News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Pemilukada Bukan Komitmen Demokrasi

Editor: Setya Krisna Sumarga
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

SIMULASI PEMUNGUTAN SUARA - KPU Kota Tangerang Selatan, menggelar simulasi pemungutan suara pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Tangerang Selatan, di lapangan PTPN VIII, Serpong, Sabtu (12/9/2020). Simulasi dilakukan di TPS 18 dan diikuti 419 orang pemilih dari Kelurahan Cilenggang, Serpong, Kota Tangerang Selatan. Kegiatan ini disaksikan langsung Ketua KPU Pusat, Arief Budiman dan dilakukan dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Pilkada Kota Tangerang Selatan akan digelar pada 9 Desember mendatang. WARTA KOTA/NUR ICHSAN

Lalu bagaimana pemimpin dapat terpilih, sementara di sisi lain keterpilihannya itu berasal dari suara rakyat?

Ada banyak ragam cara yang dilakukan. Paling populer adalah politik uang. Uang bukan hanya dimaknai dalam bentuk tunai, tetapi juga dalam logistik dan barang.

Cara lainnya adalah rekayasa sosial di mana calon pemimpin dicitrakan punya kemampuan untuk menyejahterakan rakyat dengan citra diri yang unggul dan suci. Lalu mengapa rakyat dapat terpengaruh?

Dalam bentuk yang pragmatis uang merupakan alat yang efektif. Kesadaran utama orang untuk mampu mempertahankan hidup dan menikmatinya dengan segala ukuran adalah memiliki uang.

Sistem ekonomi liberal menjadikan uang sebagai solusi untuk banyak hal.  Tak heran,  dalam pemilu jika orang dihadapkan dengan tawaran uang maka peluang untuk terpengaruh pikiran dan pilihannya menjadi terbuka lebar (Berenschot dan Aspinall, 2019). 

Penyebab lainnya adalah narasi-narasi yang mampu mempengaruhi pilihan. Di dalam narasi tersebut ada sekumpulan janji dan harapan yang dibutuhkan oleh rakyat.

Jika narasinya tepat, maka akan muncul kesadaran yang termobilisasi massif untuk memenangkan calon pemimpin yang dianggapnya ideal. Kesadaran itu secara mekanis akan bekerja dengan kadar yang berbeda-beda.

Semakin besar orang terpengaruh akan semakin besar kontribusi yang dilakukannya. Lalu, apakah tidak ada ruang rasional?

Ruang  tersebut tetap ada dalam skala yang rendah. Terkadang ruang itu juga berada dalam jebakan narasi yang ditawarkan.

Karena sifatnya kompetisi, dimunculkan berbagai rasa: kebanggaan, ketakutan, dan seterusnya agar  mampu semakin luas mempengaruhi pemilih lainnya untuk memenangkan calon yang didukung.

Kemerosotan Demokrasi

Sejak 2005 yang memulai  pilkada langsung, sudah ribuan pilkada yang terselenggara. Namun dari beribu peristiwa pilkada, tidak tertarik pelajaran untuk melihat permasalahan dari pelaksanaan pesta demokrasi itu.

Permasalahan yang dianggap penting hanyalah mekanisme aturan main pemilihan yang selalu diperbaiki, selebihnya hanya memperkuat status quo partai-partai politik besar.  Sementara, rakyat tidak terdidik secara politik, kecuali mengikuti pola klientilisme.

Pemilu sudah menjadi industri suara rakyat yang dikelola oleh kelompok oligark. Siapa mereka? Mereka adalah segelintir orang yang superkaya yang sanggup mengendalikan partai-partai politik dan elite-elite pemerintahan (Winters, 2001; Hadiz, 2005).

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini