Oleh Afdini Rihlatul Mahmudah*)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Warisan budaya jika tidak mendapatkan perhatian serius dari seluruh elemen masyarakat maupun pemerintah, maka eksistensinya akan mengalami ketertinggalan bahkan akan mengarah pada hilangnya budaya tersebut.
Warisan budaya tak benda adalah warisan budaya yang bersifat abstrak (seperti konsep dan teknologi) maupun yang berlalu dan hilang dalam waktu, seperti musik, tari, upacara, serta berbagai perilaku terstruktur lainnya.
Karena sifatnya yang tak benda atau intangible, yang artinya tak punya kepadatan dan tak dapat di pegang, maka warisan budaya jenis ini seringkali jika hilang tidak lekas diketahui.
Budaya gotong-royong merupakan kekuatan besar masyarakat Indonesia yang perlu terus dikembangkan di negeri ini.
Akan tetapi, modernisasi telah mengubah kehidupan bermasyarakat, bahkan ada pendapat bahwa modernisasi itu adalah suatu tradisi bagi masyarakat pada masa sekarang ini.
Modernisasi melahirkan corak kehidupan yang sangat kompleks, hal ini seharusnya jangan sampai membuat Bangsa Indonesia kehilangan kepribadiannya sebagai bangsa yang kaya akan unsur budaya.
Baca juga: Bupati Semarang Ajak Pelaku Usaha dan Industri Gotong-Royong Tangani Covid-19
Dalam membangun karakter bangsa kita perlu meningkatkan dan menyadari adanya nilai-nilai kearifan lokal.
Yakni budaya gotong royong, yang sejak dulu dikenal masyarakat sebagai sarana untuk bekerja sama dan tolong menolong antar anggota masyarakat dalam menyelesaikan kepentingan bersama yang didasarkan pada solidaritas sosial.
Baca juga: Nadiem: Gotong Royong Dibutuhkan di Era Disrupsi Teknologi
Sungguh disayangkan bila gotong royong sebagai nilai budaya masyarakat dan kearifan lokal dilupakan dalam kehidupan bermasyarakat.
Gotong royong merupakan bagian dari warisan budaya tak benda di Indonesia. Kearifan lokal sering juga disebut sebagai kebijakan setempat (local wisdom).
Nilai-nilai itu dapat dilihat dari tradisi berbagai etnis (lisan dan tulis), seperti budaya gotong-royong, budaya disiplin, budaya tepat waktu, budaya demokrasi, saling menghormati dan toleransi.
Akan tetapi, seiring perkembangan zaman yang makin modern membuat kondisi masyarakat Indonesia pada saat ini cenderung individualistis dan materialistis.
Tak dapat dipungkiri karena pada kenyatannya kondisi sosial masyarakat perkotaan lebih bersifat individualis yang terkadang sama tetangga sebelah rumahnya pun tidak ada komunikasi.
Mereka pada umumnya memiliki pola pikir materialis yang mengukur dan menilai segala sesuatu berdasarkan nilai materi.
Permasalahannya adalah tanpa ada kearifan lokal dari masyarakat setempat, budaya gotong royong mungkin sudah sirna (hilang).
Hasil studi empiris di Desa Huyula, sebuah desa di Kecamatan Mootilango, Kabupaten Gorontalo yang dilakukan oleh Rasid Yunus dan dituangkan dalam buku berjudul “Nilai-nilai kearifan lokal (local genius) sebagai penguat karakter bangsa”, diketahui, masyarakat Desa Huyula masih kental dengan tradisi gotong royong dalam beberapa kegiatan.
Misalnya, kegiatan Ambu, yaitu kegiatan Jum’at Bersih dimana pemerintah kecamatan dan staf kantor camat serta masyarakat setiap hari jum’at membersihkan selokan air dan masjid-masjid guna memperingati hari-hari besar agama Islam.
Tradisi gotong royong juga mereka lakukan saat ada keluarga atau kerabat yang mengalami kedukaan, kegiatan tersebut dinamakan Hileiya yaitu dengan memberikan sejumlah uang melalui ibu-ibu PKK yang dikumpulkan untuk diberikan kepada keluarga yang sedang berduka.
Nilai-nilai kearifan lokal ini perlu diwariskan kepada generasi muda Desa Huyula yang salah satunya dapat dilakukan melalui pendidikan karakter dengan mengintegrasikan pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Gotong-royong sebagai warisan budaya tak benda juga nampak jelas dalam kehidupan masyarakat Betawi. Ini terlihat saat sedang punya hajat (acara).
Umumnya dalam setiap hajatan, mereka melakukan apa yang disebut dengan istilah “nyambut” atau “sambatan”.
Mereka memberi bantuan baik dalam berupa bahan makanan maupun uang untuk membantu pelaksanaan acara (hajatan).
Nilai budaya tersebut adalah salah satu contoh gotong royong dan kekeluargaan dalam masyarakat Betawi.
Mereka tidak meminta imbalan saat itu karena mereka menyadari bahwa suatu saat nanti jika mereka mengalami kerepotan maka tetangga mereka juga akan membantu dan tidak akan membiarkan mereka kerepotan sendirian.
Demikian pula dengan kearifan lokal suku bangsa Betawi. Mengingat etnis Betawi berada di ibukota Jakarta yang banyak didatangi oleh etnis lainnya dari luar Jakarta, maka dikhawatirkan ketahanan budaya lokalnya akan terkikis.
Apalagi dengan pembangunan dan pengembangan kota Jakarta yang semakin gencar dilakukan menyebabkan banyak etnis Betawi yang tergusur ke daerah-daerah perbatasan Jakarta.
Untuk itu diperlukan strategi penguatan budaya lokal Betawi sebagai salah satu dasar pembentukan jatidiri dan karakter bangsa.
Jika kita bercermin dari keberhasilan masyarakat Korea Selatan membangun negaranya menjadi bangsa yang maju seperti sekarang, sesungguhnya kita bangsa Indonesia sudah memiliki sifat-sifat yang mereka miliki.
Yaitu, gotong-royong, semangat toleransi, saling menghormati dan kerja keras yang tercermin dari kearifan lokal suku-suku bangsa yang ada di Indonesia.
Namun gotong-royong yang ada sekarang lebih diwujudkan dalam bentuk politisasi jabatan bersama keluarga, pembagian kekuasaan bersama dan korupsi bersama, sehingga keinginan menjadi bangsa yang maju masih memerlukan perjuangan yang panjang.
Setiap kearifan lokal pasti memiliki nilai-nilai luhur tertentu yang dipandang baik serta dijadikan aturan dan norma sosial.
Nilai-nilai ini selanjutnya mengikat masyarakat dalam sebuah komunitas dan menjamin mereka untuk hidup dengan damai, harmonis, bersahabat, saling menghargai dan menghormati, serta saling membantu satu sama lain.
Pelestarian warisan budaya tak benda yang bersifat dinamis ini perlu dilakukan, karena sifatnya yang abstrak, berlalu dan mudah hilang tanpa disadari.
*) Penulis adalah Pustakawan di Direktorat Deposit Dan Pengembangan Koleksi Perpustakaan Perpustakaan Nasional RI