Gus Yaqut, Kuda Hitam Nahdliyyin di Pilpres 2024
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A*
TRIBUNNEWS.COM - Sudah jamak Pemilihan Presiden merupakan ajang adu kekuatan dan basis massa. Tidak ada pertimbangan dan tujuan lain, dalam politik praktis-pragmatis, selain kemenangan. Sosok paling diminati adalah siapa saja yang kuat dan berjejaring secara luas.
Dalam konteks ini, Nahdliyyin dapat menimbang peluang Gus Yaqut pada Pilpres 2024. Gus Yaqut adalah Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor dan Panglima Tertinggi Banser NU. Kekuatan dan basis massa GP Ansor-Banser itu besar, dan cukup untuk dihitung sebagai produk dalam nalar bisnis politik, setidaknya oleh kelompok-kelompok eksternal yang butuh.
Kepengurusan GP Ansor tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Pada Apel Kebangsaan November 2020 kemarin, dikatakan bahwa kurang lebih 5 juta kader Banser berkumpul dari seluruh Pulau Jawa. 5 juta adalah angka fantastis, ditambah lagi sangat militan. Militansi anggota GP Ansor dan Banser ini setara dengan militansi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Lima juta hanya yang berbasis di Pulau Jawa. Secara keseluruhan, pada acara Konferensi Wilayah XIV GP Ansor di Sulsel, 2017, Gus Yaqut mengatakan jumlah pasukannya dua kali lipat lebih banyak dari anggota TNI. Dua tahun kemudian, 2019, jumlah anggota Banser menjadi 7 juta.
Selain kekuatan Banser, ada lagi dari Rijalul Ansor, walaupun keduanya sama-sama badan semi-otonom GP Ansor. Rijalul Ansor juga memiliki struktur kepengurusan hingga ke tingkat ranting (desa/kelurahan). Tugas utama Rijalul Ansor adalah menghidupkan kembali tradisi-tradisi ke-NU-an. Inilah yang membedakan dari tugas utama Banser (barisan serbaguna seperti TNI-Polri).
Kekuatan Banser bisa disebut sebagai hard-skill, sedangkan Rijalul Ansor sebagai soft-skill. Dalam timbangan politik, jalur kultural dan tradisi yang digarap Rijalul Ansor sangat strategis, menjadi jembatan komunikasi dengan lintas komunitas. Komunikasi lintas komunitas juga bisa dikalkulasi nilainya secara matematis, berapa jumlah peluang partisipan dan simpatisan.
Bagaimana pun, massa tidak musti dari lingkungan sendiri, boleh dari kalangan non-GP Ansor. Tentu saja, GP Ansor bisa melakukannya jika benar-benar mampu "menekan" kesepakatan-kesepakatan idealis maupun taktis. Peluang adanya dukungan massa dari luar GP Ansor, salah satunya, dari warga Nahdliyin pasti sangat besar sekali. Seberapa besar NU akan mendukung Gus Yaqut secara personal maupun kader GP Ansor secara formal. Sebab, Ansor tetaplah anak kandung NU sendiri.
Kekuatan massa NU sangat besar. Pada 18-25 Februari 2019, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA mendaulat NU sebagai ormas terbesar. Jika total seluruh penduduk Indonesia kurang lebih 250 juta dan penduduk muslim berkisar 87%, NU memiliki persentase 49,5%-nya atau kurang lebih 108 juta orang.
Angka 108 juta warga Nahdliyin ini adalah potensi bagi GP Ansor, sebatas potensi. Artinya, Ansor masih butuh melobi dan menego ulang agar NU berkenan mendukung kader terbaiknya, Gus Yaqut. Lobi dan nego tersebut tidak mudah. Sebab, warga NU jauh lebih cair. Watak cair jamaah NU ini keuntungan sekaligus kerugian. Keuntungannya, NU dapat mewarnai semua lini, termasuk semua partai politik.
Kerugiannya, pada hal-hal strategis, butuh kerja ekstra untuk konsolidasi. Hal itu terlihat pada saat Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), anak kandung NU, hanya meraup kisaran 13 juta suara dari 108 juta warga NU. Dengan kata lain, GP Ansor dan PKB masih butuh program kerja yang jauh lebih menarik di mata warga NU.
Situasi politik memang masih bergulir, dan belum dapat diprediksi apakah NU, PKB, dan GP Ansor akan solid, guyub, gotong royong menjadi satu kesatuan; dengan membawa basis massa masing-masing. Namun begitu, peluang GP Ansor, PKB dan NU solid mendukung Gus Yaqut cukup besar, jika dilihat dari kesamaan ideologi; inklusif, moderat, dan nasionalis-religius.
Ideologi tetap perlu dibaca sebagai modal politik. Ideologi bagaikan pintu gerbang yang terbuka lebar, terutama untuk berkomunikasi lintas iman dan lintas komunitas. Misalnya, melalui pemikiran Gus Yaqut yang terkenal mengusung Islam Moderat, Tameng Minoritas dan Nonmuslim, serta Nasionalisme-religius, Gus Yaqut (GP Ansor) sejalan dengan PKB dan NU.
Ideologi ini juga pijakan awal membangun koalisi dengan partai-partai nasionalis. Sehingga tantangan berikutnya bukan lagi perkara idealis melainkan soal teknis pembagian jatah kekuasaan. Artinya, jika GP Ansor, PKB dan NU solid mendukung Gus Yaqut pada Pilpres 2024 nanti, maka jatah apa yang paling layak didapatkan? Sebatas ini saja topik yang perlu dimusyawarahkan dengan kaum nasionalis.