OLEH : PETRUS SELESTINUS, Koordinator TPDI/Advokat Peradi
PUTUSAN PK No 12 PK/Pid.Sus/2009, tertanggal 11 Juni 2009 dalam perkara Tindak Pidana Korupsi Cessie Bank Bali yang didakwakan ke terdakwa Djoko S Tjandra dalam dakwaan primer dinyatakan terbukti secara sah.
Karenanya Majelis Hakim PK menghukum terdakwa Djoko S Tjandra pidana penjara 2 (dua) tahun plus perintah agar barang bukti berupa uang sebesar Rp 546.468.544.738 dirampas untuk dikembalikan kepada negara.
Putusan itu memperlihatkan JPU Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan seolah-olah konsisten menegakkan hukum, keadilan dan kepastian hukum.
Karena sejak Djoko S Tjandra diputus bebas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 28 Agustus 2000, JPU langsung mengajukan kasasi hingga upaya hukum PK ke Mahkamah Agung.
Akhirnya mereka berhasil mempidanakan Djoko S Tjandra dengan pidana penjara 2 tahun dan perintah agar uang sebesar Rp. 546.468.544.738 dirampas untuk negara.
Baca: Babak Baru Kasus Djoko Tjandra: Ditetapkan jadi Tersangka Pemberi Suap hingga Dugaan Berkonspirasi
Baca: Bersurat ke Kejagung, MAKI Minta Ada Pelibatan KPK di Kasus Djoko Tjandra
Putusan itu juga telah memperkuat surat dakwaan JPU, Djoko S Tjandra telah terbukti secara bersama-sama Drs Setya Novanto, Rudy Ramli, Pande Nasorahona Lubis,Tanri Abeng, Syahril Sabirin, Bambang Subianto dan lain-lain.
Untuk masing-masing memiliki peranan, perbuatan dan penuntutan hukumnya terpisah sebagai perbuatan berlanjut, sehingga diharapkan berkas perkara a/n Drs Setya Novanto dkk dilimpahkan ke penuntutan.
Namun yang terjadi justru JPU menerapkan model penegakan hukum, "penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku korupsi yang sesungguhnya".
Padahal strategi JPU menjerat pelaku dengan cara berkas perkara displit sudah tepat, sehingga kelak putusan perkara yang satu, menjadi dasar yuridis untuk menjerat pelaku lain.
JPU dalam waktu yang hampir bersamaan mengajukan berkas perkara yang displit masing-masing a/n Pande N Lubis, Syahril Sabirin, dan Djoko S Tjandra. Namun dari 3 berkas perkara dimaksud semula hanya Pande N Lubis dan Syahril Sabirin yang divonis penjara.
Sedangkan perkara a/n Djoko S. Tjandra diputus bebas hingga putusan kasasi Mahkamah Agung, hingga JPU kejar terus dengan mengajukan PK.
Melindungi pelaku Sesungguhnya
Putusan Kasasi Mahkamah Agung 10 Maret 2004 a/n Pande N. Lubis, menjadi pintu masuk bagi JPU untuk menjerat pelaku lain. Dalam Surat Dakwaan Primair a/n. Pande N Lubis, Mahkamah Agung menyatakan terdakwa terbukti secara bersama-sama Syahril Sabirin, Tanri Abeng, Djoko S.Tjandra, Drs. Setya Novanto, dst. secara melawan hukum melakukan Tindak Pidana Korupsi secara berlanjut yang penuntutan hukumnya terpisah, merugikan keuangan negara sebesar Rp. 904.642.428.369.-
Atas dasar putusan Mahkamah Agung No 308 K/Pid/2001 tanggal 10 Maret 2004, dalam perkara a/n Pande N Lubis yang telah berkekuatan hukum tetap, maka, JPU tidak boleh hanya memproses PK atas putusan bebas Djoko S Tjandra.
Alasannya, putusan Mahkamah Agung yang mempidana Pande N Lubis, tetapi JPU juga seharusnya melimpahkan berkas perkara a/n Tersangka Setya Novanto, Tanri Abeng, Bambang Subianto dkk, ke pengadilan untuk dimintai pertanggungjawaban pidana.
Faktanya, meskipun proses pidana dimaksud sudah 20 tahun lamanya (sejak 1999 s/d sekarang), ada bukti keterlibatan Pande N Lubis, Syahril Sabirin dan Djoko S Tjandra, tetapi kejaksaan masih menerapkan "tebang pilih".
Pelaku lain, Drs Setya Novanto, Tanri Abeng, Bambang Subianto dan kawan-kawan, atau pihak lainnya, tidak dijerat hukum.
Ini jelas praktik penegakan hukum yang disebut "penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya".
Dakwaan primer JPU untuk masing-masing terdakwa dalam berkas terpisah sudah dideclare melalui putusan PK Mahkamah Agung.
Para pelaku melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut dengan cara melawan hukum, merugikan keuangan negara, tetapi pelaku lainnya tidak kunjung diproses.
Kejaksaan Mengecoh Publik
Ada apa dan mengapa khusus untuk berkas perkara a/n Drs Setya Novanto di SP3 oleh kejaksaan, dan mengapa tidak dibuka kembali untuk dilimpahkan ke penuntutan pascaputusan Mahkamah Agung No. 308 K/Pid/2001, tangal 10 Maret 2004 yang mempidana terdakwa Pande N Lubis.
Begitu pula berkas perkara a/n Tanri Abeng, Bambang Subianto dkk, hingga kini tidak diketahui nasibnya. Terdapat dugaan kuat berkas perkara dimaksud ikut terbakar bersamaan kebakaran yang terjadi di gedung Kejaksaan Agung beberapa hari lalu.
Ini memang ironis dan memalukan, bahkan dianggap hanya mau mengecoh publik, karena kejaksaan mau bersusah payah melakukan PK untuk menghukum Djoko S. Tjandra, tetapi tidak menginisiasi untuk membuka kembali berkas perkara Setya Novanto, Tanri Abeng, Bambang Subianto dkk.
Bila dilimpahkan ke engadilan, proses hukumnya lebih sederhana dan tidak rumit. Terlebih-lebih surat dakwaan primer terdakwa Djoko S Tjandra dinyatakan terbukti menurut putusan PK Mahkamah Agung.
Di sini ada konsistensi semu dari JPU dan Kejaksaan Agung ketika menuntut pertanggungjawaban pidana dalam Tindak Pidana Korupsi Cessie Bank Bali.
JPU nampak konsisten melawan putusan bebas Djoko S. Tjandra mulai dari putusan bebas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hingga kasasi dan PK ke Mahkamah Agung.
Tapi menutup rapat-rapat kasus tindak pidana korupsi pelaku lain (Setya Novanto dkk) tanpa alasan logis dan dapat dipertanggungjawabkan.
Padahal sikap lawan JPU didasarkan pada putusan pemidanaan Pande N Lubis dengan pertimbangan tidak boleh ada diskriminasi dalam penegakan hukum, harus ada keadilan (masa bersama-sama tetapi ada yang bebas/dihukum), kemanfaatan dan kepastian hukum.
Tetapi di balik itu ada perilaku diskriminasi. Kejaksaan hanya berhenti pada nama terdakwa Djoko S Tjandra selama 20 tahun memburu para pelaku korupsi Cessie Bank Bali.(*)