Kebiasaan ini kemudian dikaitkan dengan dengan faktor demografi yang menjadi karakter kuat karena kebetulan kawan saya ini seorang baby boomers, generasi pekerja yang lahir sebelum 1964, bahkan sebelum Generasi X.
Sebagai baby boomers (yang sering disebut generasi kolonial) hal semacam itu dinilai wajar untuk zamannya tetapi mungkin terasa aneh untuk generasi terkini, terutama milenial.
Meskipun demikian, kebiasaan kawan saya ini juga menarik banyak orang untuk membahasnya dari sudut pandang loyalitas tak berbatas, begitu meminjam istilah salah seorang peserta seminar.
Loyalitas tak berbatas yang mereka maksud adalah sikap dan tindakan yang berdasarkan pada kesetiaan tanpa pamrih pada entitas, entah itu organisasi atau perusahaan.
Mereka menilai sikap loyal ini relevan dengan argumentasi bahwa dalam kaitan product/service perusahaan sudah sewajarnya karyawannya adalah orang pertama dan yang terdepan, yang harus membeli dan menggunakan produk/layanan di mana ia juga menggantungkan hidup dari perusahaan tersebut.
Rumusnya sederhana buat kawan saya, kalau tidak kita yang memulai menggunakan, bagaimana mungkin orang lain dan customer akan membeli dan memakainya?
Tentu akan lebih mudah meyakinkan orang lain betapa berkualitas sebuah produk dan jasa yang kita miliki, kalau kita sendiri benar-benar mengetahui kualitasnya dan sekaligus menggunakannya.
Rumus sederhana tersebut juga relevan jika dikaitkan dengan konteks lain, seperti bagaimana membangun antusiasme atau membuat orang lain bahagia.
Seorang pelatih olahraga, ambil contoh Juergen Klopp, pelatih team Liverpool di Premiere League Inggris: setiap kali timnya berlaga ia berdiri tidak duduk di bench, menyimak detik demi detik permainan dengan begitu antusias, berteriak-teriak bahkan menunjukkan emosinya ketika memberikan instruksi dari pinggir lapangan.
Berdiri, berlari kadang berjingkrak-jingkrak, menunjukkan gesture dan bahasa tubuh untuk menguatkan instruksi dan pesan yang disampaikan, dan bahkan ikut melakuka selebrasi saat pemainnya berhasil membobol gawang lawan.
Ia sudah pasti berharap dan menghendaki kesebelas pemainnya bertanding dengan penuh semangat, karena mengejar kemenangan.
Itulah sebenarnya alasan paling masuk akal mengapa ia begitu antusias dan berenergi di pinggir lapangan.
Antusiasme dan kegembiraan adalah dua hal yang gampang menular. Bayangkan suatu saat Anda bertemu dengan seseorang, sambil tersenyum mengulurkan dan menggoncangkan tangannya saat bersalaman, lalu Anda menanyakan kabarnya dengan semangat: “hei bro, apa kabarmu!?”
Yakinlah, orang itupun akan turut tersenyum, menggoncangkan tangannya dan merespons dengan jawaban yang antusias.