Pertama, lantaran Pinangki mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya serta mengikhlaskan dipecat dari profesinya sebagai jaksa.
Kedua, Pinangki adalah seorang ibu dari anaknya yang masih balita (berusia 4 tahun), sehingga layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberikan kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhan.
Ketiga, Pinangki sebagai seorang wanita juga harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil.
Padahal, Pinangki terbukti melakukan tiga perbuatan pidana sekaligus. Yakni, terbukti menerima suap sebesar US$ 500 ribu dari terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Tjandra; terbukti melakukan money laundering atau pencucian uang senilai US$ 375.279 atau setara Rp 5.253.905.036 di mana uang tersebut adalah bagian dari uang suap yang diberikan Djoko Tjandra; dan melakukan permufakatan jahat.
Jika alasannya subyektif begitu, betapa banyak koruptor yang akan mendapatkan “mutilasi” hukuman, terutama wanita koruptor, karena alasan majelis hakim begitu feminin.
Sebut saja Sri Wahyumi Maria Manalip.
Mantan Bupati Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara, ini divonis 4,5 tahun penjara karena korupsi.
Namun di tingkat kasasi hukumannya dipotong MA menjadi 2 tahun penjara.
Perempuan (kebetulan) korupsi sebenarnya bukan monopoli Pinangki dan Wahyumi. Setidaknya ada 8 perempuan lain yang juga (kebetulan) terlibat korupsi. Tapi, hukuman mereka toh tidak “dimutilasi” laiknya Pinangki dan Wahyumi.
Sebut saja mantan anggota DPR RI Angelina Patricia Pinkan Sondakh yang terjerat kasus korupsi proyek Wisma Atlet di Palembang, Sumatera Selatan, 2013 lalu.
Dalam persidangan, Angie terbukti menerima aliran dana dari mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin sebesar Rp 2 miliar.
Pengadilan Tipikor Jakarta menghukum Angie 4 tahun penjara, dan denda Rp 250 juta subsidair enam bulan kurungan.
Di tingkat kasasi, hukuman eks-Putri Indonesia 2001 ini bertambah menjadi 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta, ditambah kewajiban membayar uang pengganti korupsi Rp 12,58 miliar dan US$ 2,35 juta.
Politikus Partai Demokrat ini lalu mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Mahkamah Agung (MA) akhirnya mengabulkan, hukumannya dikurangi menjadi 10 tahun penjara, ditambah denda Rp 500 juta subsidair 6 bulan kurungan.