News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Cryptocurrency dan Sikap Progresif LBM NU DIY

Editor: Husein Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

KH. Imam Jazuli, Lc. MA, alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Persoalan cryptocurrency ini sejatinya hanya kasuistik. Di masa-masa mendatang, akan ada banyak kasus-kasus lain berkenaan dengan dunia digital yang harus disikapi secara arif bijaksana oleh LBMNU. Jadi, yang paling penting bukan cryptocurrency itu sendiri, melainkan manhaj, metodologi, logika dan nalar pada LBM NU. Karena itulah, jika LBMNU DIY bisa bernalar secara progresif dan dinamin, mengapa LBM-NU Jawa Timur memilih jalan jumud?!

Setelah saya mendengarkan dengan seksama bagaimana jalannya sidang Bahtsul Masail Jogja, saya menjadi paham. Kitab kuning yang merupakan dokumen pemikiran intelektual klasik "didekati" dengan pendekatan-pendekatan berbagai disiplin ilmu pengetahuan modern, yang sejatinya sudah sangat lazim di lingkungan kampus. Ada pendekatan sejarah, pendekatan antropologi, pendekatan filsafat, dan lainnya yang mereka pakai untuk memahami baris demi baris bunyi teks kitab kuning. Di sini mulai kelihatan teks kitab kuning berdialektika dengan teks "kitab putih", tepatnya sains modern multidisipliner.

Saya paham tradisi NU yang mengkultuskan kitab kuning. Itu tidak masalah. Yang bermasalah adalah tidakadanya kesadaran bahwa kitab kuning itu sendiri adalah teks. Sebagai sebuah teks, kitab kuning ada jarak yang jauh antara dirinya dengan pembacanya hari ini, antara diri dengan konteks zamannya hari ini. Teks kitab kuning harus dipahami berdasarkan konteks dimana teks itu diproduksi saat itu. Setelah dicapai pemahaman itu, dilanjutkan dengan memahami teks kitab kuning dengan konteks pembacanya hari ini. Semua itu akan lebih mudah bila dipahami dari disiplin hermeneutika.

Perbedaan kemampuan membaca teks kitab kuning melahirkan perbedaan pemahaman. Itu terjadi dan terlihat pada dua hasil keputusan LBM-NU antara Jawa Timur dan Yogyakarta. Bagi saya, proses bergulirnya diskusi maupun hasil keputusan LBM-NU DIY jauh lebih komprehensif. Dan nyatanya, di masa depan, keputusan Jogja jauh lebih relevan. Umat muslim perlu menyambut datangnya era baru di masa depan, ketika mata uang tidak saja berupa logam dan kertas melainkan juga data biner digital.

Ketika terminologi "data biner digital" semacam ini tidak pernah muncul, maka otomatis teks-teks kitab kuning sudah tidak memadai. Tidak ada pembicaraan apapun dari kitab kuning klasik tentang dunia digital. Pada sat yang sama, kita butuh kitab-kitab lain; teks-teks apapun, untuk mendampingi kitab kuning ini. Teks-teks pendamping ini bisa berupa hasil kajian ilmiah para akademisi kampus, atau juga bisa berupa aturan dan perundang-undangan yang diterbitkan oleh pemerintah/negara. Kehadiran kitab kuning di era digital hari ini bagaikan manusia renta yang berusia senja, sehingga butuh tongkat penyangga atau kursi roda pendorong. Tongkat dan kursi roda ini berupa kajian ilmiah kampus maupun aturan perundangan negara.

Hal penting lainnya, selain pendampingan kitab kuning dengan kitab putih, ada hikmah lain dari LBMNU DIY ini, yaitu cara pembacaan mereka dan cara mengutip referensi kitab kuning sebagai rujukan. Setidaknya ada dua kelompok nama-nama ulama yang bisa disebut; pertama, kelompok mutakhir (Khalaf), seperti Wahbah Azzuhaili (1932-2015), Yusuf al-Qaradawi (1926-2012), dan Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, dan kedua, kelompok klasik (salaf) seperti Al-Ghazali (1058-1111), Ibnu Hajar Al-Asqalani (1372-1449), dan As-Suyuthi (1445-1505).

Dengan demikian, LBMNU DIY tidak saja menggunakan kitab-kitab karya ulama klasik tetapi juga kitab-kitab ulama kontemporer. Mengumpulkan dua generasi ulama (Salaf dan Khalaf) bukan perkara mudah, karena di sana dibutuhkan kemampuan "pembacaan hermeneutis". Ketika kemampuan kritis hermeneutis ini tercapai, maka tidak terlihat adanya perbedaan antara kitab salaf dan kitab khalaf dalam menjawab problematika kehidupan kontemporer ini.

Alhasil, manhajul fikr LMB NU membutuhkan upaya reformasi, membenahi unsur-unsur cacat di dalamnya, menambal dan menyulamnya kembali, sehingga di kemudian hari muncul fatwa-fatwa yang tidak beragam seperti sekarang, seperti perbedaan fatwa cryptocurrency antara versi Jawa Timur dan versi Yogyakarta. Umat muslim awam butuh para pemimpin yang menyatukan, bukan memecahkan. Sebab, perpecahan selalu dimulai dari kaum elit, dan orang awam hanya ikut-ikutan. Wallahu a'lam bis shawab.

*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini