Without The Box Thinking, Tentang Dikotomi Pesantren Modern dan Salaf
Oleh : KH Imam Jazuli, Lc. MA
TRIBUNNEWS.COM - Suatu ketika, saya kedatangan tamu dari negeri jiran Malaysia. Mereka berasal dari salah satu stasiun teve swasta. Atas rekomendasi sebuah lembaga di sana, Pesantren Bina Insan Mulia termasuk salah satu pesantren yang harus dikunjungi di Indonesia.
Stasiun televisi tersebut ingin membuat tayangan pesantren Indonesia di acara Ramadhan. Saya tidak tahu apa kriteria yang menjadi patokan mereka. Yang saya tangkap dari percakapan itu bahwa menurut mereka Pesantren Bina Insan Mulia memiliki keunikan atau perbedaan.
Setelah mereka meminta izin, mereka melihat-lihat lokasi langsung. Mereka ambil beberapa gambar kemudian mewawancarai santri dan terus berdiskusi dengan guru. Mereka meminta penjelasan apa saja kegiatan di Bina Insan Mulia, bagaimana kegiatan itu dikelola dan memotret wajah fisik Pesantren Bina Insan Mulia secara keseluruhan.
Setelah itu barulah mereka mewawancarai saya. Dari sekian pertanyaan itu, ada satu hal yang menurut saya perlu dijelaskan tidak saja di momen itu. Saya perlu sampaikan kepada khalayak pesantren di Indonesia, khususnya wali santri, santri, dan masyarakat yang mencintai pesantren.
Saya ditanya, Pesantren Bina Insan Mulia ini termasuk salaf atau modern? Tentu tidak bisa saya jawab salah satunya, apakah modern atau salaf. Saya merasa perlu menjelaskan ini dengan latar belakang yang panjang agar pertanyaan tersebut mendapatkan jawaban yang lengkap.
Pesantren Salaf dan Modern
Awalnya, pesantren di Indonesia ini bisa disebut salaf. Salaf di sini pengertiannya tradisional. Pesantren salaf berkembang secara mengalir. Ada kelompok masyarakat yang belajar ilmu agama kepada salah seorang tokoh yang kemudian disebut kiai.
Lama-lama, jumlah santri bertambah banyak dan mereka datang dari tempat yang berbeda-beda. Supaya tidak pulang balik yang menyita waktu, para santri kemudian membangun pondokan untuk menginap. Tentu atas izin kiai. Bisa juga kiai yang menyediakan tempat mondok itu untuk para santri agar bisa menginap.
Kegiatan di pondok umumnya dikelola oleh santri sendiri. Para santri masak sendiri. Bahkan di zaman dulu, mereka punya lampu sendiri-sendiri untuk belajar. Pakaian utama yang menjadi ciri khas untuk santri putra adalah sarung, kopyah, dan sandal.
Buku yang diajarkan adalah kitab kuning dengan bahasa Arab lalu diterjemahkan secara kata perkata oleh kiai dengan bahasa daerah. Para kiai mengajarkan kitab-kitab tersebut dengan metode sorogan, bandongan, atau juga wetonan.
Metode sorogan berarti para santri menyodorkan materi yang ingin dipelajarinya atau kitab tertentu yang ingin dipelajarinya lalu para kiai membimbingnya. Sedangkan bandongan berarti memperhatikan secara saksama atau menyimak.
Dengan metode ini, para santri akan belajar dengan menyimak secara kolektif atau berbondong-bondong. Metode wetonan berarti pengajian yang diadakan oleh kiai berdasarkan waktu, biasanya sebelum atau sesudah melakukan shalat fardhu di masjid atau mushala pesantren.
Seiring dengan perkembangan zaman, metode klasikal kemudian juga diterapan. Dan pemilihan kitab pun disesuaikan dengan tingkatan kelas. Misalnya nahwu di tingkat dasar menggunakan buku Jurumiyah, lalu nahwu di tingkat menengah menggunakan Imrity dan di tingkat atas menggunakan Alfiah. Demikian juga pada pelajaran figh maupun al-hadits.
Di luar pengajaran itu, para kiai menggembleng santri-santrinya dengan pendidikan kemasyarakatan. Khususnya bagaimana menghadapi penjajahan Belanda, Jepang, Inggris dan juga ajaran ketauhidan masyarakat. Juga terkait dengan gerakan PKI dan kelompok-kelompok kejahatan di masyarakat.
Gelombang kemodernan umat Islam di dunia, baik di Mesir, Marokko, India, dan lain-lain mempengaruhi juga perubahan di dalam negeri, termasuk dalam pendidikan Islam. Maka mulailah berdiri lembaga pendidikan Islam yang juga berasrama, tapi buku ajar dan sistem pengajarannya berbeda dengan pesantren salaf.
Pengajarannya menggunakan bahasa Arab, bahasa Inggris, atau Belanda, seperti yang terjadi di Mesir atau yang lain. Pembelajarannya pun dilakukan di kelas. Pengalaman ini mulai diterapkan di Nusantara oleh orang-orang Indonesia yang telah selesai belajar dari luar negeri dan oleh para pejuang dari luar negeri yang masuk ke Indonesia.
Misalnya di Padang terdapat Mahmud Yunus. Beliau termasuk tokoh pendidikan Islam modern di zaman penjajahan. Pada 1931, Mahmud Yunus pulang ke Padang setelah belajar di Mesir 10 tahun. Mulailah beliau mendirikan Madras School lalu pada 1932, beliau juga Normal Islam School dan memimpin Sekolah Tinggi Islam (STI) Padang.
Demikian juga sekolah yang dirintis oleh KH. Ahmad Dahlan di Jogja dan juga Mambaul Ulum di Solo, dan lain-lain. Hanya saja, ketika berbicara pesantren modern, maka induknya selalu diarahkan pada Pondok Modern Gontor, yang mulai dirintis sejak tahun 1926 oleh tiga bersaudara yang disebut Trimurti, yaitu Kiai Sahal, Kiai Zainudin Fanani, dan Kiai Imam Zarkasyi.
Sebutan modern sendiri datang dari masyarakat karena melihat perbedaan yang mencolok, terutama sejak tahun 1937, yang berarti setelah 10 tahun-an beroperasi. Masyarakat memang menyaksikan bahwa Gontor berbeda dengan pesantren lain. Saat itu, untuk menyebut sesuatu yang berbeda, kata “modern” sangat pas.
Santri Gontor menggunakan celana, berjas, berdasi ketika masuk sekolah. Guru-guru juga demikian. Sarung dipakai di kegiatan shalat saja. Seluruh aktivitas santri dikendalikan oleh manajemen pesantren. Buku pelajaran 99% berbeda dengan pesantren salaf. Cara mengajarnya pun berbeda. Gontor menggunakan tiga bahasa, yaitu Arab, Inggris, dan Indonesia. Dikotomi ilmu umum dan ilmu agama dihilangkan.
Seiring dengan perubahan zaman, sejak Tahun 1980-an, generasi muslim Indonesia menghadirkan banyak pesantren model ketiga. Pesantren ini cirinya menggabungkan salaf, modern, dan juga mengakomodasi agenda-agenda pendidikan nasional, baik itu Kementerian Agama maupun Kementerian Pendidikan.
Pesantren model ketiga ini umumnya memiliki sekolah formal. Ada tingkatan tsanawiyah, aliyah, sampai perguruan tinggi. Ada juga yang membuka SMP, SMA, SMK, lalu sekolah tinggi. Hadir juga di model ketiga ini pesantren dalam bentuk boarding school yang berangkat dari inisiatif kaum kota untuk mengakomodasi kebutuhan umat Islam di segmen tertentu.
Ketika membaca Bina Insan Mulia dari fase perkembangan pesantren, maka pesantren Bina Insan Mulia masuk dalam fase perkembangan ketiga. Tetapi ada hal yang berbeda yang ingin saya jelaskan di sini. Terutama terkait dengan apa yang menjadi diferensiasi khusus Bina Insan Mulia dibanding pesantren salaf, modern, atau pesantren model ketiga yang ada.
Mempertahankan Esensi Salaf
Pesantren Bina Insan Mulia sangat berkomitmen untuk mempertahankan esensi pesantren salaf. Karena itu, Pesantren Bina Insan Mulia juga salaf, bahkan untuk hal-hal tertentu lebih salaf dari pesantren yang menyebut dirinya salaf hari ini.
Apa esensi pesantren salaf? Pesantren salaf setidaknya memiliki empat esensi dalam perjuangan pendidikannya.
Pertama, ghirah dan strategi politik. Dari sejak zaman Wali Songo, pesantren salaf atau pendidikan Islam telah menjadi kawah condrodimuko para pemimpin masyarakat. Tidak sedikit dari para pemimpin itu yang menjadi tokoh sentral dalam kekuasaan politik.
Dengan kekuasaan politik di tangan maka langkah para tokoh tersebut dalam menjalankan berbagai agenda dakwah sangat mulus. Agenda dakwah pun benar-benar dapat memberikan solusi riil masyarakat ke tingkat yang lebih luas.
Bisa kita bayangkan, bagaimana rumitnya berdakwah kala itu. Ada penjajah asing di negeri kita, yaitu Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang. Sementara, di dalam negeri sendiri kekuasaan kerajaan lokal telah lama menancapkan doktrin Hindu-Budha. Meski demikian rumit, para Wali Songo mampu menembus jantung peradaban masyarakat dengan ilmu dan kekuasaan.
Berdakwah dengan ceramah saja memang bagus, tapi lebih powerful lagi apabila mendapatkan back-up kekuasaan politik. Sang penguasa bisa mendirikan sekolah, menggerakkan petani, membangun jembatan, memberikan beasiswa, menempatkan orang-orang yang pro perjuangan, dan seterusnya.
Dengan ilmu dan kekuasaan yang dimiliki, Sunan Gunung Jati, beliau sanggup melakukan perubahan revolusioner atas Cirebon, Banten, dan Sunda Kelapa (Jawa Barat dan Jakarta). Dakwahnya pun menembus seluruh layanan yang dibutuhkan masyarakat.
Pada masa Sunan Gunung Jati, Cirebon mengalami kemajuan di bidang politik, keagamaan dan perdagangan. Selain itu, ada juga pelabuhan yang dulunya sebagai pusat perdagangan. Pelabuhan merupakan peninggalan Syekh Syarif Hidayatullah yang pernah menjadi bagian dari jalur sutra perdagangan dunia internasional.
Di masa pemerintahan Sunan Gunung Jati juga penyebaran Islam dilakukan ke Banten tahun 1525-1526 melalui penempatan salah seorang putra Syekh Syarif Hidayatullah bernama Maulana Hasanuddin. Dari Maulana Hasanudin inilah lahir Kesultanan Banten yang pernah mencapai puncak kemajuan di masa Tirtayasa.
Pertanyaannya, apa hubungan Syarif Hidayatullah dan pesantren salaf atau pendidikan Islam model salaf? Syarif Hidayatullah adalah santri dari Syaikh Nurjati. Beliau adalah perintis dakwah Islam di wilayah Cirebon yang sebelumya.
Tokoh kemerdekaan yang juga berasal dari alumnus pesantren salaf adalah Wahid Hasyim, yang merupakan Pahlawan Nasional. Setelah balik dari Makkah, KH. Wahid Hasyim langsung masuk ke kancah perpolitikan melalui Nahdlatul Ulama’. Dari pintu NU inilah KH. Wahid Hasyim berkiprah di berbagai gerakan kemerdekaan dan meninggalkan jasa yang sangat penting bagi Indonesia.
Selain terlibat dalam gerakan politik, tahun 1944 ia mendirikan Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang pengasuhannya ditangani oleh KH. A. Kahar Muzakkir. Inisiatif inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya IAIN atau UIN di Indonesia.
Wahid Hasyim dengan segudang pemikiran tentang agama, negara, pendidikan, politik, kemasyarakatan, NU, dan pesantren, telah menjadi lapisan sejarah ke-Islaman dan ke-Indonesiaan yang sangat strategis. Rumusan "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam Pancasila sebagai pengganti dari "Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluknya" tidak terlepas dari peran seorang Wahid Hasjim.
Kiprah Wahid Hasyim ini kemudian diteruskan oleh putranya, yaitu Gus Dur atau KH. Abdurrahman Wahid. Dari sejak kecil, Gus Dur adalah santri dari beberapa pesantren salaf di Jawa. Antara lain pernah mondok di Krapyak, di Tegal Rejo, di Tambak Beras lalu keliling sebentar-sebentar ke berbagai pesantren, seperti ayahandanya.
Gus Dur kemudian terpilih sebagai ketua PBNU dan sebagai Presiden Republik Indonesia. Tentu dengan kekuasaan yang dimiliki, ada banyak kepentingan umat dan kepentingan bangsa yang bisa diselesaikan oleh Gus Dur.
Hari ini, dengan terbukanya keran politik baru setelah reformasi, sebetulnya sudah luar biasa jumlah alumni pesantren salaf yang masuk ke lingkaran politik dan menjadi tokoh central. Mulai dari bupati, gubernur, bahkan menteri. Sahabat saya misalnya TGB Zainul Majdi yang pernah menjabat Gubernur NTB selama dua periode.
Namun untuk menghadapi berbagai problem umat dan bangsa Indonesia saat ini, kita membutuhkan sebanyak mungkin kader-kader pesantren yang mampu merebut kekuasaan politik. Kenapa? Dari kekuasaan politik inilah dakwah tidak saja hanya lancar, tetapi juga powerful, dan lebih mampu memberikan jawaban atas persoalan strategis bangsa.
Tentu Bina Insan Mulia sebagai pesantren yang ingin mengaktualisasikan esensi salaf tak mau ketinggalan. Sampai hari ini Pesantren Bina Insan Mulia terus membangun hubungan dengan tokoh-tokoh politik, terus mendorong para kader untuk masuk dalam kancah pertarungan politik, bahkan mendirikan sekolah politik Bina Insan Mulia.
Kedua, puasa. Puasa adalah esensi penting dalam pendidikan pesantren salaf. Tradisi pesantren salaf yang dipertahankan dan dilanjutkan oleh Pesantren Bina Insan Mulia adalah Puasa Dalail. Meski tidak diwajibkan untuk semua santri, tapi hampir semua santri Bina Insan Mulia pernah punya pengalaman menjalankan Puasa Dalail dan Wirid Dalail.
Sudah banyak keterangan mengenai keutamaan Puasa Dalail dengan seluruh disiplin yang terkandung di dalamnya. Salah satunya adalah membuka pintu-pintu kemudahan dalam menghadapi hidup di dunia dan di akhirat.
Bahkan tidak hanya santri. Secara resmi saya mengumumkan ajakan kepada para wali santri dan masyarakat umum untuk menjalankan Puasa Dalail melalui kegiatan Ijazah Kubro Dalailul Khairat. Setiap yang hadir akan mendapatkan risalah sanad, sertifikat ijazah kubro, kitab Dalailul Khoirat, dan tentu saja semua gratis.
Sungguh di luar dugaan. Saya pikir yang mau ikut sedikit. Begitu dibuka pendaftaran, ternyata 3000 yang mendaftar. Untuk menambung hadirin, Pesantren Bina INsan Mulia sampai mem-booking 3 hotel di Cirebon, Hotel Aston, Hotel Luxton, dan Hotel Swiss-Belhotel.
Menyaksikan langsung animo yang begitu besar dari wali santri dan masyarakat umum, Pesantren Bina Insan Mulia bertekad untuk mengadakan kegiatan tersebut tidak hanya sekali setahun. Bisa jadi setiap tiga bulan sekali.
Ketiga, akulturasi budaya. Sering dipahami bahwa akulturasi budaya adalah terjadinya proses perpaduan antarbudaya dan menghasilkan budaya baru tanpa menghilangkan unsur-unsur asli dalam budaya tersebut.
Wali Songo adalah contoh terbaik untuk hal ini. Meski hadir dengan konsep hidup yang baru, yaitu Islam, tapi kehadiran Wali Songo tidak membumi-hanguskan berbagai acara social yang saat itu bertentangan dengan Islam. Wali Songo mengikutinya lalu mengganti isinya agar acara tersebut terbimbing secara Islam.
Belajar kepada Wali Songo itulah para kiai pesantren salaf terus memperjuangkan Islam melalui jalur budaya dan menghindari kekerasan yang radikalis. Tahlil, marhabanan, khoul, sarung, kopyah, dan seterusnya adalah kreasi yang muncul dari akulturasi.
Pesantren Bina Insan Mulia memegang teguh strategi akulturasi ini. Bahkan tidak hanya dengan budaya local, tetapi budaya internasional. Seperti Korea, Jepang, atau Timur Tengah. Para santri menampilkan berbagai kreasi seni mereka melalui Panggung Gembira dan kegiatan lain.
Bahkan untu hari Sabtu, para guru dan para santri mengenakan pakaian serba gaul, tidak selalu harus pakai sarung dan kopyah. Mereka boleh memakai celana jean, kaos, jaket, sepatu modis kayak anak di luar pesantren, selama masih sopan.
Keempat, pengajaran kitab kuning. Ini memang karakteristik yang paling menonjol dari pesantren salaf dari dulu hingga hari ini. Sampai-sampai tidak sedikit tokoh atau kiai yang berpendirian bahwa yang disebut pesantren salaf itu ya kitab kuning. Jika kitab kuning tidak ada, bukan pesantren salaf namanya.
Beberapa jenis kitab yang diajarkan di pesantren salaf di Indonesia, antara lain bidang fikih (Safinah, Taqrib, dan Fathul Mu’in), akidah (Aqidatul Awam, Jawahirul Kalamiyah, Tijan), nahwu (Jurumiyah, Imrithy, Alfiah), shorof (Tashrif, Maqsud, Kailani), hadits (Arabain, Bulughul Marom, Riyadh), tafsir (Jalalain), dan seterusnya.
Pesantren Bina Insan Mulia tetap berkonsentrasi pada pengajaran kitab-kitab tersebut. Tentu saja disesuaikan dengan tingkatannya. Bahkan Pesantren Bina Insan Mulia juga memberikan tambahan untuk membakali santri membaca kitab kuning dengan metode terbaru. Misalnya menerapkan pembelajaran Amtsilaty.
Ciri-ciri Kemodernan Bina Insan Mulia
Ada hampir keseluruhan ciri pesantren modern telah diterapkan di Bina Insan Mulia, baik 1 maupun Bina Insan Mulia 2.
Pertama, pembelajaran klasikal. Dari pagi sampai siang, pembelajaran di Bina Insan Mulia dilakukan di kelas dengan kurikulum yang telah direncaanakan. Pelajaran pesantren salaf, seperti figih, nahwu, shorof, dan lain-lain juga dilakukan di kelas. Bahkan untuk Bina Insan Mulia 2 pembelajarannya menggunakan smart class dengan standar internasional.
Kedua, bahasa. Bahasa yang diajarkan di Bina Insan Mulia adalah bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Inggris. Untuk bahasa Inggris, Bina Insan Mulia bekerjasama dengan BEC Pare, Kediri. Begitu di asrama, mereka juga dikenakan wajib berbahasa Inggris dengan menerapkan metode pembelajaran berbasis program sehingga waktunya lebih cepat dan hasilnya lebih maksimal.
Ketiga, kegiatan kepramukaan, kesenian, dan keolahragaan. Seluruh santri diwajibkan untuk mengikuti kegiatan kepramukaan. Bahkan Bina Insan Mulia kerap menyewa tempat pariwisata untuk berkemah. Untuk bidang kesenian, para santri Bina Insan Mulia tidak saja biasa menampilkan pertunjukan seni berbasis budaya lokal, seperti Saman atau Topeng. Mereka juga aktif menampilkan seni internasional, seperti K-Pop Korea dan R & B. Tentu tetap diberi sentuhan aspek-aspek pendidikan pesantren.
Keempat, manajemen kegiatan. Seluruh kegiatan santri, baik di kelas maupun di asrama dikelola oleh Pesantren Bina Insan Mulia. Bahkan mereka tidak dibebankan lagi dengan biaya tambahan. Seluruh biaya ditanggung Pesantren.
Kelima, pakaian santri dan guru. Di hampir seluruh kegiatan pembelajaran, para santri dan guru mengenakan pakaian modern ditambah kopyah. Bahkan untuk hari Sabtu, para santri dan guru berpakaian kasual bebas. Mungkin ini tidak ada di pesantren modern manapun.
Bina Insan Mulia juga sudah mulai menerapkan pengiriman pelajar tidak hanya ke Timur Tengah, tetapi ke negara-negara Eropa, Asia, Amerika, dan Australia. Beberapa kampus sudah mulai ada kerjasama dengan Bina Insan Mulia.
Penyelenggaraan kegiatan pengembangan kualitas guru tidak saja dilakukan oleh internal, misalnya dengan saya saja atau dengan guru-guru senior di sini. Pesantren Bina Insan mulia memiliki silabus pengembangan guru dan bekerja sama dengan lembaga professional untuk mendapatkan pengayaan.
Silabus pengembangan guru dan santri dimulai dari aspek pengembangan diri, lalu ke kerjasama dan komunikasi, kemudian di kepemimpinan. Santri-santri pun demikian. Untuk menciptakan suasana yang berbeda, seluruh kegiatan training, baik guru dan santri-santri dilaksanakan di hotel, baik di Aston Hotel Cirebon atau Luxton Hotel and Convention.
*) Penulis adalah Pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia 1 dan Bina Insan Mulia 2 Cirebon. Pernah dipercaya sebagai Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015. Penulis merupakan alumnus Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; alumnus Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; juga alumnus Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; dan alumnus Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies.*_