 yang sebesar Rp. 48,10 trilun, dan penerimaan atas kompensasi 2018 yang sebesar Rp. 23,17 triliun.
Pada penyediaan elpiji ada biaya pengadaan, pembelian (impor) dan biaya distribusi.
Besaran impor elpiji adalah 75% dari seluruh kebutuhan. Sekitar 90% impor ini dipenuhi dari Timur Tengah, utamanya Arab Saudi. Kuota elpiji bersubsidi tahun 2020 ini 7 juta Ton.
Tak banyak pihak yang mempersoalkan, dan tak banyak pula perdebatan tentang biaya penyediaan listrik maupun elpiji hingga sampai ke konsumen. Khalayak percaya seolah demikian adanya.
Seiring berjalannya waktu, besaran subsidi terus meningkat.
Tapi sayangnya belum kuat kesadaran untuk menemukan langkah-langkah yang bisa mengurangi subsidi secara signifikan.
Terus meningkatnya subsidi energi seharusnya memunculkan desakan untuk segera dilakukan transformasi pengelolaan subsidi energi.
Tujuannya agar subsidi energi ini tidak menjadi beban tetap APBN.
Potret Subsidi Energi
Harga listrik bersubsidi 450 VA adalah Rp. 415 per kWh. Harga ini tidak pernah naik sejak 2010. Demikian pula tarif listrik bersubsidi 900 VA yang sebesar Rp. 605 per kWh.
Tarif ini ini jauh lebih rendah dari tarif normal, yang memperhitungkan keekonomian, yaitu biaya penyediaan plus margin.
Sampai Agustus 2019, jumlah pelanggan listrik 450 VA bersubsidi tercatat 23,9 juta, dan pelanggan listrik 900 VA bersubsidi mencapai 6,9 juta pelanggan. Sedangkan pelanggan 900 VA non subsidi sebanyak 2,7 juta pelanggan.
Mengacu pada jumlah pelanggan 450 VA dan sebagian pelanggan 900 VA yang dianggap tidak mampu membayar penuh listriknya, pemerintah menyalurkan dana subsidi kepada PLN atas selisih tarif normal PLN dan tarif yang diberlakukan kepada rumah tangga tidak mampu tersebut.