News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Manuver Vanuatu Soal Papua dan Sosialisme Melanesia

Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Arya Sandhiyudha, Direktur Eksekutif, The Indonesian Democracy Initiative (TIDI).

Oleh: Arya Sandhiyudha, Ph.D
Direktur Eksekutif, The Indonesian Democracy Initiative (TIDI)

TRIBUNNERS - Dalam beberapa hari terakhir ini, Vanuatu dua kali mengangkat isu Papua di PBB, yaitu dalam pertemuan regular Dewan HAM PBB ke-45 tanggal 25 September 2020 yang disampaikan oleh Antonella Picone, diplomatnya di Jenewa.

Kemudian dalam Sesi Debat Umum Sidang Majelis Umum PBB tanggal 27 September 2020 yang disampaikan oleh Perdana Menteri Bob Loughman.

Inti dari pernyataan yang diangkat oleh Vanuatu adalah adanya diskriminasi rasial dan pelanggaran HAM di Papua.

Baca: Amnesty Sayangkan Respons Indonesia Saat Jawab Tudingan Vanuatu soal Papua di Sidang PBB

Khusus untuk menanggapi tuduhan Bob Loughman, Indonesia menggunakan Hak Jawab (Right of Reply) yang disampaikan oleh seorang diplomat muda, Silvany Austin Pasaribu.

Penunjukkan diplomat muda untuk menjawab pernyataan dari seorang perdana menteri tampaknya merupakan kebijakan Kementerian Luar Negeri RI, karena hal ini terus dilakukan sejak tahun 2016, kecuali pada tahun 2018 dimana hak jawab disampaikan oleh Dubes Indonesia untuk PBB, Dian Triansyah Djani.

Narasi yang disampaikan oleh Silvany sangat tajam, dan diksi yang digunakan juga sangat keras, antara lain memalukan (shameful) dan bebal (ignorant).

Diksi ini sangat keras dan bahkan sarkastis, tetapi tampaknya memang terminologi ini yang tepat digunakan kepada Vanuatu yang selama ini selalu memusuhi Indonesia dan tidak pernah berupaya mencari tahu kondisi yang sebenarnya.

Istilah shameful digunakan karena Vanuatu tidak mengindahkan Piagam PBB yang secara tegas.

Baca: Sosok Silvany Austin Pasaribu, Diplomat Muda yang Viral Setelah Pukul Telak Perwakilan Vanuatu

Negara yang mengkritik Indonesia ini justru belum meratifikasi Konvensi Internasional Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination) tahun 1965, sedangkan Indonesia sudah meratifikasinya.

Menarik untuk dikaji lebih mendalam, apakah Vanuatu tulus memberikan perhatian  terhadap isu Papua, ataukah hanya untuk kepentingan politik domestik. Hal ini akan disampaikan di akhir tulisan.

Sementara itu istilah ignorant disematkan kepada Perdana Menteri Bob Loughman karena selama ini Vanuatu meskipun terus mengkritik dan mengecam Indonesia tetapi tidak pernah ingin membuka pintu dialog untuk mendapatkan informasi yang berimbang mengenai apa yang sebenarnya terjadi di wilayah ujung timur Indonesia itu.

Vanuatu hanya mendengarkan masukan dari kelompok separatis yang ingin melepaskan diri dari Indonesia dan secara rutin terus menyebarkan kebencian dengan menggunakan data-data yang sudah dipelintir untuk mendapatkan simpati dunia internasional.

Baca: Balasan Indonesia Perihal Kritikan Vanuatu Soal Papua di Sidang PBB Sangat Memalukan

Vanuatu tampaknya tidak paham (atau bersikap ignorant) terhadap kondisi yang ada di Papua, dan memang tidak mau mendengar kebenaran karena akan membuat mereka lebih sulit lagi untuk memberikan kecaman.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini