Di mata masyarakat domestik, visi ini sangat rasional karena masyarakat Amerika Serikat sendiri begitu merasakan dampak perubahan iklm yang terjadi seperti masifnya kebakaran hutan dan badai yang kerapkali melanda beberapa negara bagian Amerika Serikat. Hal lainnya yang dijanjikan oleh Biden dalam kampanye adalah reformasi imigrasi yang memberikan kemudahan bagi para dreamers (imigran yang bermimpi tinggal dan bekerja di Amerika Serikat) untuk mendapatkan kewarganegaraan, hal yang begitu dihambat Trump selama masa kepemimpinannya.
Saya secara pribadi menyebut visi-misi Biden dengan dua kata, yakni “sederhana” dan “populis”. Sederhana karena mengambil posisi sebagai antitesis Trump, dan populis karena memenuhi ekspektasi masyarakat domestik dan potensial untuk menurunkan tensi politik global. Kedua hal itulah yang membawa Biden menapak jalan kemenangannya.
Signifikansi bagi Indonesia
Selanjutnya kita semua masuk pada hal yang paling penting bagi Indonesia, yakni apa implikasi kemenangan Biden bagi kepentingan nasional Indonesia? Pertanyaan ini relatif mudah untuk dijawab karena kultur demokrasi Amerika Serikat cukup matang. Visi-misi seorang calon presiden Amerika Serikat begitu kental dengan corak ideologi partai pengusungnya, meskipun improvisasi tetap dimungkinkan. Sejauh ini, visi-misi yang disampaikan Biden segaris dengan warna kebijakan yang diusung oleh Partai Demokrat yang cenderung humanis dan mengedepankan kerja sama dalam relasi antarnegara.
Jadi sederhananya, saya asumsikan bahwa Biden akan berkhidmat pada apa yang sudah disampaikan selama kampanye. Amerika Serikat diprediksi akan berupaya keras memperbaiki citra mereka yang “sangar” di bawah Trump menjadi lebih humanis dan pro-kerja sama. Artinya, Amerika Serikat berpotensi untuk dijadikan mitra dialog sekaligus aktor penting dalam menyelesaikan beberapa krisis global.
Indonesia bisa mengajak Amerika Serikat untuk berdialog bersama mencari model perdamaian terbaik bagi Palestina melalui berbagai instrumen organisasi internasional tempat Indonesia bernaung seperti DK PBB. Dalam konteks Asia Tenggara, melalui forum ASEAN, Indonesia bisa mengajak Amerika Serikat menjadi mitra dialog strategis untuk menurunkan ketegangan di Laut Cina Selatan yang selama ini menjadi sumber instabilitas keamanan bagi negara-negara yang bermukim di kawasan tersebut.
Upaya menanggulangi pandemi Covid-19 bukan saja merupakan masalah global, tapi juga jalan panjang yang harus ditempuh secara kolaboratif di antara negara-negara di dunia. Visi Biden untuk membatalkan penarikan diri Amerika Serikat dari WHO yang telah dimulai sejak Juli lalu, setidaknya menunjukkan komitmen negara tersebut dalam perang global melawan pandemi. Indonesia bisa merangkul Amerika Serikat untuk mendukung pendanaan dan penelitian jangka panjang dalam menemukan obat untuk menangani virus. Wacana reformasi imigrasi yang didengungkan Biden merupakan “angin segar” dalam hubungan kerja sama antarnegara.
Di bawah pemerintahan Trump, tidak dimungkiri terjadi penguatan Islamofobia. Para pendatang Muslim dicurigai sebagai sumber terorisme dan radikalisme. Namun dengan kebijakan Biden yang lebih terbuka, diharapkan Islamofobia tersebut dapat menurun dan perlahan tapi pasti mampu menghilangkan diskriminasi terhadap umat Islam yang bermukim di sana. Indonesia perlu memberikan atensi lebih pada kebijakan ini mengingat Indonesia adalah negara dengan jumlah umat Islam terbesar di dunia.
Terlepas dari segala anggapan dan prediksi bahwa Amerika Serikat di bawah Biden akan lebih sejuk dibandingkan sebelumnya, Amerika Serikat tetaplah Amerika Serikat, sebuah negara adidaya yang akan tetap berjuang teguh dalam mengukuhkan supremasi mereka di segala lini.
Oleh sebab itu, poin kebijakan Amerika Serikat dalam hubungan antarnegara akan tetap dilandasi pada pencapaian kepentingan nasional dan pengukuhan supremasi mereka, namun dikemas dalam corak diplomasi yang lebih lunak dan humanis. Implikasinya, perang dagang dengan Tiongkok yang berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia masih mungkin terjadi.
Dikarenakan keduanya adalah mitra dagang Indonesia, perlambatan ekonomi di kedua negara sebagai imbas perang dagang, akan berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Campur tangan Amerika Serikat dalam konflik Laut Cina Selatan juga tidak bisa dihilangkan sepenuhnya.
Namun demikian, yang harus digarisbawahi adalah Amerika Serikat akan lebih terbuka untuk berdialog dan mendengarkan pendapat global, terlebih lagi dengan mitra strategisnya di berbagai kawasan. Inilah celah yang bisa dimanfaatkan bagi Indonesia yang tentu saja tetap berkomitmen untuk menjadi negara yang mandiri dan berdaulat, terlepas dari siapapun yang memimpin Amerika Serikat.