Oleh Moch S Hendrowijono *)
OLIMPIADE musim dingin (Winter Olympics 2022) di Beijing China akan menjadi pesta olahraga yang sarat teknologi 5G. Di belakang kreativitas dan konten yang dihadirkan panitia pun artis ada China Telecom yang menyiapkan infrastruktur konektivitas supercepat.
Olimpiade Beijing 2022 disebut-sebut sebagai olimpiade pertama yang dikelola secara cloud, memanfaatkan beragam teknologi Artificial Intelligence (AI), Internet of Things (IoT), maupuan layanan ICT lainnya.
China Telecom hendak menunjukkan bahwa teknologi adalah garda depan industri telekomunikasi masa mendatang, tidak lepas dari persaingan yang lebih luas dari sekadar di dalam negeri. Teknologi telekomunikasi diharapkan akan membawa rakyat China lebih maju khususnya dalam bersaing dengan masyarakat dunia.
Baca juga: XL Siapkan Rp 9 Triliun Bangun Jaringan di 2022
China tengah berada di era persaingan ekonomi global (terutama dengan Amerika Serikat). Untuk menjadi juara mereka harus memenangi dua faktor, pengembangan teknologi yang harus advance dan akuisisi data global dan komunikasi masa depan. Inilah strategi untuk mewujudkan apa yang disebut China Dream.
Di Indonesia, persaingan antaroperator masih berorientasi meraih jumlah pelanggan yang ternyata tidak bertambah secara signifikan. Sebagai dampaknya terjadilah konsolidasi justru di saat sejumlah operator sudah terengah-engah.
Konsolidasi atau merger sudah dilakoni China sejak 2008, saat masih 3G. Pemerintah turun tangan setelah mengendus jauh ke depan dengan enam operator sangat tidak efisien. Ketika dipangkas menjadi hanya tiga operator, kompetisi menjadi lebih sehat.
Baca juga: Indosat dan Tri Resmi Resmi Merger, Ini Susunan Komisaris dan Direksinya
Dan, setelah masing-masing meraih ratusan juta pelanggan dan area operasi yang dibagi rata, tahap berikutnya adalah mengembangkan jaringan dengan teknologi terbaru. Kini ARPU (average revenue per user) di China sudah mencapai rata-rata Rp 100 ribu.
Persaingan tarif juga merupakan faktor kunci di India, yang dimainkan tiga dari enam operator yang saling memiliki market share beda tipis. Jio nomor satu tetapi market share-nya tak lebih dari 37%, dipepet Airtel (30%) dan Vodafone Idea/Vi (23%).
Ketiga operator mulai sadar, perang tarif akan tiada ujung, efeknya pendapatan mereka tak cukup untuk menambah investasi yang masif pada teknologi jaringan. Airtel pada akhir 2021 menaikkan tarif, mencoba keluar dari kompetisi tidak sehat.
Model masa depan
Airtel memahami pola konsumsi pelanggannya dan data ini jadi bekal operator di bawah Barthi Enterprise ini menentukan keputusan. Langkah Airtel diikuti Vi dan Jio.
Konsumsi rata-rata per pengguna di India sekitar 16 GB data per bulan, sudah saatnya tarif naik untuk membuat industri ini layak.
“Lebih penting, punya pengembalian modal yang layak untuk tumbuh ke lebih banyak bidang teknologi, meluncurkan lebih banyak jaringan, dan menjadi model keberlanjutan yang lebih layak di masa depan, ” ujar bos Airtel Sunil Bharti Mittal.