Islam Kaffah: Syariat, Tarekat, Hakikat, dan Ma'rifat
Oleh KH. Imam Jazuli, Lc., MA.
TRIBUNNEWS.COM - Secara umum ada tiga prinsip dalam beragama Islam yang pokok yaitu Islam, Iman dan Ihsan berdasarkan pada hadis sahih riwayat Muslim dari Umar bin Khattab --yang dikenal dengan hadits Jibril --dimana menurut Sayyid Bakari, trilogi itu merupakan kumpulan tahapan dan tingkatan yang saling terkait dalam mengamalkan islam, lebih-lebih oleh seorang salik. Hal itu dikaitkan dengan percakapan antara malaikat Jibril dan Rasulullah yang ringkasannya sebagai berikut:
Hai Muhammad. Beritahukan kepadaku apa itu Islam! Rasulullah Saw berkata : “Islam adalah Anda bersaksi tiada tuhan yang disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, tegakkan shalat, bayarkan zakat, puasa di bulan Ramadhan, laksanakan haji jika Anda mampu berjalan ke sana. Ia berkata : Anda benar. Kami heran, ia bertanya kemudian ia membenarkan. Ia berkata lagi : Beritahukan kepadaku apa itu Iman! Rasul menjawab : Anda percaya kepada Allah, MalaikatNya, kitan-kitabNya, Rasul-rasulNya, hari Akhir, dan anda beriman kepada qadar baik dan buruk. Ia menjawab : Anda benar. Ia berkata lagi : Beritahu aku apa itu Ihsan! Rasul berkata : "Anda sembah Allah seolah-olah melihatnya, dan jika Anda tidak dapat melihatnya, maka Ia pasti melihatmu." (Fath al-Bari li Ibn Hajr, (125/1)
Sayyid Bakari seperti ingin mengatakan, bahwa islam yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah syariat, iman adalah hakikat dan ihsan itu serupa ma'rifat, ketiga jenjang ini pada dasarnya adalah pengejewantahan dari makna takwa. Maka untuk mengamalkannya butuh tarikat dari seorang pembimbing (mursyid). Agar tidak terjadi ketimpangan, maka ketiganya harus diterapkan secara keseluruhan, yakni syariat, tarekat, dan hakikat untuk mencapai puncak makrifat (pengetahuan). Syariat tanpa hakikat adalah kosong dan hakikat tanpa syariat adalah batal serta tak berdasar.
Jika dianalogikan, maka syariat itu ibarat perahu, tarekat adalah nahkodanya, hakikat adalah pulau yang hendak dituju dari perjalanan itu, sementara ma'rifat adalah tujuan akhir, yaitu bertemu dengan Sang Pemilik Pulau. Dengan demikian, hakikat dan ma'rifat tak akan mampu dituju oleh salik, tanpa menggunakan perahu dan melalui nahkoda. Karena itu menurut Sayyid Bakri, umat Islam tidak boleh terkecoh untuk mudah meninggalkan syariat atas nama hakikat atau ma'rifat.
والمعنى أن الطريقة والحقيقة كلاهما متوقف على الشريعة فلا يستقيمان ولا يحصلان إلا بها فالمؤمن وإن علت درجته وارتفعت منزلته وصار من جملة الأولياء لا تسقط عنه العبادات المفروضة في القرآن والسنة
Artinya, “Maknanya, tarekat dan hakikat bergantung pada (pengamalan) syariat. Keduanya takkan tegak dan hasil tanpa syariat. Sekalipun derajat dan kedudukan seseorang sudah mencapai level yang sangat tinggi dan ia termasuk salah satu wali Allah, ibadah yang wajib sebagaimana diamanahkan dalam Al-Qur’an dan sunnah tidak gugur darinya,” (Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi, Kifayatul Atqiya wa Minhajul Ashfiya, Al-Haramain: tt, h. 12).
Sayyid Bakri mencontohkan shalat tahajud Rasulullah SAW sehingga kedua kakinya bengkak, karena aktivitas shalat malamnya semalam suntuk. Ketika ditanya, “Bukankah Allah telah mengampuni dosamu yang lalu dan mendatang?” Rasulullah menjawab, “Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur?” Maksudnya adalah kewajiban ibadah berlaku untuk memenuhi hak kehambaan dan hak syukur atas nikmat. Para wali dengan derajat kewalian mereka tidak pernah keluar dari batas kehambaan dan pihak yang menerima nikmat Allah,” (Sayyid Bakri: 12). Jadi shalatnya Rasullah ini adalah bagian ibadah yang bisa dilihat dari sisi syariat.
Syariat dan Hakikat
Syariat adalah wujud ketaatan salik kepada agama Allah dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Syariah adalah sisi praktis dari ibadah dan muamalah dan perkara-perkara ubudiyah. Tempatnya adalah anggota luar dari tubuh. Yang mengkaji khusus ilmu syariah disebut fuqaha (ahli fiqih).
Menurut Syekh Tajudin as-Subki, syariat adalah segala sesuatu yang ditanggungkan kepada seorang hamba. Sedangkan hakikat adalah inti dan makna dari perkara tertentu. Syariat berbasis fiqih, sementara hakikat berbasis iman. Dengan kata lain, syariat adalah pengejawantahan dari perbuatan-perbuatan fiqih, yang digali dari dalil-dalil secara terperinci” (Tajudin as-Subki, kitab jam’u al-jawami’ 1/42)
Relasi keduanya tak terpisahkan. Karena syariat harus diperkuat dengan hakikat dan hakikat dibatasi oleh ketentuan hukum syariat. Sehingga, keberadaan syariat seharusnya mampu mendorong komunikasi langsung "syuhud" antara seorang hamba dan khalik tanpa perantara apa pun.
Ma'rifat dan Tarekat