OLEH: AWESTI TUNGGO ARI SH MKn, Alumni Notariat FH UGM
AKHIR-AKHIR ini banyak kita jumpai tempat sampah yang dipilah antara organik, non-organik dan infeksius, baik di rumah sakit, maupun di tempat umum.
Tidak jarang kita jumpai, orang makan di resto menggunakan sedotan logam atau kertas yang dibawa dari rumah.
Membawa tumbler saat beraktivitas di luar rumah juga semakin ngetren. Supermarket menjual tas belanja pakai ulang dengan meminimalisir penggunaan tas plastik sekali pakai.
Rumah sakit juga mengganti pengemas obat obatan yang semula dari plastik ke kantung kertas.
Bahkan sementara orang mulai menjalani pola hidup zero waste dengan berusaha sedikit mungkin bahkan meniadakan sampah, seperti yang sudah dipraktekkan oleh penduduk negara maju.,
Kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan hidup dengan membatasi pembuangan bahan bahan polutan memang sudah tumbuh.
Hasil survei yang diadakan WWF Indonesia dan Nielsen pada 2017 menunjukkan 63 % dari konsumen Indonesia mau mengkonsumsi barang barang yang eco friendly dengan harga yang lebih tinggi.
Survei dilakukan terhadap 916 responden di Jakarta, Medan, Surabaya, Denpasar dan Makasar, mewakili kelas menengah ke atas, dengan rentang usia 15 -45 tahun (Jakarta, Netralnews.com 18 September 2017)
Anak anak usia sekolah dini membawa bekal minum dalam botol minuman dan makan siang dalam lunch box juga masih menjadi pemandangan umum, dengan alasan lebih higienis mengkonsumsi makanan hasil olahan rumah dari pada jajan.
Kesadaran menjalani pola makan dan pola hidup sehat, dengan kembali ke alam atau back to nature, dengan mengkonsumsi bahan bahan segar dari alam dan sebisa mungkin menghindari bahan olahan, semakin banyak dimiliki.
Tren kenaikan jumlah orang yang concern terhadap lingkungan, yang green oriented diprediksi oleh ahli, akan mengalami kenaikan di masa mendatang.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mentargetkan Indonesia bersih sampah 2025. Untuk mencapai target itu, diperlukan kerja sama dari semua elemen masyarakat.
Mulai dari level micro, kita bisa mulai dari diri kita sendiri, dengan mempertimbangkan masak masak sebelum pergi berbelanja, beli barang yang memang kita butuhkan dan pilih mana yang paling ramah lingkungan.
Sehingga bila sebagian harus berakhir di tempat sampah, barang itu masih bisa didaur ulang.
Beberapa contoh yang bisa kita praktekkan, selain yang sudah disebut di atas adalah sebagai berikut :
1. Rajin memilah sampah, pisahkan sampah organik, yang bisa didaur ulang dan infeksius. Sampah organik bisa dijadikan pupuk alami, bahan bahan yang bisa didaur ulang disetorkan ke bank sampah. Banyak wilayah RT, RW sudah memiliki bank sampah.
2. Membatasi belanja pakaian. Beli hanya saat kita betul betul perlu dan pilih yang eco-friendly. Bahan pakaian sebagian besar tidak bisa didaur ulang. Usahakan memanfaatkan pakaian lama. Agar nampak tetap modis, bisa match dan mix antara koleksi lama dan baru.
3. Batu baterai dan sampah barang elektronik, bisa membahayakan kalau tidak dikelola dengan benar. Buanglah secara terpisah dengan sampah lain.
4. Sebisa mungkin pergunakan diaper dan pembalut dari kain yang bisa dicuci dan pakai ulang. Kalau toh sangat terpaksa menggunakan yang sekali pakai, keluarkan isinya dan pergunakan sebagai pupuk tanaman, setelah kotoran dibersihkan. Pembungkusnya dari bahan plastik tidak bisa didaur ulang.
5. Masa pandemi, limbah masker sekali pakai menjadi sangat banyak. Perlu dipikirkan upaya untuk mendaur ulang secara aman dan bertanggung jawab.
6. Masa pandemi juga menyebabkan ibu rumah tangga lebih banyak berbelanja secara online dibandingkan sebelumnya. Packing barang belanjaan lebih sering mempergunakan plastik, bahkan untuk barang barang fragile, tidak jarang menambahkan bubble wrap yang berbahan plastik.
7. Membatasi penggunaan tissue dan sejenisnya, sebab proses pembuatan tissue dan sejenisnya melibatkan aktivitas penebangan pohon.
8. Sebisa mungkin menggunakan pembersih yang biodegradable (dapat diurai oleh mikroorganisme), mengingat cukup banyak pembersih yang kita pakai setiap harinya dalam bentuk sabun cuci piring, sabun mandi, sabun cuci tangan, shampoo, pembersih lantai , dan lain lain.
Propaganda meminimalisir penggunaan plastik nampak cukup berhasil. Namun, sebetulnya pilihan antara plastik dan kertas masih cukup dilematis, menurut beberapa tulisan yang pernah saya baca.
Dibutuhkan energi 91 % lebih sedikit dalam mendaur ulang plastik dibandingkan mendaur ulang setengah kilo kertas.
Memproduksi kantong kertas ternyata menggunakan lebih banyak energi dan juga air. Hal ini juga memicu berkembangnya polusi udara dan juga limbah padat jika dibandingkan dengan kantong plastik.
Tingkat daur ulang dari kedua jenis kantong tersebut sangat rendah hanya sekitar 10 - 15 % dari kantong kertas dan 1 - 3 % kantong plastik daur ulang.( Detikfood 6 April 2010).
Selain membutuhkan energi 3,4 kali lebih besar pembuatan kantong kertas membutuhkan air sebanyak 4,7 kali lipat lebih banyak daripada untuk membuat kantong plastik.
Pabrik pembuat kemasan kertas menjadi penyumbang gas rumah kaca terbesar ke empat di dunia. Sementara untuk pembuatan kantong plastik sebenarnya tiga kali lebih rendah.
Meski begitu proses daur ulang kertas memang jauh lebih mudah (Hipwee, 20 Juni 2020). Selain itu dari tulisan yang pernah saya baca, plastik daur ulang bisa dimanfaatkan untuk campuran aspal.
Australia sejauh yang pernah saya alami dan lihat, sampah di sana dikelola oleh Council. Tiap rumah disediakan 2 bin besar warna hijau dan kuning, warna hijau untuk general waste, yang kuning untuk material yang bisa direcycle.
Beberapa Council lain juga menyediakan bin untuk green, maksudnya untuk daun daunan dan ranting. Seminggu sekali bin warna hijau dikosongkan oleh rubbish truck, sedang bin warna kuning dikosongkan 2 minggu sekali.
Untuk barang barang rumah tangga yang besar seperti TV, kulkas, bed, sofa dan lain lain diambil tiap 6 bulan sekali, dengan pemberitahuan terlebih dahulu dalam website Council.
Pohon-pohon yang ditebang, kayunya dicacah di tempat dengan mesin dan langsung ditebarkan Kembali di tempat pohon itu semula berdiri dan sekitarnya.
Akhir akhir ini, ada styrofoam yang bisa di flush di toilet sebab dissolved kalau terkena air. Mengubah perilaku memang bukan pekerjaan yang mudah, membutuhkan kesadara tinggi, niat dan waktu, oleh sebab itu ajakan dan propaganda untuk hidup yang green oriented, hendaknya terus digalakkan.
Anak anak sejak usia dini, juga diajarkan berperilaku ramah lingkungan dan diinternalisasikan terus menerus melalui pendidikan perilaku dan budi pekerti di sekolah dan di rumah.
Hendaknya bahan bahan yang dipergunakan untuk memproduksi plastik juga bahan eco friendly.
Keunggulan plastik yang lebih ringan, transparan, tidak mudah sobek membuat produsen makanan dan bahan pangan lebih cenderung mempergunakan plastik.
Pemerintah melalui kebijakannya, bisa memaksa produsen plastik untuk mempergunakan bahan bahan yang ramah lingkungan, dengan diberi rentang waktu tertentu dalam mengubah proses dan hasil produksinya.
Plastik dari bahan pati sagu bisa jadi alternatif. Di waktu mendatang mungkin akan diketemukan bahan alami lain yang juga lebih ramah lingkungan.
Pemerintah melalui kebijakan yang dibuatnya juga bisa memaksa produsen makanan dan bahan pangan mempergunakan kemasan yang terbuat dari bahan yang eco friendly.
Bubble wrap dari plastik juga bisa digantikan dari kertas yang dipotong wave, atau menggunakan eco honeycomb paper wrap. Di negara kita sudah ada yang memproduksi styrofoam dari bahan tebu.(*)