Dua lainnya, ia minta dimasukkan kembali ke keranjang gantung, yang mungkin saja akan sangat berarti bagi si lapar lain.
Saya tercekat melihat sikap si miskin tadi. Ia miskin, tetapi hatinya kaya budi pekerti. Tak lama setelah kedatangan si miskin, datang seorang wanita membeli empat ekmek.
Lagi-lagi, ia tampak mengeluarkan dua, dan mengamanahkan kepada penjual untuk dibagikan kepada yang membutuhkan.
Dengan senyum ramah, si penjual mengangguk dan memasukkan sedekah dua potong ekmek ke dalam keranjang gantung.
Seketika tersaji pelajaran budi pekerti yang sangat agung. Si kaya tidak kikir, si miskin tidak tamak, dan si penjual tidak khianat.
Warisan Sejarah Budaya Masa Usmaniyah
Begitu menyentuh tayangan tadi, membuat saya mencari tahu tradisi apa gerangan yang tampaknya begitu membudaya di kehidupan sehari-hari masyarakat Turki.
Dua kata saya dapat “askida ekmek”. Sebuah tradisi yang hidup zaman Kesultanan Utsmaniyah atau yang dikenal era Kekaisaran Ottoman (abad ke-XII). Saya pernah membaca seiris sejarah Turki di masa lalu.
Tradisi itu berawal dari seseorang yang datang membeli roti, lalu membayar seharga dua potong, meski ia hanya mengambil satu. Nah, roti yang satu oleh pembeli dibayar sebagai “askida ekmek” (roti yang ditangguhkan).
Kontribusi makanan bagi sesama itu akan terkumpul, hingga ada yang bertanya, “askida ekmek war mi?” (apakah ada roti yang ditangguhkan?). Si penanya niscaya langsung akan mendapatkan ekmek.
Tradisi mulia dari negeri “sejuta sejarah”. Ini pun mengingatkan saya akan sejumlah kunjungan saya ke negeri Eurasia itu.
Satu kali, singgah di Ankara dan Istanbul, menyaksikan klub Galatasaray menghadang laju raksasa Real Madrid pada laga Liga Champion tahun 2013. Saat itu, saya mendampingi Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) M Jusuf Kalla.
Berkali-kali juga saya transit di Bandara Ataturk Istanbul, untuk setidaknya ngaso sejenak saat akan melanjutkan perjalanan ke Amerika ataupun Eropa.
Diplomasi Kopi di Tepi Laut Marmara