Mungkin pula kultur sekolah Seminari Katolik masih ada padanya –meski beliau tidak menyelesaikan seminarinya.
Rambut beliau lurus tapi dibiarkan agak panjang. Ibarat guru besar, Pak Jakob itu sempurna karena linier. Tidak seperti saya yang zig-zag: tamat SMA di Magetan langsung ke Kalimantan.
Kawin pun dengan galuh Banjar, lalu jadi bonek, dan menjelang tua harus mengganti hati saya dengan hatinya orang Tionghoa dari Tianjin.
Pak Jakob adalah orang yang santun –santun yang linier. Itu tercermin dari gaya pemberitaan koran yang dilahirkannya: Kompas.
Jurnalistik Kompas adalah jurnalistik yang santun. Terutama bisa dilihat dari Tajuk Rencananya. Yang bagi pengkritiknya dianggap sebagai tajuk dengan gaya yang muter-muter.
Di era saya muda, gaya Kompas seperti itu sangat menjengkelkan. Tidak radikal sama sekali. Tidak seperti Harian Kami-nya Nono Anwar Makarim yang dar-der-dor.
Tidak seperti Harian Indonesia Raya-nya Mochtar Lubis yang memberontak. Atau tidak seperti Harian Nusantara-nya –aduh lupa siapa pemiliknya– yang menyerang-nyerang.
Keberanian Kompas yang paling berani –menurut anak-anak muda kala itu– hanyalah sebatas ini: menyindir.
Tapi ''Purwodadi kutane, sing dadi nyatane''. Maksudnya: yang penting kan kenyataannya. (Di kalimat peribahasa itu terdapat akhiran ''ne''. Maka kata ''kuto'' menjadi ''kuta'', ''nyoto'' menjadi 'nyata'').
Kenyataan adalah bukti yang paling tidak bisa diabaikan. Kenyataannya: Kompas-lah yang paling hebat. Paling besar. Paling kaya. Kaya-raya.
Harian Kami, milik ayah Nadiem Makarim itu, tewas dibredel. Harian Nusantara, milik TD Hafaz, juga dibredel.
Harian Indonesia Raya-nya Mochtar Lubis belakangan juga dibredel. Semua karena tidak mau tunduk pada kemauan penguasa.
Harian Kompas memang juga pernah dibredel. Tapi sangat sebentar –mungkin seminggu saja. Koran saya dulu malah tidak pernah dibredel.
Saya ikut gaya Pak Jakob yang sesekali harus mengalah –untuk menang. Lebih baik tetap bisa menyindir bertahun-tahun daripada sekali membentak lalu mati.