OLEH : PETRUS SELESTINUS, Ketua Tim Task Force Forum Advokat Pengawal Pancasila & Koordinator TPDI
PERISTIWA main hakim sekelompok orang mengatasnamakan Laskar Solo, mendatangi sebuah acara keluarga almarhum Habib Asegaf Al-Jufri di Solo, pada malam 8 Agustus 2020, merupakan perbuatan yang sangat tercela.
Memaksa tuan rumah membubarkan acara adat midodareni, merupakan perbuatan yang sangat tercela dalam pandangan moralitas bangsa Indonesia, terlepas latar belakang etnis, agama dan kebangsaan pelakunya.
Massa juga merusak sejumlah mobil dan memukuli beberapa anggota keluarga, mengeroyok tuan rumah, sembari menanyakan penyelenggaraan acara tuan rumah menggunakan tuduhan tertentu.
Perilaku ini tidak boleh dipandang sebagai perisitiwa heroik untuk membela agama. Tidak boleh dipandang sebagai tindak pidana biasa, melainkan masuk kategori perilaku intoleran dan radikal.
Mereka telah memaksakan kehendak menolak pelaksanaan keyakinan kelompok beragama lain yang tidak sejalan dengan keyakinan kelompok mereka.
Ini jelas tindakan melanggar hukum, persekusi, tidakan mengambilalih tugas dan wewenang penegak hukum, yang sesungguhnya dilarang.
Perbuatan ini diancam pidana pasal 59 ayat (3) huruf a dan d, jo. pasal 82 A ayat (1) dan ayat (2) UU No. 16 Tahun 2017 Tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas UU No. 17 Tahun 2013 Tentang Ormas Menjadi Undang-Undang.
Perbuatan kelompok ini dapat dikualifikasi perbuatan kriminal yang dilarang UU bagi ormas manapun, yaitu melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras atau golongan dan melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum.
Sesuai peraturan perundang-undangan, perbuatan ini diancam pidana penjara seumur hidup atau paling rendah 5 tahun dan paling tinggi 20 tahun penjara.
Pemberitaan media setempat (Solo) telah mengungkap fakta kejadian yang berkategori intoleran, SARA dan radikal itu bermula saat keluarga almarhum Habib Segaf Al-Jufri menggelar acara midodareni (doa malam sebelum akad nikah).
Rumah tempat acara itu digelar yaitu di Jalan Cempaka No81 Kampung Mertodranan RT 1/1 Kel/Kec. Pasar Kliwon Kota Surakarta, tiba-tiba digeruduk massa yang sebagian mengenakan penutup wajah dan kepala.
Massa mempertanyakan kegiatan yang sedang berlangsung di dalam rumah. Mereka curiga tuan rumah menyelenggarakan acara keagamaan.
Kapolda Jawa Tengah, Kapolres Solo dan Polsek setempat tidak boleh hanya sekedar membubarkan aksi kelompok yang menamakan diri sebagai Laskar Solo, tetapi harus menindak dengan tindakan tegas.
Tangkap dan tahan serta adili kelompok yang menamakan diri Laskar Solo, dengan menerapkan UU No 16 Tahun 2017 Tentang Ormas atau Perpu Ormas secara konsisten.
Baca: Kronologis Oknum Ormas Bubarkan Acara Pernikahan di Solo Hingga Melukai 3 Orang: Teriak Bubar, Bubar
Baca: Selain 3 Orang Terluka, 5 Kendaraan Rusak akibat Insiden Pembubaran Acara Keluarga di Solo
Presiden Jokowi dengan segala risiko politik telah mengeluarkan Perpu No 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Terhadap UU No. 17 Tahun 2013 Tentang Ormas yang disahkan menjadi UU No 16 Tahun 2017 Tentang Ormas.
Mengapa harus Perpu, karena UU Ormas No. 17 Tahun 2013, secara nyata dan sistematis telah memperlemah negara ketika hendak mengeksekusi kebijakannya menindak ormas radikal, intoleran atau ormas yang anti Pancasila.
Oleh karena itu mestinya aparatur negara seperti Polri menjadi digdaya ketika ormas intoleran, radikal dan teroris muncul dan melakukan aksi brutal secara sporadis terhadap kelompok minoritas.
Kejadian di Solo, Yogya, Kuningan, Cianjur, Riau, Medan, Padang dan tempat-tempat lain memperlihatkan aksi intoleran dilakukan secara terbuka dan berani.
Baca: Oknum Ormas di Solo Bubarkan Paksa Acara Makan-makan Keluarga, Polisi: Ada Kelompok Intoleransi
Baca: Insiden Pembubaran Acara Keluarga di Solo, Dikira Acara Adat Ternyata Makan-makan, 3 Orang Terluka
Aksi-aksi itu terdengar nyaris tak ada yang berlanjut ke pengadilan. Selalu berujung damai dan menegasikan proses pidana. Dengan demikian kepentingan umum dan kepentingan penegakan kebenaran serta keadilan telah dikorbankan.
Inilah yang membuat kelompok radikal dan intoleran ini menjadi besar kepala dan merajalela di mana mana, karena Kapolda, Kapolres dan Kapolsek tidak digdaya dan lemah menghadapi kelompok ini.
Publik lantas curiga, jangan-jangan beberapa pimpinan Polri dan beberapa anggotanya sudah terpapar radikalisme dan intoleransi, karena banyak kasus pidana terkait hal ini diselesaikan secara damai, proses pidananya dikesampingkan.(*)