Tidak ada si kaya dan si miskin atau penguasa dan rakyat jelata. Semuanya apabila melakukan perbuatan melawan hukum akan mendapatkan perlakuan yang adil sesuai timbangan perbuatan yang dilakukan.
Pedang bermata dua, yang diturunkan ke bawah, bukan menggambarkan bahwa hukum itu mengancam ke bawah.
Pedang yang diturunkan ke bawah bermakna bahwa hukum bukan alat untuk membunuh.
Pedang akan terhunus apabila diperlukan sebagai senjata terakhir (ultimum remedium) dan tidak digunakan sebagai pencegahan awal (premium remedium).
Pedang bermata dua berarti tajam ke segala arah, tidak tumpul ke atas dan tajam ke bawah atau sebaliknya.
“Ambyar”
Namun, semua makna dari lambang keadilan hukum itu kini “ambyar” (berantakan/hancur berkeping-keping) di depan jaksa Pinangki Sirna Malasari.
Pinangki adalah terpidana kasus penerimaan suap dari Djoko Soegiarto Tjandra terkait pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) yang divonis 10 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, 8 Februari 2021.
Vonis ini lebih berat daripada tuntutan jaksa 4 tahun. Pinangki pun mengajukan banding pada pertengahan Februari 2021.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Senin (14/6/2021), mengabulkan banding itu dan memotong hukuman Pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara, sesuai tuntutan jaksa di pengadilan tingkat pertama.
Orang bilang hukuman Pinangki disunat. Tapi sebenarnya bukan disunat, melainkan “dimutilasi”.
Kalau disunat 'kan potongannya hanya sedikit. Ini banyak, bahkan lebih dari setengahnya.
Dewi Keadilan itu pun membuka matanya, menjadi pandang bulu, dan tak lagi adil.
Ada beberapa pertimbangan majelis hakim PT DKI Jakarta mengurangi vonis Pinangki, yang dapat ditafsirkan sebagai terbukanya mata Dewi Keadilan.