Oleh Moch S Hendro Wijono *)
Konsolidasi yang berbentuk merger (penggabungan usaha) antara Indosat Ooredoo dan Hutchison Tri Indonesia (3), yang disebut sebagai aksi korporasi terbesar di Asia tahun 2021, pada dasarnya sangat berbeda dengan ketika XL Axiata mengakuisisi Axis. Tahun 2014 XL membeli seluruh saham STC (Saudi Telecom Company) sebesar 865 juta dollar AS.
Namun KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) melihat bahwa akuisisi menyebabkan XL “kelebihan” frekuensi sehingga menimbulkan persaingan tidak sehat. Akhirnya frekuensi milik XL selebar 10 MHz di spektrum 2,1 GHz diambil pemerintah, kemudian dilelang, dan XL pun ikut lelang walau kalah.
Aksi korporasi ini, menurut pengamat telekomunikasi Kamilov Sagala, salah momentum, terjadi saat Indonesia masih menggunakan UU No 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Regulasi saat itu tegas menyatakan bahwa frekuensi adalah sumber daya alam yang langka dan menjadi milik negara, sehingga tidak bisa dipindahtangankan.
Baca juga: Susul Indosat, Fren Jajaki Merger dengan XL Axiata
Efek regulasi itu tidak hanya ke proses XL dan Aksis tetapi juga ketika IM2 dan Indosat sebagai pemiliknya berurusan dengan aparat keamanan karena dianggap menyewakan frekuensi.
Akibatnya, meskipun berulang kali pemerintah menyarankan terjadinya konsolidasi di kalangan operator, semuanya bungkam, ragu-ragu akan adanya “jebakan batman”, salah-salah frekuensinya diambil sebagian.
Saat ini, ketika Indonesia memiliki Omnibus Law berupa UU Cipta Kerja No 11 tahun 2020, pengambilan frekuensi oleh pemerintah bisa dihindari, walau dalam memberi persetujuan Kominfo tetap saja wajib melibatkan KPPU. Pasal 33 ayat (6) UU no 11/2020 berbunyi kira-kira, …. Operator seluler dapat mengalihkan spektrum frekuensi radionya kepada operator lain setelah mendapat persetujuan pemerintah….
Undang-undang ini melegakan pelaku industri telekomunikasi yang tidak bisa lepas dari pemilikan spektrum frekuensi, apalagi ketika Menkominfo Johnny G Plate sudah menyatakan bahwa ia merestui dan mendukung merger Indosat – Tri. Memang masih dievaluasi, tetapi operator boleh lega karena kemungkinan pengambilan spektrum itu agak jauh.
Baca juga: Mantan Komisioner BRTI Sarankan Indosat dan Hutchinson Tetap Jalankan Pertimbangan KPPU
Pelanggan milenial tumbuh
Merger Indosat dengan Tri diakui menteri membawa kebaikan karena akan terjadi efisiensi dan industri akan lebih produktif. “Ada efiensi dalam pemanfaatan infrastruktur dan sumber daya manusia, dan, permodalan yang lebih hebat,” ujarnya kepada media.
Konsolidasi dalam bentuk merger atau akuisisi memang menjadi syarat jika industri ingin efisien, apalagi untuk 350 juta pelanggan dengan 230 juta penduduk pemilik kartu enam operator, terlalu banyak.
Dari enam menjadi hanya lima, sudah bagus dan akan sangat bagus jika menjadi tiga atau setidaknya empat operator. Beberapa negara bisa jadi contoh, dua operator masing-masing di India (Vodafone dengan Airtel) dan di Malaysia (Celcom dan Telenor) sudah melakukan merger agar bisnis mereka efisien.
Ujar pengamat telekomunikasi, Joseph M Edward kepada media, merger antara Indosat dan Tri menciptakan industri telekomunikasi yang lebih sehat, sekaligus menguntungkan konsumen. Mereka dapat menikmati layanan telekomunikasi dengan tarif terjangkau dan berkualitas, karena terciptanya struktur pasar dan industri yang lebih kompetitif.
Menurut sebagian masyarakat pelanggan, mereka tidak terlalu peduli adanya merger, yang penting nomor mereka tidak harus berubah, dan tarif tidak menjadi mahal, terutama bagi milenial yang selama ini menikmati tarif internet termurah dari Tri.
Baca juga: Merger Indosat-Tri Ciptakan Perusahaan Telekomunikasi dan Internet Digital Kelas Dunia di Indonesia
Bahkan bekas pelanggan Tri akan menikmati pengalaman baru, mulai bisa menelepon atau menerima telepon di daerah yang tadinya hanya dikuasai Indosat, misanyua di NTT, Maluku dan Papua.
Kawasan-kawasan tadi bukannya tidak punya milenial, pelajar dan mahasiswa, hanya karena tidak ada jaringan Tri mereka tidak kenal layanan Tri. Akan terjadi penambahan pelanggan karena pelanggan Tri di Jawa misalnya, bisa minta kerabat mereka di kawasan tadi untuk berlangganan Indosat Ooredoo Hutchison. Asal saja Indosat Ooredoo Hutchison membuka segmen milenial, bukan sekadar memasukkan ke IM3 yang murahnya masih murah borjuis.
Pemerintah pun mendapat PNBP (penerimaan negara bukan pajak) lebih besar karena akan terjadi perluasan layanan ke seluruh wilayah dengan jumlah BTS yang bertambah. Transaksi bisnis pun tidak hanya terjadi di Tanah Air, karena dua raksasa, Ooredoo dan Hutchison, merupakan pemain global, bukan “kaleng-kaleng”.
Merger XL Axiata dan Smartfren
Prediksi-prediksi keuntungan berbagai pihak tadi, operator, masyarakat dan negara, selain adanya desakan para pengamat, membuat Xl Axiata dan Smartfren akan melakukan merger juga.
Menurut Bloomberg, Kelompok Axiata dan Kelompok Sinarmas (pemilik Smartfren) sedang mempertimbangkan opsi yang dapat mencakup berbagi jaringan mereka, namun diakui diskusi keduanya masih berlangsung dan belum ada kepastian merger.
Namun kedua petinggi, Merza Fahys (Smartfren) dan Dian Siswarini (XL Axiata) menyatakan terbuka kemungkinan untuk berkonsolidasi dengan pihak mana pun. “Semua pihak harus mendapat manfaat yang sama,” ujar Merza.
Kalau terjadi, ini akan membuat XL Axiata – Smartfren sebagai penantang langsung dan menjegal Indosat Ooredoo Hutchison yang berambisi menjadi operator terbesar kedua. XL Axiata punya modal 103.000 km serat optik, menjadi 123.000 km jika merger, BTS menjadi hampir 200.000 buah, di antaranya 156.000 milik XL, pelanggan jadi 85 juta, yang 56,8 juta di antaranya dari XL Axiata.
Beberapa tahun terakhir XL Axiata menangguk untung, semester 1 lalu mendapat Rp 716 miliar, Smartfren berhasil menekan rugi jadi Rp 452 miliar, dengan kemampuan ekspansi yang tinggi yang didukung kelompoknya. Sinarmas merupakan kelompok sultan dengan berbagai jenis usaha, punya aset lebih dari Rp 150 triliun.
Peluang merger bukan hanya Indosat – Tri atau XL – Smart, karena mungkin saja XL Axiata merapat ke Telkomsel, walau di sini tampaknya Telkomsel akan lebih pasif, sebab mereka sebenarnya tidak butuh merger. Telkomsel sudah menjadi operator pertama yang sudah sepenuhnya bertransformasi ke digital, efisien dan tidak butuh rekan untuk makin maju.
Dari sisi negara akan ada kekhawatiran, merger dengan operator lain membuat porsi setoran ke negara berupa dividen dan berbagai macam pajak dari Telkomsel lewat PT Telkom bisa terganggu. Masalah dividen, pajak dan PNBP saat ini sangat sensitif, ketika negara sedang butuh dana banyak untuk menumpas Covid-19. (*)
*) Moch S Hendro Wijono adalah mantan wartawan kompas dan pengamat telekomunikasi