TANPA maksud mengecilkan, kenyataannya kekerasan di dalam penjara bukan satu dua kejadian. Kekerasan dalam penjara merupakan fenomena.
Karena itulah muncul istilah prison culture dan prison mentality. Jadi, duel antara Ryan dan Habib Bahar, jika sebatas ditinjau dari perilaku kekerasannya, bukanlah peristiwa yang luar biasa.
Adu gelut keduanya perlu disorot dari konteks bagaimana sistem peradilan pidana secara terintegrasi menyikapi kedua orang tersebut.
Setiap narapidana menjalani penakaran risiko dan kebutuhan (risk and need assessment) agar dapat diketahui kemungkinan ia mengulangi perbuatan pidananya.
Bahar Smith memperoleh remisi. Itu tentu didahului penakaran risiko dan kebutuhan juga. Jadi, remisi bagi Bahar dapat diartikan sebagai dua hal.
Pertama, pembinaan telah diselenggarakan. Kedua, Bahar merespon positif terhadap program pembinaan.
Dengan kata lain, ringkasnya, pembinaan bagi Bahar berjalan efektif sehingga diyakini kecil kemungkinannya ia akan mengulangi perbuatannya.
Pada sisi lain, Ryan adalah terpidana mati. Ini pun pasti didahului proses ala penakaran risiko dan kebutuhan pula oleh hakim.
Dan ketika hakim menjatuhkan hukuman mati, bahkan bukan hukuman seumur hidup, dapat dimaknai sebagai manifestasi tiga hal.
Pertama, hakim menyimpulkan amat-sangat tinggi peluang si narapidana mengulangi perbuatannya.
Kedua, hakim melihat tidak ada bentuk penanganan (rehabilitasi) apa pun yang akan bisa memperbaiki tabiat dan perilaku Ryan.
Ketiga, hakim merasa berkepentingan untuk juga semaksimal mungkin melindungi masyarakat agar terhindar dari risiko dijahati oleh Ryan.
Dari situ bisa dikatakan, perkelahian antara Bahar dan Ryan adalah benturan antara napi berisiko rendah dan napi berisiko sangat tinggi.
Antara napi yang dinilai tidak lagi membahayakan masyarakat dan napi dengan tingkat kebahayaan maksimal.