Sebagai alumni yang pernah diberi amanah menjadi Ketua MPA-PPMI Mesir dan Ketua Senat Mahasiswa Ushuluddin, penulis tahu bahwa profil Kiai Didik L. Hariri adalah senior yang banyak prestasi selama menempuh studi di Mesir. Beliau adalah tokoh Pers Mahasiswa, dan sebagaimana penulis, ia juga pernah menjabat ketua Majelis Permusyawaratan Anggota (MPA) atau MPR-nya Mahasiswa Al-Azhar di Mesir. Pembaca bisa bayangkan sebagai ketua MPA saat itu, dalam arsip kami di PPMI, dialah satu-satunya yang mewakili Mahasiswa Indonesia Al-Azhar untuk bisa bertemu dan memberi masukan kepada Presiden Soeharto sebelum lengser.
Maka sekali lagi, menyebut Kiai Didik tidak selevel dengan Sekjen IKANU Mesir sungguh kurang berakhlak. Justru sebaliknya, sebagai junior, kami tak menemukan jejak apa-apa dari Gus Anis, selain hanya pernah aktif di Afkar PCINU Mesir. Apakah jejak keaktifannya di Afkar ini membuat ia merasa besar dan boleh arogan?
Sementara di lingkungan KMNU (PCINU) sendiri, Kiai Didik bersama angkatannya turut membidani kelahiran Jurnal NUANSA KMNU, juga bersama Arif Hidayat mengelola dan mengasuh Pesantren Virtual PCINU. Kami pun menemukan banyak namanya terukir manis dalam Jurnal NUANSA dan sejarah Mahasiswa Indonesia Mesir lainnya. Selain itu, Kiai Didik adalah seorang seniman multitalenta. Salah satu novelnya berjudul "Jejak Sang Pencerah" mengilhami sutradara kondang Hanung Bramantyo untuk membuat versi filmya. Jadi, menyebut Kiai Didik tidak selevel dengan Sekjen IKANU sungguh menyakiti kami?
Kiai Didik juga seorang santri alumni Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Setelah pulang kampung, beliau mengasuh Pondok Pesantren Sirajul Ummah di Ngawi. Mengelola SMK Farmasi terbesar di lingkungannya. Apakah rekam jejak seperti ini masih belum selevel dengan profil Sekjen IKANU Mesir? Ini semua perlu tabayyun supaya kami terbebas dari zhann (syak wasangka) yang cenderung berdosa.
Penulis menaruh kecurigaan sedemikian rupa tidak sendirian. Ada senior yang juga sempat menanggapi statement Gus Anis Masduki, sebagai statemen "pribadi". Yaitu, KH. Ali Muin Amnur, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Istiqomah Kebumen dan KH. Mustakim, Rektor Institut Agama Islam Ngawi. Kepada senior-senior ini pun, Gus Anis sama sekali belum tampak memposisikan dirinya secara tepat. Sampai-sampai, Kiai Ali menyindir halus, "orang kok rebutan pangkat organisasi?"
Kembali ke persoalan yang disinggung Gus Anis, karena secara prinsip al-Azhar tidak membatasi untuk Camaba dan hanya memberi standarisasi matrikulasi bahasa, dan ini sudah disiapkan wadahnya di Markaz Lughoh (PUSIBA), maka pembatasan ini bisa menabrak amanah al-Azhar secara institusi dan bisa melanggar Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatakan, “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.” Dengan demikian, tidak boleh ada peraturan apapun yang bertentangan dengan amanah dari Al-Azhar dan UUD ’45, lebih-lebih menghalang-halangi warga negara mendapatkan hak mereka yang itu sudah diberikan Al-Azhar. Sekalipun ada banyak nilai-nilai tertentu yang digunakan untuk merampas hak belajar tersebut, tetap amanah Al-Azhar dan undang-undang dasar ini dinomorsatukan. Ini perlu dicatat!
Karena itu, adanya aturan dari Kemenag yang menghalangi pelajar untuk ikut belajar di Markaz Lughoh Syaikh Zayed Cabang Indonesia (PUSIBA) sungguh menimbulkan dilema di lingkungan akar rumput. Tetapi ada daya, mereka hanya bisa bersuara, dengan resiko tanpa ada yang mendengar. Akar rumput menyayangkan nasib 4.000-an pelajar yang tidak lulus ujian seleksi. Jika dibandingkan dengan angka 1.500 yang dinyatakan lulus, maka kurang lebih ada 250% yang tidak dapat melanjutkan impiannya untuk belajar dan mencari berkah di Al-Azhar.
Ketidaklulusan mayoritas pelajar ini adalah problem utama. Mungkin salah satunya adalah jenis ujian CBT yang belum familiar. Sementara jenis ujian CBT ini jauh dari standarisasi Al-Azhar, masalah lain yang lebih patut dipersoalkan adalah, karena peluang mereka untuk belajar sebagaimana dijamin Al-Azhar dan Pasal 31 ayat 1 UUD ’45 tidak bisa. Nyaris semua pintu telah ditutup oleh aturan Kemenag. Sebab, Kemenag tidak merekomendasikan mahasiswa Indonesia untuk belajar di Mesir jika tidak lulus seleksinya. Sekalipun mengandalkan dana pendidikan secara mandiri, non-beasiswa Al-Azhar, apalagi mengemis kepada negara. Jadi, 4.000 pelajar “mustahil” melanjutkan masa studi mereka ke perguruan tinggi Al-Azhar.
Selain itu, 4.000 pelajar yang gagal pada ujian seleksi Kemenag tidak diperbolehkan mengikuti pelatihan bahasa di Markaz Lughoh (PUSIBA). Ini pun sudah termasuk pagar yang menghalangi setiap warga mendapatkan hak belajar sebagaimana dijamin UUD ’45. Sampai di sini, publik perlu mengerti bahwa status PUSIBA ini sangat strategis, karena dilahirkan atas kerjasama pihak Al-Azhar dan Kementerian Agama.
PUSIBA dan Kemenag bersinergi untuk menyiapkan calon mahasiswa Al-Azhar yang berkualitas, menjadi duta bangsa yang layak dibanggakan. Peserta didik yang direkomendasikan PUSIBA dapat langsung menempuh pendidikan Al-Azhar. Alhasil, penulis lebih sependapat dengan posisi Sekjen PLPA daripada Sekjen IKANU Mesir. Wallahu a’lam bisshawab.
*Penulis adalah Ketua MPA-PPMI Mesir 2014-2015, Ketua Senat Mahasiswa Ushuluddin 2012-2014, Ketua Fosmagati Mesir 2014-2016, Direktur PAKEIS 2017-2019 dan Aktivis PCINU Mesir selama Kuliah di Al-Azhar.