Oleh Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.
TRIBUNNEWS.COM - Tidak ada yang aneh dari judul di atas. Pertama, kata ‘anjay’ tidak ada di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kecuali bisa jadi kamus gaul anak zaman now.
“Kata dalam bahasa gaul yang biasanya digunakan untuk menyampaikan ekspresi kekaguman, kaget dan tertarik. Banyak yang berpendapat sebenarnya kata ini berasal dari kata kasar yang diplesetkan agar terdengar lebih halus.” (lectur.di) Kata ini punya ‘sinonim’ anjrit, bahkan ‘anjim’ ini punya mosaik makna sesuai siapa yang memandang melalui jendela kaca patri itu.
“Kata ‘anjay’ diusulkan dilarang dipakai,” ujar saya kepada anak bungsu saya saat sama-sama nonton podcast. “Padahal, artinya bisa ‘keren’ lho Pa,” sahut si bungsu cuek. Bisa jadi, dia memakai definisi ‘ekspresi kekaguman’.
Kedua, mana bisa si bisu berteriak? Benar kalau kita memaknainya secara letterlijk atau harafiah. Namun, jika si bisu berarti semua kita yang sebenarnya mampu bicara tetapi dibuat tidak bisa bahkan karena apatis akhirnya tidak mau, bukankah itu jadi masuk akal? Kata ‘teriak’ pun tidak harus secara nyaring dibunyikan, tetapi lewat medsos.
Baca: Klarifikasi Lutfi Agizal soal Kata Anjay, Sudahi Pro Kontra hingga Permintaan Maaf
Saya pernah menegur seorang mahasiswa yang memakai status ‘ta*k’ di WA-nya. Saat saya tegur, dia berkata, “Saya tidak bermaksud kasar kepada semua orang Pak Xavier,” ujarnya, “saya hanya jengkel sekali dengan Papa saya.” Saat saya jelaskan bahwa kejengkelan dengan seseorang tidak semestinya diumbar ke media sosial seperti itu dia buru-buru menghapus statusnya.
Ketiga, lewat streaming. Saat pagebluk menggebuk dunia, bahkan Indonesia lebih dari setengah tahun dan diperkirakan bakal berlanjut sampai melewati tahun 2020 ini, gebukannya membuat banyak orang puyeng, bahkan KO. Untuk menghindari tatap muka dan kerumunan, protokol kesehatan untuk physical distancing membuat online semakin on saja.
Saat perusahaan lain menggelapar, mereka yang bergerak di bidang internet dan hiburan via streaming justru makin berkibar. Netflix, misalnya, diberitakan meraup untung amat besar justru di masa pandemi seperti ini. Hal ini juga memicu hati pilu rasa empedu. Kasus RCTI menggugat UU Penyiaran pun jadi viral. Maklum, banyak YouTuber bisa terganggu. Apa masalah yang paling menukik? Dugaan para pakar yang ramai di media sosial, jika pundi-pundi terganggu, siapa pun bisa naik darah karena perusahaannya kekurangan darah.
Menjinakkan Kuda
Saat tugas bicara di luar negeri, di waktu jeda, saya pakai untuk ikut pelatihan menjadi cowboy. Karena sifatnya informal, maka pelatihan pun dilakukan secara santuy (bahasa apa lagi ini?) Dari reception area, setiap peserta dibawa ke base camp dengan traktor dengan alas duduk jerami. Meskipun ada yang merasa risih dan gatal, kami semua merasakan kegembiraan karena bisa lepas dari kepenatan rutinitas.
Di training center berupa padang penggembalaan terbuka, kami duduk bertingkat di sebuah arena. Di tengah ada seorang cowboy beneran mengajarkan cara menggunakan cambuk dan laso. “Daerah inilah yang paling peka dari seekor kuda,” ujarnya sambil menunjuk bawah telinga. “Anda hanya perlu menyentuh secara halus bagian ini maka kuda akan tahu apakah dia harus belok ke kanan atau ke kiri.”
Dia lalu meminta setiap orang untuk maju dan mencoba menggerak-gerakkan cambuk seperti yang dia ajarkan. Karena saya mendapat giliran pertama, saya berkata, “Saya mau melihat dulu.” Cewek pirang di sebelah kiri saya langsung maju dengan senyum mengejak ke arah saya yang saya artikan, “Begitu saja tidak berani!” Saat dia mengayun-ayunkan cambuknya, ternyata ujung cambuknya justru menghajar matanya sendiri.
Terus-terang, saya tidak berani tertawa, meskipun secara reaktif ingin melakukannya. Saya tidak ingin tertawa di atas penderitaan orang lain. Ini bahasa halusnya. Bahasa kasarnya, saya tidak ingin balas dendam. Bisa jadi cewek itu marah dan mengayunkan cambuknya ke arah saya. Yang terakhir ini tentu hanya imajinasi saya yang tidak mungkin terealisasi.
Setelah itu ada pelajaran cara melemparkan laso, mula-mula di tonggak kayu diam secara bertahap mencoba melakukannya ke kuda beneran yang bergerak dengan lincah. Ada juga permainan duduk di atas kuda kayu yang terus bergerak cepat dan melonjak-lonjak. Untuk rodeo semacam ini saya memilih untuk tidak berpartisipasi daripada terjatuh dan tidak bisa pulang ke tanah air.
Pelajaran dari padang penggembalaan yang paling saya ingat hari ini adalah ucapan si cowboy anjay, eh gahar. “Untuk menangkap kuda liar, pakai kuda jinak sebagai pancingan. Setelah dikumpulkan dan dilatih, kuda-kuda liar ini siap untuk dipakai membantu manusia, khususnya di peternakan.”
Meliarkan Orang Utan
Perburuan liar mengakibatkan banyak orang utan ditangkap untuk dipelihara. Para pecinta binatang lebih suka orang utan tetap berada di hutan. Itu memang pemikiran waras. Namun, apa saja yang berbau komoditas—termasuk memperjualbelikan mawas—tetap marak. Usaha untuk mengembalikan orang utan ke habitat aslinya, yaitu hutan, dilakukan oleh LSM pecinta alam dan lingkungan.
Salah satu kendala untuk mengembalikan orang utan ke hutan adalah masalah adaptasi. Karena sudah terbiasa bersinggungan dengan manusia, dia ‘lupa’ cara mencari makanan sendiri. Oleh sebab itu, mereka ditempatkan di sebuah hutan lindung dan untuk sementara waktu dipasok makanan yang secara berkala dikurangi agar bisa lepas dari ketergantungan dengan manusia.
Mengendalikan Diri Sendiri
Kita bisa saja menjadi kaisar atau raja besar yang mengendalikan jutaan orang. Pertanyaannya, apakah orang dengan kuasa sebesar itu bisa mengendalikan diri sendiri? Raja Salomo yang dianggap sebagai orang paling bijak di atas muka bumi pun, kesulitan melakukan hal ini sehingga mempunyai banyak sekali istri. Alkitab mencatat raja kaya raya ini memiliki tujuh ratus istri dari kalangan bangsawan dan tiga ratus gundik. Sejarah mencatat justru istrinya yang banyak itulah yang membuatnya jatuh.
Manusia yang dianggap ‘sepupu jauh’ dari primata (saya tidak setuju) mempunyai naluri hewan di dalam dirinya. Nafsu ‘liar’ itulah yang membuat manusia tidak bisa dikungkung, dalam sangkar emas sekalipun. “Asal ada makanan dan tempat tinggal yang layak, orang tidak neko-neko,” ujar seorang sahabat yang lalu memberikan contoh Singapura. Negara tetangga ini dianggap tidak demokratis tetapi rakyatnya damai karena berkecukupan. Hongkong yang dianggap negara maju pun ternyata tidak serta merta jadi ‘anak baik’. Buktinya gelombang demonstrasi terus-menerus terjadi karena tidak mau didikte RRT.
Bagaimana dengan kita orang Indonesia? Setelah lepas dari orde baru, benarkah kita memasuki orde reformasi? Pembatasan tetap ada agar kita tidak benar-benar liar seperti hewan, bahkan primata sekalipun. Jalan raya yang tidak ada rambu-rambu lalulintasnya justru membuat tabrakan makin parah. Pada hakikatnya, pengawasan melekat—mengendalikan diri sendiri—itulah kuncinya. Generasi milenial yang dilarang memakai kata ‘anjay’ justru mengumbarnya di mana-mana. Apalagi bagi mereka, ‘anjay’ bisa bermakna ekspresi kekaguman. Entah yang lain.
Berteriak dalam Diam
Seorang bocah laki-laki yang duduk di kursi belakang mobil terus berdiri dan mengomentari setiap hal yang dia lihat di jalan. Sang ayah—yang merasa terganggu dan tidak bisa berkonsentrasi menyetir—membentaknya, “Jika kamu tidak duduk diam, Papa turunkan di sini.”
Bocah itu memang diam, tetapi wajahnya cemberut. “Apa yang hendak kamu katakan?” tanya sang ayah yang tidak tahan dengan suasana hening yang mencekam itu.
“Secara fisik aku memang duduk, tetapi otakkku berdiri dan mulutku berteriak!” seru anaknya dari belakang.
Bocah itu mewakili setiap orang yang merasa diikat fisiknya dan diplester mulutnya. Inilah teriakan mereka dalam bisu: “First they teach you to talk, then they teach you to walk, and as soon as you learn how to do both, they tell you to sit down and be quiet.”
Saat kebebasan bicara terbelenggu—atau merasa dibatasi—eufemisme dan penggunaan istilah baru akan selalu bermunculan. Santuy aja. You memang anjay.
*Xavier Quentin Pranata, penulis buku