Ada tiga alasan penting yang perlu saya jelaskan di sini.
Satu, sertifikasi kompetensi.
Kita lihat berbagai perkumpulan profesional di dunia hari ini sedang giat mengadakan sertifikasi kompetensi di bidangnya masing-masing. Misalnya di ekonomi syariah, IT, akuntansi, dosen mata kuliah tertentu, konstruksi, dan seterusnya.
Sertifikasi kompetensi semakin luas digalakkan, apalagi di zaman digital ini karena ada kecenderungan di masyarakat industri dan profesional bahwa akurasi sertifikasi tersebut lebih tinggi daripada ijazah akademik. Kenapa akurasinya diyakini lebih tinggi? Simpel jawabannya. Yang menentukan nilai seseorang di sertifikasi tersebut bukan semata ujian tertulis seperti di kampus, tetapi karya dan bukti prestasi yang telah dicapai.
Bahkan ke depan, karena akurasinya dinilai lebih tinggi maka wibawanya pun lebih tinggi. Seorang santri bertamu ke saya. Ternyata ia bekerja di sebuah perusahaan IT dunia milik China di Jakarta. Saya tanya kok bisa santri bisa bekerja di sana? Dia jawab, yang ditanya bukan ijazah, tapi kompetensi kerja.
Fakta-fakta di dunia profesional menunjukkan bahwa seseorang yang punya nilai akademik ekselen di bidang tertentu tapi begitu diuji-coba di lapangan, tidak muncul buktinya. Kenapa? Seringkali standar akademik ketinggalan dengan standar profesional yang terus mengikuti perubahan dengan cepat. Di samping itu, namanya di kampus, dasar penilaiannya adalah jawaban tertulis. Itupun banyak yang melakukan plagiarisme, comot sana comot sini, kutip sana kutip sini.
Selain itu, ada gelombang yang tidak bisa dibendung oleh siapa pun hari ini bahwa untuk mendapatkan ijazah akademik semakin mudah dan semakin murah biayanya. Di hampir semua negara telah memberikan layanan pendidikan online yang memungkinkan seseorang mendapatkan ijazah dengan mudah dan biaya yang lebih murah. Ini memang tidak bisa digeneralisasikan ke semua orang. Tapi memang fakta itu ada dan semakin jamak ke depan.
Artinya apa bagi kita? Penganugerahan doktor honoris causa pesantren itu adalah sebuah sertifikasi kompetensi yang diberikan kepada alumni pesantren di bidang keilmuan tertentu dan itu in sya’a allah kualitasnya akurat, bukan abal-abal atau kaleng-kaleng.
Ke depan, jika alumni pesantren yang telah berkarya itu mendapatkan sertifikasi kompetensi dari perkumpulan pesantren, masyarakat akan lebih percaya dan nilainya jauh lebih tinggi.
Sekarang saya tanya, lebih kredibel dan lebih akurat mana sertifikasi kompetensi di bidang nahwu shorof, misalnya begitu, yang diberikan oleh pesantren dengan yang diberikan oleh fakultas bahasa Arab perguruan tinggi di Indonesia? Semua tahu jawabannya.
Sertifikasi kompetensi juga akan mengikis fenomena ustadz atau da’i dadakan. Banyak yang sekarang terjun di bidang dakwah Islam tapi modalnya motivasi dan belajar dari youtube atau internet. Dasar materinya adalah folk wisdom (hikmah kelas awam) dan common sense (logika umum). Jangankan soal penguasaan fiqih-ushul fiqihnya, urusan makhroj membaca al-Quran saja belum beres. Ini kenyataan bukan?
Yang menjadi masalah hari ini adalah justru lulusan pesantren diberi sertifikasi kompetensi oleh kelompok atau lembaga non-pesantren di bidang keislaman. Ini kiamat sughro buat pesantren. Kenapa? Kemungkinan terjadi like and dislike atau pertimbangan aspek politik menjadi utama. Mau khutbah saja ada batasan ini dan itu. Padahal yang harus kita tegakkan adalah standar keilmuan.
Dua, sebagai apresiasi karya dan eksistensi.
Tradisi memberi apresiasi di dunia Islam itu sudah ada sejak dulu sehingga muncul sebutan al-imam, al-‘alim, al-‘allamah, al-hafidz, asy-syaikh, dan khujjatul Islam untuk al-Ghazali.
Bahkan sebelum pesantren memiliki pendidikan formal seperti sekarang, tradisi penganugerahan gelar pun jamak dilakukan para kiai kepada para tokoh. Oleh para kiai NU, Soekarno diberi gelar sang Waliyyul Amri Ad-Dharuri bi As-Syaukah, sosok pemimpin yang kompeten dan tangguh.