Oleh: Dr Tengku Murphi Nusmir SH MH
TRIBUNNEWS.COM - Peredaran gelap narkoba lintas negara ASEAN kian menggila. Terorisme trans-nasional di Asia Tenggara kian mewabah.
Sayangnya, dua extraordinary crime (kejahatan luar biasa) tersebut masih diatasi secara konvensional, belum secara luar biasa.
Nah, untuk itu diperlukan payung hukum bersama untuk mengatasi dua kejahatan tersebut secara luar biasa.
United Nation Office in Drugs and Crime (UNODC), badan PBB untuk Narkoba dan Kejahatan, pada Juli 2019 melaporkan produksi metamfetamin di Asia Tenggara meningkat sangat drastis dalam satu dekade ini.
Tahun lalu sekitar 120 ton metamfetamin dalam bentuk kristal dan tablet disita aparat di Asia Tenggara.
Baca juga: Polisi Ungkap Sumber Dana Terorisme Jamaah Islamiyah, dari Kotak Amal Hingga Yayasan
UNODC juga mengungkapkan nilai perdagangan metamfetamin untuk Asia Tenggara dan negara sekitarnya seperti Australia, Selandia Baru, dan Bangladesh, berkisar antara 30,3 hingga 61,4 miliar dolar AS (Rp 876 triliun), atau yang terbesar di dunia.
Di The Golden Triangle ASEAN yang meliputi perbatasan Myanmar, Thailand, dan Vietnam, pernah ditangkap 147 kilogram heroin yang diselundupkan dari Myanmar menuju Thailand.
Di sisi lain, terorisme di negara-negara ASEAN yang meliputi 10 negara, yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Brunei Darussalam, Myanmar, Laos, Kamboja menjadi ancaman yang kian mengkhawatirkan.
Terorisme yang bersifat lintas negara atau trans-nasional dan berskala regional maupun global ini memerlukan penanganan kolektif dan tindakan bersama di antara 10 negara ASEAN.
Kekuatan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang berbasis di Filipina selatan telah dijadikan salah satu basis teroris dan ikut memicu aksi-aksi teror di Asia Tenggara.
ISIS berencana membangun jaringan dengan menggabungkan antara Islamic State Phillipines, Islamic State Malaysia, dan Islamic State Indonesia di bawah pimpinan Mahmud Ahmad yang merupakan bagian dari struktur ISIS pusat di Irak.
Pembajakan kapal dan penyanderaan anak buah kapal (ABK) yang dilakukan kelompok Abu Sayyaf masih sering terjadi di wilayah perbatasan perairan Malaysia-Indonesia-Filipina.
Bahkan ABK Indonesia sering menjadi korban penyanderaan.