Cryptocurrency dan Sikap Progresif LBM NU DIY
Oleh: KH. Imam Jazuli,Lc. MA*
TRIBUNNEWS.COM - Setelah saya menulis kritikan berjudul "LBM-NU, Cryptocurrency dan Kejumudan Nalar" (Tribunnews, 22/11/2021), tak lama saya mendapat kiriman dokumen hasil keputusan LBM-NU DIY dari Gus Irwan Masduki. Beberapa saat kemudian, saya menemukan pemberitaan berjudul "LBM PWNU DIY: Crypto Halal" (Bangkitmedia, 22/11/2021). Barulah saya mengatakan dalam hati: "Begini contoh nalar Kiai progresif untuk zaman ini dan generasi mendatang"
Setelah saya baca keseluruhanya, diketemukanlah beberapa nama intelektual muda progresif lainnya yang menjadi penentu final terkait Cryptocurrency. Beberapa perumus dan tokoh yang terlibat saya kenal baik, diantaranya adalah kiai muda; Gus Irwan Masduki, Gus Fajar Bashir, Gus Hilmy Muhammadiyah, Gus Sofiyullah Muzzamil dan Gus Anis Masduki.
Selain nama diatas ada Prof Purwo Santoso, Kiai Fahmi Akbar Idris, Kiai Aguk Irawan, Kiai Syukron Amin, Gus Syahbudi Nataros, Gus Muqorrobien Ma'arufi, dan Gus Dimas Surya al-Faruq. Selain nama-nama diatas yang semuanya karya ilmiahnya bisa dilacak di sejumlah jurnal baik nasional maupun internasional, nama belakangan ini juga cukup dikenal sebagai kiai muda yang progresif, dan intelektual yang memahami hakikat perkembangan dunia mutakhir.
Salah satu bunyi keputusan LBM-NU DIY tersebut adalah:
"Ekonomi merupakan bagian dari ranah hukum Islam yang dinamis. Perkembangan teknologi digital berpengaruh pada perubahan alat tukar, bentuk komoditas, maupun pola transaksi. Hukum Islam tidak mengatur jenis alat tukar yang harus digunakan. Dalam hukum Islam, jenis alat tukar mengikuti kebiasaan suatu komunitas."
Pernyataan LBM-NU DIY di atas merupakan cermin dari logika dan nalar yang progresif, dinamis, berpijak pada hukum sejarah yang terus berubah, dan realitas kehidupan itu sendiri. Terkait jenis alat tukar, misalnya, dirham dan dinar dipakai pada zaman klasik. Mata uang dibuat dari bahan material logam. Materi dan nilai tukarnya saat itu masih setara. Seiring berjalannya waktu, alat tukar berubah menjadi berupa uang kertas. Materi dan nilainya pun ikut berubah. Misalnya nilai tukar uang dollar tidak lagi setara dengan nilai materinya. Tetapi, Islam menerima kenyataan perubahan tersebut.
Zaman tidak mau berhenti. Hari ini, setelah sebelumnya meninggalkan logam menuju kertas, kini kertas pun ditinggalkan menuju digital. Terciptalah saat ini apa yang disebut mata uang kripto (cryptocurrency), yaitu alat tukar baru dan betul-betul baru bila dibanding uang kertas. Uang kripto hanya sekumpulan data biner dalam komputer namun didesain sebagai alat tukar. Jika umat muslim tidak mau menerima kenyataan perubahan zaman semacam ini, maka sebaiknya tolak saja seluruh jenis alat tukar yang berbeda dari zaman Rasulullah Saw.
Untuk itulah, sangat bijaksana logika LBM NU DIY yang mengatakan dalam keputusannya:
"Cryptocurrency merupakan anak kandung transformasi teknologi digital yang penggunaannya semakin intensif. Ia memenuhi syarat baik sebagai alat tukar maupun sebagai komoditas, (karena) di antaranya: memiliki manfaat, bisa diserahterimakan, dan bisa diakses jenis serta sifatnya oleh kedua belah pihak."
Jauh hari, penulis berpendapat bahwa sikap Islam atas persoalan cryptocurrency ini harus komprehensif dan objektif. Jangan hanya gara-gara pemerintah Indonesia belum siap segala aturan perundangan yang mengatur cryptocurrency, lalu sewenang-wenang memutuskan hukum bahwa cryptocurrency ini mengandung unsur "gharar" (penipuan). Sebab sudah ada beberapa negara walaupun tidak semuanya, mereka sudah punya aturan perbankannya.
Pernyataan LBM-NU DIY bahwa "cryptocurrency memiliki jenis dan sifat yang bisa diakses oleh kedua belah pihak" merupakan fondasi filosofis yang kuat sebagai basis hukum Islam. Sebagian besar umat muslim Indonesia yang hidup di negara berkembang mungkin tidak bisa sepenuhnya mengerti cara untuk akses. Tetapi, itu bukan berarti para pengguna cryptocurrency tidak betul-betul bisa akses. Artinya, LBM-NU Jawa Timur menyebut praktek keuangan menggunakan cryptocurrency ini mengandung "gharar" (penipuan), bukan berarti para pengguna cryptocurrency yang handal dan berpengalaman juga menemukan unsur gharar tersebut.
LBMNU DIY mengatakan bahwa jenis dan sifat cryptocurrency ini bisa diakses oleh kedua belah pihak, karena mereka paham semua regulasi terkait cryptocurrency telah diterbitkan dari tahun ke tahun, sejak 2018 dan yang terbaru versi 2022. Commonwealth Bank dari Australia akan menjadi dunia perbankan pertama yang menerapkan dan memberikan layanan cryptocurrency ini. Apabila sudah diberlakukan maka cabang-cabang Commonwealth Bank lainnya, termasuk yang di Indonesia, juga akan memberikan layanan yang sama.
Persoalan cryptocurrency ini sejatinya hanya kasuistik. Di masa-masa mendatang, akan ada banyak kasus-kasus lain berkenaan dengan dunia digital yang harus disikapi secara arif bijaksana oleh LBMNU. Jadi, yang paling penting bukan cryptocurrency itu sendiri, melainkan manhaj, metodologi, logika dan nalar pada LBM NU. Karena itulah, jika LBMNU DIY bisa bernalar secara progresif dan dinamin, mengapa LBM-NU Jawa Timur memilih jalan jumud?!
Setelah saya mendengarkan dengan seksama bagaimana jalannya sidang Bahtsul Masail Jogja, saya menjadi paham. Kitab kuning yang merupakan dokumen pemikiran intelektual klasik "didekati" dengan pendekatan-pendekatan berbagai disiplin ilmu pengetahuan modern, yang sejatinya sudah sangat lazim di lingkungan kampus. Ada pendekatan sejarah, pendekatan antropologi, pendekatan filsafat, dan lainnya yang mereka pakai untuk memahami baris demi baris bunyi teks kitab kuning. Di sini mulai kelihatan teks kitab kuning berdialektika dengan teks "kitab putih", tepatnya sains modern multidisipliner.
Saya paham tradisi NU yang mengkultuskan kitab kuning. Itu tidak masalah. Yang bermasalah adalah tidakadanya kesadaran bahwa kitab kuning itu sendiri adalah teks. Sebagai sebuah teks, kitab kuning ada jarak yang jauh antara dirinya dengan pembacanya hari ini, antara diri dengan konteks zamannya hari ini. Teks kitab kuning harus dipahami berdasarkan konteks dimana teks itu diproduksi saat itu. Setelah dicapai pemahaman itu, dilanjutkan dengan memahami teks kitab kuning dengan konteks pembacanya hari ini. Semua itu akan lebih mudah bila dipahami dari disiplin hermeneutika.
Perbedaan kemampuan membaca teks kitab kuning melahirkan perbedaan pemahaman. Itu terjadi dan terlihat pada dua hasil keputusan LBM-NU antara Jawa Timur dan Yogyakarta. Bagi saya, proses bergulirnya diskusi maupun hasil keputusan LBM-NU DIY jauh lebih komprehensif. Dan nyatanya, di masa depan, keputusan Jogja jauh lebih relevan. Umat muslim perlu menyambut datangnya era baru di masa depan, ketika mata uang tidak saja berupa logam dan kertas melainkan juga data biner digital.
Ketika terminologi "data biner digital" semacam ini tidak pernah muncul, maka otomatis teks-teks kitab kuning sudah tidak memadai. Tidak ada pembicaraan apapun dari kitab kuning klasik tentang dunia digital. Pada sat yang sama, kita butuh kitab-kitab lain; teks-teks apapun, untuk mendampingi kitab kuning ini. Teks-teks pendamping ini bisa berupa hasil kajian ilmiah para akademisi kampus, atau juga bisa berupa aturan dan perundang-undangan yang diterbitkan oleh pemerintah/negara. Kehadiran kitab kuning di era digital hari ini bagaikan manusia renta yang berusia senja, sehingga butuh tongkat penyangga atau kursi roda pendorong. Tongkat dan kursi roda ini berupa kajian ilmiah kampus maupun aturan perundangan negara.
Hal penting lainnya, selain pendampingan kitab kuning dengan kitab putih, ada hikmah lain dari LBMNU DIY ini, yaitu cara pembacaan mereka dan cara mengutip referensi kitab kuning sebagai rujukan. Setidaknya ada dua kelompok nama-nama ulama yang bisa disebut; pertama, kelompok mutakhir (Khalaf), seperti Wahbah Azzuhaili (1932-2015), Yusuf al-Qaradawi (1926-2012), dan Prof. Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, dan kedua, kelompok klasik (salaf) seperti Al-Ghazali (1058-1111), Ibnu Hajar Al-Asqalani (1372-1449), dan As-Suyuthi (1445-1505).
Dengan demikian, LBMNU DIY tidak saja menggunakan kitab-kitab karya ulama klasik tetapi juga kitab-kitab ulama kontemporer. Mengumpulkan dua generasi ulama (Salaf dan Khalaf) bukan perkara mudah, karena di sana dibutuhkan kemampuan "pembacaan hermeneutis". Ketika kemampuan kritis hermeneutis ini tercapai, maka tidak terlihat adanya perbedaan antara kitab salaf dan kitab khalaf dalam menjawab problematika kehidupan kontemporer ini.
Alhasil, manhajul fikr LMB NU membutuhkan upaya reformasi, membenahi unsur-unsur cacat di dalamnya, menambal dan menyulamnya kembali, sehingga di kemudian hari muncul fatwa-fatwa yang tidak beragam seperti sekarang, seperti perbedaan fatwa cryptocurrency antara versi Jawa Timur dan versi Yogyakarta. Umat muslim awam butuh para pemimpin yang menyatukan, bukan memecahkan. Sebab, perpecahan selalu dimulai dari kaum elit, dan orang awam hanya ikut-ikutan. Wallahu a'lam bis shawab.
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.