News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Azis Syamsuddin Tersangka

Akankah Azis Syamsuddin Buka Kotak Pandora?

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wakil Ketua DPR RI, Azis Syamsuddin mengenakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Sabtu (25/9/2021) dini hari. KPK resmi menahan Azis Syamsuddin terkait kasus dugaan korupsi pemberian hadiah atau janji terkait penanganan perkara yang ditangani oleh KPK di Kabupaten Lampung Tengah. Tribunnews/Irwan Rismawan

Oleh: Karyudi Sutajah Putra

TRIBUNNEWS.COM - Kabar penetapan Aziz Syamsuddin sebagai tersangka suap perkara korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) Lampung Tengah bak petir di siang bolong.

Khususnya bagi para anggota DPR RI. Lebih khusus lagi bagi mereka yang tengah atau pernah duduk di Komisi XI dan Badan Anggaran (Banggar) DPR.

Apalagi setelah Wakil Ketua DPR itu ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Jantung mereka dag-dig-dug-der. Aziz dikhawatirkan "bernyanyi".

Jika Aziz "bernyanyi", niscaya kotak Pandora akan terbuka.

Mereka pun bisa masuk penjara secara berjemaah.

Akankah Aziz membuka kotak Pandora?

Mantan Bupati Lampung Tengah Mustafa telah lebih dulu "bernyanyi": Aziz Syamsuddin minta fee 8 persen terkait penetapan DAK. 

Baca juga: KPK Tahan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin, Kini Golkar Sedang Kaji Secara Mendalam

Perkara ini masuk radar KPK, sehingga Aziz pun disangka menyuap penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju sebesar Rp 3,1 miliar dari Rp 4 miliar yang dijanjikan.

Saat kasus terjadi, Aziz adalah Ketua Banggar DPR.

Modus minta fee seperti Aziz itu jamak berlaku di Komisi XI dan Banggar DPR.

Lihat saja kasus suap mantan Wakil Ketua DPR dari Partai Amanat Naaional (PAN) Taufik Kurniawan.

Medio 2019, Taufik divonis 6 tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Semarang karena terbukti menerima imbalan Rp 4,85 miliar. 

Fee tersebut masing-masing terbagi atas pengurusan DAK Kabupaten Kebumen yang bersumber dari APBN Perubahan Tahun 2016 sebesar Rp 3,65 miliar, dan pengurusan DAK Kabupaten Purbalingga yang bersumber dari APBN-P Tahun 2017 sebesar Rp 1,2 miliar.

Kebumen dan Purbalingga adalah daerah pemilihan Taufik Kurniawan, yang bersama Kabupaten Banjarnegara masuk Dapil Jawa Tengan VII.

Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kepada provinsi/kabupaten/kota tertentu dengan tujuan mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan pemerintah daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. DAK termasuk di dalam Dana Perimbangan, di samping Dana Alokasi Umum (DAU).

Informasi dari mantan anggota Banggar DPR, selain DAK, penetapan alokasi anggaran yang rawan suap adalah Dana Optimalisasi dan Dana Transfer ke Daerah.

Dana Optimalisasi adalah anggaran yang muncul karena penyisiran atas pendapatan dan belanja.

Anggaran ini tidak ada dalam Rancangan APBN dan baru muncul saat pembahasan antara pemerintah dan DPR.

Adapun Dana Transfer ke Daerah adalah bagian dari belanja negara dalam rangka mendanai pelaksanaan desentralisasi fiskal berupa Dana Perimbangan, DAK dan Dana Penyesuaian.

Maka "bernyanyi'-lah Aziz Syamsuddin, niscaya kotak Pandora di Komisi XI dan Banggar DPR akan terbuka, sehingga Anda tidak akan sendirian di sel penjara.

Mungkin KPK bisa memberikan status "justice collaborator" bagi Aziz agar Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu mau “bernyanyi”.

Entry Point

“Nyanyian” Aziz bisa menjadi entry point atau titik masuk bagi KPK untuk menyelidiki dugaan kongkalikong dalam penyusunan anggaran di DPR.

KPK juga terindikasi hendak menjadikan kasus suap Aziz ke Robin dalam perkara korupsi DAK Lampung Tengah tahun 2017 ini sebagai entry point kasus-kasus lain yang diduga melibatkan Aziz.

Sebut saja kasus dugaan suap mantan Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Rita Widyasari kepada Robin Pattuju dalam pengurusan Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA) terkait perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang juga menyeret-nyeret nama Aziz Syamsuddin.

Tidak itu saja.  Dalam kasus suap Walikota Tanjungbalai, Sumatera Utara, M Syahrial kepada Robbin Pattuju terkait perkara jual-beli jabatan, nama Aziz Syamsuddin juga terseret-seret.

Aziz, dan Robin yang diklaim sebagai "anak asuh"-nya, mungkin berprinsip "Palugada" atau "apa yang lu perlu, gua ada". Mereka pun menjadi "markus" (makelar kasus).

Ada sejumlah kasus lain yang juga diduga melibatkan Aziz Syamsuddin.

Di antaranya kasus korupsi proyek Simulator SIM di Korps Lalu Lintas Polri tahun 2013. Kasus-kasus itu bakal diungkap atau tidak, tergantung KPK.

Yang jelas, penetapan tersangka Aziz Syamsuddin bisa menjadi entry point bagi pengusutan kasus-kasus Aziz lainnya. Juga untuk membuka kotak Pandora patgulipat penyusunan anggaran di DPR.

Bubarkan MKD!

Mungkin karena sadar bahwa perkara Aziz Syamsuddin bisa merembet ke mana-mana, terutama ke kolega-koleganya, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) melempem.

Kasus dugaan pelanggaran etik Aziz Syamsuddin terkait korupsi DAK Lampung Tengah itu sebenarnya sudah diadukan ke MKD sejak 2017. Tapi sampai sekarang tak kunjung diproses.

MKD berlindung di balik dalih legal formal. Misalnya, pengadunya setelah diverifikasi tidak jelas legal standing-nya.

Ketika Aziz Syamsuddin sudah ditangkap KPK pun, MKD masih berkilah. Pimpinan MKD mengaku tidak mau mengintervensi proses hukum Aziz di KPK. Mereka menunggu bola muntah dari KPK.

Padahal, itu hanya alibi belaka. Sebab dugaan pelanggaran etik yang diurus MKD berbeda klasternya dengan proses hukum di KPK.

Derajat etik lebih tinggi daripada hukum. Melanggar hukum sudah pasti melanggar etik.

Tapi melanggar etik belum tentu melanggar hukum.

Melempemnya MKD terhadap Aziz Syamsuddin mengingatkan kita akan sikap MKD yang sama saat menghadapi kasus Setya Novanto yang saat itu menjabat Ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar.

Jika MKD baru bertindak setelah ada tindakan hukum dari KPK atau aparat penegak hukum lain, lalu apa gunanya MKD? Bubarkan saja karena MKD tak ada guna.

Mengapa pula Aziz Syamsuddin harus mangkir dari pemeriksaan KPK dengan dalih sedang menjalani isolasi mandiri Covid-19 sehingga harus dijemput paksa?

Mengapa ia tidak segagah berani saat minta fee?

Melihat sikap pengecut Aziz, kita pun pesimistis ia berani "bernyanyi".

Sebab wakil rakyat asal Lampung itu akan takut dimusuhi kolega-koleganya. Krisdayanti yang baru "bernyanyi" soal gaji DPR saja sudah dimusuhi, kok.

Apalagi jika Aziz "bernyanyi" dan membuka kotak Pandora. Maka KPK perlu membuka paksa kotak Pandora itu.

* Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini