Sebagaimana judulnya, buku ini menggambarkan tentang moderasi bukan hanya dalam konteks agama –sebagaimana umum dipahami– tetapi juga dalam bingkai bangsa di Indonesia.
Dalam konteks agama, para pendiri Institut Moderasi Indonesia (InMind) ini menjelaskan bahwa agama sesungguhnya sudah bersifat moderat sehingga tidak perlu moderasi. Yang perlu dimoderasi adalah cara beragama.
Ini berarti bahwa keekstreman sesungguhnya bukan lahir dari agama, tetapi dari cara memahami dan mempraktikkan ajaran agama.
Kasus terakhir ekstremisime agama di Indonesia adalah upaya pembunuhan Jend TNI (Purn) Wiranto, yang ketika itu –akhir tahun 2019– menjabat selaku Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam).
Usai peresmian sebuah gedung universitas di Banten, seseorang tiba-tiba menusukkan pisau ke perut dan membuat Wiranto sempat dalam kondisi kritis.
Sikap ekstremisme ini yang berupaya dibendung dengan hadirnya buku yang terbit pada Juli 2020 ini.
Jauh sebelum pencanangan PBB, di Indonesia konsep moderasi ini sudah digagas dalam Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia (Munas MUI IX) pada tahun 2015.
Momen terpilihnya KH. Ma’ruf Amin sebagai Ketua Umum MUI ini mengangkat tema Islam Wasathiyah untuk Indonesia dan Dunia yang Berkeadilan dan Berkeadaban”. Salah satu rekomendasinya adalah Taujihat Surabaya, yang berisikan 12 Prinsip Washatiyah Islam.
Prinsip-prinsip tersebut antara lain jalan tengah, berkeseimbangan, lurus dan tegas,toleransi, egaliter, musyawarah, reformasi, mendahulukan yang prioritas, dinamis dan inovatif.
Kemudian berkeadaban, penerimaan eksistensi negara bangsa, dan kepeloporan dalam kebaikan dan kemaslahatan hidup.
Beberapa gagasan itulah yang coba diulas dalam buku terbitan InMind Press ini.
Khususnya pada prinsip-prinsip yang ditekankan kembali oleh KH. Ma’ruf Amin dalam kunjungannya ke Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University (RSiS NTU).
Gagasan-gagasan tersebut kemudian diturunkan menjadi bab-bab pembahasan di dalam buku berupa bangunan toleransi beragama, mengambil jalan tengah, menjaga keseimbangan, bersikap toleran, perdamaian menuju reformasi, egaliter dan non-diskriminatif, dan 7] musyawarah mufakat.
Namun demikian, Eno Syafrudien –yang juga adalah menantu dari Wakil Presiden Ma’ruf Amin– dan Rizaldi Lufti memandang bahwa moderasi baragama saja tidak cukup.