Gus Yaqut dan Kebiasaan Sastra Pesantren Tradisional, Tafsir Linguistik Masalah Toa
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA*
TRIBUNNEWS.COM - Pesantren tradisional memiliki kebiasaan belajar sastra dan teori sastra bersamaan dengan belajar yurisprudensi Islam (fikih) maupun olah batin (tasawuf). Jika bahasa komunikasi dan percakapan sehari-hari kaum santri multitafsir, penuh kiasan dan analogi maka itu hal biasa bagi yang memiliki level pengetahuan sederajat. Ini yang terjadi pada pernyataan Yaqut Cholil Quomas (Gus Yaqut), Menteri Agama RI, yang sedang viral beberapa hari terakhir.
Dalam sastra, ada teori bahasa yang disebut "tasybih" atau analogi. Bila sesuatu disamakan dengan sesuatu lain maka praktik berbahasa semacam itu disebut tasybih. Dalam teori tasybih ini ada tiga komponen utama yang harus diperhatikan dengan seksama dan teliti: musyabbah, wajhus syibih, dan musyabbah bih. Musyabbah adalah sesuatu yang diserupakan/disamakan. Wajhus syibih adalah sifat/sisi keserupaan/kesamaan. Musyabbah bih adalah sesuatu lain yang diserupakan dengan.
Misalnya dalam contoh kalimat: "Budi yang berusia 50 tahun setampan Agus yang berusia 25 tahun". Budi di sini posisinya sebagai musyabbah, Agus sebagai musyabbah bih, dan tampan sebagai wajhus syibih. Sedangkan usia 25 atau 50 tahun adalah atribut/sifat yang melekat pada Budi dan Agus. Sifat-sifat ini bukan titik tekan pembicaraan. Karena sang pembicara ingin menekankan ketampanan, bukan pada usia.
Kita melihat Gus Yaqut berkata dalam bentuk kalimat tanya: "Kita bayangkan lagi, kita muslim, lalu hidup di lingkungan nonmuslim, lalu rumah ibadah saudara kita nonmuslim bunyikan toa sehari lima kali dengan kencang-kencang secara bersamaan itu rasanya bagaimana?" Kemudian Gus Yaqut mempertegas lagi: "Yang paling sederhana lagi, tetangga kita ini dalam satu kompleks, misalnya, kanan kiri depan belakang pelihara anjing semuanya, misalnya, menggonggong dalam waktu bersamaan, kita ini terganggu enggak?"
Dalam kalimat tanya ini, Gus Yaqut sedang membuat dua komponen tasybih; pertama, kalimat musyabbah, yaitu: "umat muslim yang hidup di lingkungan non-muslim, yang mendengar suara toa dari tempat ibadah non-muslim dengan suara kencang". Kalimat musyabbah bih, yaitu: "kita (muslim) yang memiliki tetangga satu kompleks, yang memelihara anjing yang menggonggong bersamaan." Ketiga, kalimat wajhus syibih dalam bentuk pertanyaan, yaitu "terganggu enggak?".
Dengan kata lain, Gus Yaqut ingin menyamakan "posisi umat muslim yang tinggal di lingkungan non-muslim lalu mendengar toa serentak dari tempat ibadah non-muslim" dengan "posisi umat muslim yang mendengar gonggongan anjing serentak di kompleks mayoritas non-muslim". Wajhus syibih dari dua kalimat tersebut adalah kalimat tanya berupa "terganggu tidak?". Jadi, penekanan utama dari Gus Yaqut adalah aspek psikologi sosial terkait ketergangguan.
Psikologi sosial yang diangkat sebagai topik Gus Yaqut ini bersifat ilmiah, dan karenanya bisa dilakukan penelitian lapangan, dengan menjadikan kasus muslim yang tinggal di lingkungan mayoritas non-muslim lalu mendengar bunyi toa dari tempat ibadah non-muslim ini lima kali sehari sepanjang tahun dan gonggongan anjing yang tidak pernah berhenti.
Kasus lain yang bisa diangkat untuk menguji hipotesis Gus Yaqut adalah mengkaji fenomena kebalikannya, yaitu kasus non-muslim yang tinggal di kompleks mayoritas muslim, lalu mendengar bunyi toa adzan ini lima kali sehari, tanpa memasukkan variabel gonggongan anjing, karena mayoritas muslim tidak memelihara anjing.
Dengan kata lain, penekanan Gus Yaqut adalah ketergangguan masyarakat baik oleh toa azan maupun gonggongan anjing. Ketergangguan sosial ini adalah titik tekan dari konteks pembicaraan. Sementara bunyi toa adzan dan gonggongan anjing bukan inti utama pembicaraan, melain sekedar atribut-atribut yang dipakai untuk menimbulkan kesan dramatis dari ketergangguan sosial ini.
Di sini kita dapat melihat bagaimana cara kelompok oposan pemerintah yang mendaftarkan Gus Yaqut ke peradilan. Politisasi kalimat Gus Yaqut itu dilakukan dengan cara menggeser topik utama ke atribut-atribut penghias bahasa; yaitu dari kritik sosial soal ketergangguan masyarakat di ruang publik ke persoalan anjing dan toa.
Alhasil, protes terhadap Gus Yaqut berupa pengajuan ke meja pengadilan lahir dari mis-interpretasi atas bahasa Indonesia yang mengandung unsur sastrawi. Kesalahpahaman akibat rendahnya kualitas analisa sastrawi pada akhirnya berujung pada urusan hukum. Kasus ini bila ditindaklanjuti akan berdampak buruk pada kehidupan sosial yang lebih luas, karena kesalahpahaman akibat perbedaan tingkat kecerdasan manusia akan selalu diakhiri dengan pengadilan. Reduksi besar-besaran akan menimpa dunia sosial yang lebih luas. Wallahu a'lam bis shawab.
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.