Oleh: Nur Setia Alam Prawiranegara
Indonesia pada awal tahun 2020 tidak siap menghadapi situasi pandemi Covid-19 yang membuncah dan menggoyang dunia.
Begitu banyak kebijakan yang tumpang tindih bahkan terkadang membingungkan, tetapi semua memahami atas kondisi dan langkah pemerintah dan jajarannya, siapa yang tidak merasa panik dan mencari solusi walau harus tetap ada korban hingga berujung pada kematian.
Pada saat penanggulangan pandemi Covid-19 hampir semua masyarakat melakukan proses WFH (Work from Home) bahkan ada yang mengalami pensiun dini, penghentian pekerjaan dan atau kehilangan pekerjaan.
Hal ini dirasakan pula oleh Perempuan, Anak dan Kaum Disabilitas, untuk berjuang menghadapi pandemi ini, apakah mereka sedang dalam kondisi bekerja, berhenti bekerja ataupun sekolah ataupun berhenti sekolah, yang mana sebagian dari mereka tidak hanya bertahan dan berjuang melawan Covid 19 tetapi harus pula berjuang dan bertahan menghadapi kekerasan karena menjadi korban bahkan menjadi pelaku karena berasal dari korban.
Banyak yang tidak mengetahui saat adanya Pandemi Covid-19 dimana hampir sebagian besar berada di rumah untuk berjuang melawan Covid-19 untuk dirinya sendiri dan orang sekitarnya, ternyata sejak bulan Maret 2020 s/d November 2020, meningkat pengaduan dari masyarakat kepada IFLC maupun Komnas Perempuan dan atau Lembaga Pemerhati lainnya.
Bagaimana korban perempuan, anak dan kaum Disabilitas mengalami kekerasan baik kekerasan fisik dan psikis dalam Rumah Tangga, Kekerasan Seksual, Perceraian karena KDRT, Perebutan Anak antara Pasangan yang bercerai, mengalami perdagangan orang /traffiking karena kebutuhan ekonomi yang melanda hampir sebagian masyarakat, prostitusi dimana Suami menjual istri atau anaknya, atau saudara atau tetangga terdekatnya.
Pelecehan seksual atau pencabulan yang dilakukan oleh ayah kepada anaknya, kakak kepada adiknya, tetangga kepada tetangga terdekatnya, Stress karena harus mengajarkan anak yang belajar online, sedangkan di sisi lain harus mencari pemasukan untuk rumah tangga, pembunuhan karena telah mengalami kejadian pemerkosaan pada dirinya, melakukan pengulangan pencabulan atau pelecehan karena tidak memahami karena mengalami intelektual disabilitas dan mengakibatkan horor bagi sekitarnya, dll.
Begitu carut marut kekerasan yang hampir tidak terjamah oleh pemerintah, Mengapa demikian? karena faktor utama yang pemerintah siapkan adalah masalah ekonomi dan kesehatan bagi masyarakatnya dan tentunya hal tersebut bukan merpakan suatu kesalahan, akan tetapi belum menjadi skala prioritas.
Kekerasan yang terjadi pun disampaikan oleh Komnas Perempuan dan Kepolisian Unit PPA saat IFLC berkoordinasi serta berdiskusi, hal tersebut bukannya menurun akan tetapi malah meningkat.
Sedangkan kejadian tersebut nialinya meningkat karena diketahu saat dilaporkan atau berupa pengaduan, sedangkan kejadian yang terjadi diam-diam karena rasa takut yang dialami atau rasa malu, rasa tertekan, rasa ingin menghilang yang dialami oleh korban maupun keluarganya, termasuk dari orang sekitarnya, bahkan bukannya melindungi akan tetapi menyuruh diam dan menganggap tidak pernah ada.
Beberapa kejadian kekerasan ini, menjadi Refleksi Akhir Tahun bagi IFLC selaku Lembaga Advokasi bagi korban Perempuan, Anak dan Kaum Disabilitas, bagaimana untuk bisa menjadi perhatian bagi pemerintah, anggota dewan, pemerhati, para penegak hukum seperti Polisi, Jaksa, Hakim dan para Advokat untuk melakukan bantuan probono termasuk masyarakat pada umumnya.
Selain itu, untuk terlaksananya bantuan hukum sudah tentu harus ada peraturan-peraturan yang mendukung agar meminimalisir kekerasan yang terjadi, maka seyogyanya prolegnas 2021 DPR RI harus mengedepankan agar disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (P-KS) dan RKUHP.
Sebagaimana sering digaungkan oleh Komnas Perempuan, IFLC serta lembaga pemerhati lainnya, seyogyanya sebagai refleksi akhir tahun 2020 dengan segala problematika kekerasan menyadarkan pucuk pimpinan untuk tegas menyatakan mendukung pengesahan RUU tersebut.
Selaras dengan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Internasional sejak tanggal 25 November 2020 s/d 10 Desember 2020 dan Hari Disabilitas Internasional pada tanggal 3 Desember 2020, Indonesian Feminist Lawyers Club (IFLC) mendukung hapusnya kekerasan terhadap para korban perempuan, anak dan kaum Disabilitas, dimana sebagian korban berjuang melawannya selain menghadapi pandemi Corona Covid-19.
*Nur Setia Alam Prawiranegara, Ketua Indonesian Feminis Lawyers Club/IFLC