Oleh: Wakil Ketua MPR RI Periode 2019-2024 Jazilul Fawaid
TRIBUNNEWS.COM - Suksesi kepemimpinan di negeri Abang Sam, Amerika Serikat, merupakan momen yang sangat ditunggu-tunggu oleh semua negara di dunia. Tidak dimungkiri bahwa perubahan tampuk pimpinan di Amerika Serikat akan membawa implikasi penting bagi tatanan global, baik dari segi politik-keamanan, maupun ekonomi dan perdagangan. Merujuk pada informasi yang disampaikan oleh media-media arus utama Amerika Serikat seperti CNN, NBC News, dan CBS News, Joseph Robinette Biden Jr atau Joe Biden, dipastikan akan menduduki posisi sebagai orang nomor satu di Amerika Serikat dengan mengantongi 290 suara elektoral, jauh mengungguli Donald Trump yang hanya memperoleh 214 suara elektoral. Apa yang terjadi dalam pemilihan presiden Amerika Serikat tahun ini dan apa signifikansinya bagi Indonesia?
Dua pijakan
Sebelum menjawab pertanyaan krusial tersebut, saya hendak menekankan bahwa ada dua hal penting yang harus kita cermati terlebih dahulu sebagai pijakan dalam menjawab pertanyaan tersebut, yakni sepak terjang Trump yang memimpin Amerika Serikat selama empat tahun terakhir, serta visi kepemimpinan yang diusung oleh Biden sehingga menuai dukungan publik secara luas, baik dari ranah domestik maupun publik internasional.
Pertama, saya hendak menyoal kemenangan Trump pada 2016 yang lalu, agar analisisnya tidak ahistoris. Kemenangan ini bisa dikatakan di luar prediksi mengingat saingannya adalah politisi senior Partai Demokrat dan mantan ibu negara, Hillary Rodham Clinton. Trump sendiri hanya berstatus sebagai pengusaha, tidak pernah memegang jabatan publik dan tidak memiliki pengalaman panjang sebagai politisi.
Namun demikian, di atas segala prediksi yang ada, suara rakyat Amerika Serikat akhirnya mengantarkan Trump menjadi presiden ke-45 Amerika Serikat. Ada banyak argumentasi untuk menjelaskan kemenangan Trump waktu itu, tapi yang paling mencolok adalah suasana kebatinan rakyat Amerika Serikat yang menginginkan perubahan, sehingga sosok Trump yang jauh dari hiruk-pikuk perpolitikan menjadi daya tarik tersendiri. Rakyat Amerika Serikat membutuhkan figur yang berbeda.
Hal ini dipertegas dengan jargon yang didengungkan oleh Trump dan pendukungnya tanpa henti selama masa kampanye, yakni “Make America Great Again”. Trump dengan cerdik membakar kebanggaan masyarakat Amerika Serikat yang sempat padam karena terpapar krisis ekonomi dan pudarnya pengaruh negara mereka di kancah internasional.
Barangkali menjadi sebuah pelajaran berharga bahwa apa yang disampaikan selama masa kampanye belum tentu segaris dengan realitas ketika sang calon sudah duduk di tampuk kekuasaan. Realitas yang “ditulis” Trump selama empat tahun masa jabatannya sulit untuk dikatakan telah berhasil menaikkan kembali pamor Amerika Serikat di kancah dunia: Amerika Serikat terpuruk dan dihujat! Amerika Serikat bertindak tidak adil dan melukai masyarakat global ketika mendukung penjajahan Israel atas bangsa Palestina.
Amerika Serikat juga melakukan pengingkaran terhadap berbagai kesepakatan global tentang lingkungan dan perdamaian. Perang dagang yang dikobarkan Amerika Serikat terhadap Tiongkok demi menggerus laju ekonomi Tiongkok yang tumbuh pesat memberikan implikasi negatif terhadap negara-negara lainnya di dunia. Di level domestik, masyarakat Amerika Serikat kecewa dengan cara Trump menangani isu-isu rasial. Puncaknya adalah kegagalan Trump dalam menangani penyebaran pandemi Covid-19 tahun ini.
Berbagai kegagalan tersebut menjadi kausa penjelas sekaligus penegas, mengapa “jualan” Trump pada pemilihan presiden tahun ini bak gayung tak bersambut. Masyarakat domestik Amerika Serikat, serta masyarakat global, dibuat kecewa dengan kebijakan-kebijakan yang diambil Trump. Harapan akan lahirnya anasir yang berbeda dari keterpilihan Trump empat tahun silam tidak terealisasi. Hal inilah yang mengantarkan kemenangan Joe Biden dan pasangannya, Kamala Harris, melebihi 270 suara elektoral sebagai syarat kemenangan.
Singkat kata, rakyat Amerika Serikat benar-benar menginginkan sirkulasi elit dalam pemilihan presiden tahun ini untuk memenuhi harapan dan tentu saja kebanggaan mereka. Hal inilah yang akan membawa kita pada diskursus selanjutnya, visi-misi apa yang diusung oleh Joe Biden dan Kamala Harris sehingga mampu terpilih sebagai presiden dan wakil presiden untuk masa pemerintahan empat tahun ke depan?
Visi-misi yang diambil oleh Joe Biden sejatinya mengambil bentuk yang paling sederhana tapi sangat bertenaga untuk mengalahkan Trump, yakni antitesis dari kebijakan-kebijakan Trump yang mengecewakan publik selama empat tahun terakhir. Diksi “sederhana” saya pakai di sini untuk menggambarkan betapa mudahnya Joe Biden mengambil positioning atas Trump. Sangat jelas bahwa Joe Biden memahami kelemahan Trump dan ekspektasi publik, baik domestik maupun internasional.
Dalam sesi-sesi kampanye, Biden berkali-kali menegaskan bahwa ia akan menerapkan strategi nasional yang komprehensif dalam menangani pandemi Covid-19, dengan mewajibkan penggunaan masker secara nasional dan menggratiskan pemeriksaan Covid-19 yang selama ini tidak bisa dinikmati oleh seluruh kalangan masyarakat. Yang paling signifikan, ia akan melakukan pembatalan proses penarikan diri Amerika Serikat dari WHO. Di bidang ekonomi, Biden menggagas strategi “Build Back Better”, yakni alokasi dana 9,9 triliun USD untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Amerika Serikat, khususnya yang kehilangan pekerjaan akibat terdampak Covid-19.
Joe Biden dalam kampanyenya juga berjanji untuk bergabung kembali dengan kesepakatan Paris tentang pemeliharaan lingkungan, yang mana pada masa Trump, Amerika Serikat memutuskan untuk keluar pada 2017.