Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Kehidupan dan Perjuangan
Oleh : KH. Imam Jazuli, Lc, MA.*
TRIBUNNEWS.COM - Dulu, pesantren lebih dikenal sebagai tempat pengajian dari pada pengkajian. Tetapi melihat kebutuhan hari ini dan perubahan yang menuntut pesantren harus berubah, maka pesantren pun harus menjadi tempat pengkajian yang kuat. Kenapa, karena keduanya adalah perintah agama yang paling mendasar.
Pengajian telah dipraktikkan masyarakat Nusantara jauh sebelum pesantren ada. Pengajian adalah kegiatan pendidikan yang bertujuan untuk mengambil aji kehidupan (sesuatu yang sangat berharga). Pengajian lebih berorientasi pada moral spiritual. Setelah sistem ini diadopsi oleh pesantren, maka pedoman dan acuannya diganti menjadi al-Quran, al-hadits, dan kitab-kitab akhlak.
Kegiatan pengajian di Pesantren Bina Insan Mulia saya delegasikan kepada asatidz dan asatidzah. Ada yang dilaksanakan secara rutin dan ada yang dilaksanakan sesuai momentum, seperti saat Ramadhan atau saat santri-santri libur sekolah. Kitab yang dipakai adalah kitab-kitab standar pesantren salaf, antara lain: Ar-bain, Bulughul Marom, Nashoihul Ibad, Riyadlush Sholihin, Taqriib, dan lain-lain.
Khusus untuk pengajian bersama wali santri dan masyarakat umum yang diadakan sebulan sekali barulah saya yang mengisi. Agendanya antara lain beristighosah, wirid Dalail, lalu saya menyampaikan beberapa hal yang terkait dengan agenda pesantren dan keagamaan.
Adapun untuk kegiatan pengkajian, selama ini memang saya yang paling banyak mengisi. Materinya luas dan saya usahakan kontektual sesuai dengan kebutuhan para santri dan para guru. Kegiatan dilaksanakan hampir setiap hari di Gedung Serba Guna yang waktunya terkadang habis Subuh dan terkadang habis Maghrib.
Kepada Bagian Media, saya selalu meminta untuk men-youtube-kan materinya. Dengan disebarkan di media social, sasarannya sebetulnya ada tiga segmen, yaitu santri-santri Bina Insan Mulia yang sudah menyebar di dalam dan di luar negeri, sejumlah anggota klub yang saya ikuti, dan masyarakat luas yang tertarik, baik wali santri maupun non-wali santri.
Rangsangan Ideologis
Kenapa kegiatan pengkajian itu penting bagi pesantren dan santri? Baik dari praktik yang dilakukan para kiai dan para pemimpin dan hasil riset ilmiah membuktikan bahwa ternyata yang banyak mewarnai kehidupan seseorang itu bukan pelajaran di kelas. Manusia banyak berubah dari filsafat hidup (aji) yang diterima dari orang-orang yang mereka percaya. Mereka berubah dari inspirasi, motivasi, dan eksplorasi.
Apakah dengan begitu berarti pelajaran di kelas tidak penting? Tidak begitu maksudnya. Pelajaran di kelas atau dari buku-buku tetap penting, hanya saja posisinya dalam konteks perubahan seseorang lebih sebagai alat pendukung perubahan.
Karena itu, ada ungkapan terkenal dari Albert Einstein, “imajinasi itu lebih powerful ketimbang pengetahun.” Dengan kajian pemikiran, kajian fenomena, dan lain-lain, seseorang akan membangun imajinasi, visi, lalu pelan-pelan akan mengkristal menjadi aktualisasi atau aksi.
Semua tokoh besar di dunia ini memiliki sejumlah anak ideologis. Santri-santri yang sekarang menjadi kiai atau yang punya peranan penting di masyarakat, mendapatkan setruman dari para kiai atau tokoh lain. Sebagaimana kita tahu, Gus Dur telah banyak memberi warna bagi anak-anak muda NU. Demikian juga para kiai sepuh lain.
HOS Cokroaminoto yang disebut sebagai guru bangsa itu bukanlah tokoh yang akademiknya tinggi. Sekolah formalnya hanya sampai di tingkat SMP di zaman Belanda. Selebihnya, Cokroaminoto adalah santri di Pesantren Tegalsari Ponorogo. Sebagai santri, HOS Cokro menggembleng anak-anak muda yang tinggal di rumahnya, seperti Soekarno, Musso, dan Kartosuwiryo,
Kesempatan inilah yang ingin saya optimalkan. Para santri adalah anak ideologis saya. Apa yang saya sampaikan semoga menjadi rangsangan ideologis bagi mereka, baik hati maupun otaknya. Hati yang mendapatkan rangsangan akan terus bergerak dan menggerakkan. Otak yang mendapatkan rangsangan akan selalu membangun jalur belajar sehingga ketanggapan dan kreativitasnya meningkat.
Saking pentingnya rangsangan tersebut bagi hati dan otak manusia, maka sering saya minta para tamu untuk berbagi pengalaman dengan para santri. Tamunya bermacam-macam bidang ketokohan. Bahkan bule pun beberapa kali saya minta ceramah di depan para santri. Menurut riset di bidang psikologi, rangsangan dari luar sangat membantu seseorang memperkuat kepercayaan dirinya.
Mengobarkan Api Iqro’
Apa yang saya lakukan dengan kegiatan pengkajian pemikiran adalah mengobarkan api iqro’ (kemampan membaca) yang merupakan wahyu pertama untuk manusia, dan apesnya justru perintah ini yang banyak ditinggalkan oleh umat Islam. Jangan kan membaca dalam arti berpikir, memahami, atau menelaah, bahkan untuk membaca tulisan saja masih rendah daya baca kita.
Indonesia sebagai mayoritas muslim menempati urutan ke-60 dari 61 negara yang diriset pada tahun 2016. Menurut berita di koran, bangsa ini hanya mendapat skor 0,01 persen atau satu berbanding sepuluh ribu. Bahkan buta aksara al-Quran pun tinggi. Menurut hasil survei yang saya baca, dengan total penduduk 272 juta, survei menunjukkan 65 persen tidak bisa baca (membunyikan huruf) al-Quran.
Padahal, sunnatullah telah menetapkan bahwa negara-negara besar itu maju karena mengamalkan perintah iqra’. Masyarakat berperadaban besar juga maju karena mengamalkan perintah iqra’. Manusia yang kreatif dan inovatif yang banyak menyumbangkan kemaslahatan bagi dunia ini juga karena mengamalkan perintah iqro’. Ada bukti dari kajian banyak ahli bahwa kemajuan sebuah bangsa itu telah didahuli oleh budaya iqra 20 tahun sebelumnya.
Dengan kajian pemikiran ini, saya mengajak para guru dan santri untuk beri-qro’ ke dalam diri. “Dan bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?," (QS. Adz-Dzariyat: 20-21).
Sebagaimana sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pada diri setiap insan telah diberi berbagai potensi kehebatan di samping juga potensi kelemahan. Dengan potensi itu, Allah menghendaki agar setiap insan menjadi khalifah yang kuat dan hamba yang taat.
Hanya bagi khalifah yang kuat yang dapat memakmurkan bumi, memberi manfaat, menciptakan berbagai kreasi dan kontribusi. Hanya bagi hamba yang taat yang mampu melayani, tunduk pada aturan ilahi, berakhlak mulia, atau beribadah.
Masalahnya adalah seluruh potensi itu disembunyikan oleh Allah dan hanya bagi mereka yang mau membaca yang akan diberi tahu dimana sebetulnya potensi kehebatannya berada. Sebelum seseorang menghilangkan dirinya (menjadi seorang pemimpin dengan menomerduakan dirinya, seperti yang telah dicontoh oleh para kiai dan tokoh), seseorang harus menemukan dirinya lebih dulu.
Untuk membantu para santri menemukan dirinya, selain dilakukan tes bakat minat, Pesantren Bina Insan Mulia juga menyediakan berbagai macam saluran kegiatan untuk merangsang penemuan bakat dan minat. Mereka juga diberi latihan untuk mengeluarkan kekuatan mental, spiritual, dan intelektual. Di samping itu, dibutuhkan pemikiran dan pemahaman yang mendorong mereka untuk terus membaca ke dalam dirinya.
Sebab, bila seseorang gagal menemukan berbagai potensi kehebatan di dalam dirinya, mana mungkin bisa menggunakan? Bila potensi kehebatan itu nganggur, berarti yang banyak dipakai adalah potensi kelemahan dan keterbatasan. Akhirnya, sebagian besar manusia tidak menjadi khalifah yang kuat dan hamba yang taat meskipun sudah duduk di bangku sekolah selama bertahun-tahun.
Kegiatan kajian pemikiran juga mendorong para asatidz, asatidzah, dan para santri untuk membaca orang lain, baik yang masih hidup maupun yang sudah diwafatkan Allah. Membaca orang lain sangat penting asal tidak untuk membaca aibnya saja lalu disebarkan ke orang lain atau untuk tujuan yang negatif.
Membaca orang lain sangat bagus asal digunakan untuk mengambil pelajaran. Maka paslah jika saya dalam pidato dan tulisan kerap mendorong para santri dan guru-guru untuk membaca biografi orang-orang besar.
Bahkan kalau menelaah hadits Nabi yang dikutip dalam Riyadush Sholihin, membaca orang lain adalah perintah. “Tidak boleh hasad kecuali kepada dua (kelompok) orang, yaitu kepada orang yang Allah anugerahkan harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia ilmu lalu ia menunaikan dan mengajarkannya.”
Membaca orang lain akan memahamkan seseorang akan dirinya, baik kelebihan-kekurangan maupun keunggulan-kelemahan. Apa yang harus dilakukan seseorang dan apa yang harus dihindari seringkali didapat dari membaca orang lain. Bahkan membaca orang lain ternyata berdampak pada kepercayaan diri.
Di kegiatan kajian ini, saya sering memaparkan kisah orang-orang yang telah berkontribusi besar bagi dunia ini, lalu saya mengajak mereka membaca bagaimana mereka berjuang meraih kesuksesan dan bagaimana mereka berjuang mengatasi kegagalan. Tokoh yang saya ajak untuk dibaca bermacam-macam, dari filosof, pemikir, para kiai, politisi, innovator bisnis, agen perubahan social, tokoh pendidikan, dan lain-lain.
Kajian pemikiran juga mendorong dan mengarahkan para santri dan asatidz/asatidzah dalam berkhidmah untuk masyarakat atau bangsa. Kemajuan dan kemunduran suatu bangsa, umat, kaum atau negara dikendalikan oleh sunnatullah tertentu. Al-Quran sudah menjelaskan hal ini dalam sejumlah ayat agar manusia mengambil pelajaran. Tentu, membaca adalah kegiatan yang wajib dilakukan untuk mendapatkan pelajaran tersebut.
Kaum Ad, Tsamud, kaum Fir’aun adalah sebagian dari umat yang dihancurkan oleh Allah karena pelanggaran atau penyimpangan. Mereka memiliki skill tinggi dalam berbagai hal, sayangnya mereka gagal menggunakan skillnya untuk menjadi hamba yang taat. Bangsa Romawi, bangsa Mongol, bangsa Yunani, peradaban Islam, dan lain-lain pernah mencapai kemajuan yang sangat penting bagi dunia, tetapi kemudian redup. Kenapa? Di sinilah pentingnya membaca.
Sebelum bangsa Barat mencapai kemajuan di bidang ilmu pengetahun dan teknologi selama beberapa tahun terakhir ini, dunia Islam telah mencapai kemajuan yang sangat tinggi. Umat Islam sudah memiliki teknologi tulisa-menulis, riset, kajian terhadap berbagai keilmuan, dan teknologi. Bahkan sejak masa masa Rasulullah, teknologi tinggi sudah dikenal oleh umat Islam. Terbukti, pedang yang dimiliki oleh Sahabat Ali bin Abu Thalib ternyata pedang terbaik secara teknologi.
Dari hasil bacaan para ahli dapat kita temukan bahwa suatu bangsa, umat, atau kaum akan mengalami kemunduran atau akan sulit mencapai kemajuan apabila malas bekerja keras, akhlaknya rusak, mengabaikan ilmu pengetahuan, dan hanya bangga dengan masa lalu. Sebaliknya, bangsa besar adalah bangsa yang memiliki kekuatan spiritual, memiliki sain dan teknologi, dan pekerja keras. Allah akan menghadirkan para pemimpin yang baik bagi mereka.
Saya juga mengajak mereka untuk membaca pemikiran sejumlah tokoh besar di dunia. Dari mulai KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, cendekiawan Timur Tengah seperti Ali Abdul Roziq, Muhammad Abduh, Thoha Husein, Muhammad Syaltut, Ali Syariati, Hasan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid, Arkoun, Abid Jabiri, muhammad Syahrur, Ali Harb, Nawal sa'dawi, Romadhon al Bouty, Muhammad Mutawalli Sya'rowi, Abdul Halim Mahmud, Ali Jum'ah, Muhammd Gozali, Wahbah Zuhaili, Ahmad Amin, dan lain-lain.
Demikian juga pemikir Indonesia seperti Seokarno-Hatta, Jenderal Soedirman, Hos Cokroaminoto Gus Dur, Nurkholis Majid dan lain-lain. Banyak hal yang bisa diambil pelajaran dari para tokoh di berbagai bidang. Selain materi pemikiran yang diperjuangkannya, kita akan mendapatkan pelajaran penting tentang bagaimana para tokoh tersebut memperjuangkan pemikirannya.
Kegiatan kajian juga mengajak para santri dan para asatidz-asatidzah untuk membaca fenomena atau peristiwa mutakhir di dunia ini. Saya ajak mereka berbicara mengenai perubahan bangsa Indonesia dari aspek politik, dinamika kelas social, Corona 19, hubungan Syiah-Sunni, kitab kuning dan posisinya di tengah perubahan, perang Rusia-Ukraina, KB, perang Israil-Palestine, dinamika negara-negara Arab, dan lain-lain. Tujuan saya bukan semata untuk memberi pengetahuan, tetapi lebih ke memantik kuriositasnya (rasa ingin tahunya) lalu menentukan posisi yang pas.
Di atas dari semua itu, mereka saya ajak untuk mengikat proses membacanya dengan bismirobbika yang telah menjadi pedoman kita. Bismirobbika berarti membaca untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bismirobbika berarti membaca untuk menghasilkan pemikiran, tindakan, dan kreasi yang bermanfaat dengan niat lillahi ta’ala.
Ajaran Agama sebagai Inspirasi dan Aspirasi
Sebagian umat Islam kerap berpikir aneh, dan terkadang dalam batas tertentu, malah berlawanan dengan sunatullah. Mereka tidak rela bila berbagai sumber daya strategis di Indonesia ini dikuasi oleh golongan yang bukan dari mereka. Tapi pada saat yang sama, mereka tidak mau merebutnya dengan cara-cara yang dianjurkan oleh sunatullah. Misalnya dengan belajar yang keras, bekerja yang keras, berpikir yang keras, berdoa yang keras, dan membangun kekuatan.
Mereka justru menempuh cara-cara yang dianjurkan oleh iblis. Misalnya, menggunakan dalil untuk menyalahkan semata, mengobarkan api permusuhan, atau mencaci lalu membangun sebuah khayalan bahwa apa yang dilakukan adalah dakwah dan merasa sudah paling benar. Mana ada realitas berubah oleh cara-cara demikian?
Umat Islam ini barulah akan menguasai aset-aset bangsa ini apabila Allah SWT menganugerahkan “sulthon” (kekuatan rahasia). Tentu, untuk mengundang anugerah tersebut tidak gratis. Perlu dijemput dengan ilmu pengetahuan, iman yang bisa melahirkan karakter kuat, persatuan, dan kekuasaan politik. Tidak ada yang gratis dan tidak cukup hanya dengan menyalahkan dan mengolok-olok.
Karena itu, sudah saatnya pesantren tidak mengajari santri-santrinya dengan hanya mengolok-olok, menyalahkan, menggunakan dalil untuk merasa paling benar sendiri tetapi tidak menempuh langkah-langkah yang strategis dan efektif untuk membangun kekuatan.
Pesantren sudah saatnya menggunakan ajaran agama ini sebagai inspirasi dan aspirasi kekuatan untuk membangun peradaban. Dan itu caranya adalah dengan mendorong mereka masuk ke ruang public dengan memainkan peranan-peranan strategis. Misalnya, menjadi bupati, gubernur, menteri, presiden, pakar urusan public, ahli urusan public, dan seterusnya. Tentu modalnya tidak semata semangat. Perjuangan itu butuh uang, butuh ilmu, butuh kekuatan.
Karena itu, yang paling riil bagi pesantren hari ini adalah mengajarkan ilmu-ilmu naqliyah syari’yah seperti al-Quran, al-hadits, dan pendukungnya lalu harus ditambah lagi dengan penguasaan ilmu-ilmu kauniyah yang dibutuhkan oleh zaman. Santri harus melek IT, melek pengelolaan sumber daya alam, melek perkembangan dunia. Semua itu akan terjadi ketika kita mau mengawalinya dengan dorongan untuk membaca.
Jangan sampai lulusan pesantren hanya hebat ketika menjadi seorang hamba (abdun), tetapi justru keok ketika menjadi khalifah yang harus membangun. Inilah ciri mukmin yang lemah. Tidak berarti dengan menjadi mukmin yang lemah itu salah, tetapi ketika jumlahnya melebihi batas yang bisa ditolerasni, maka secara otomatis posisi kaum beriman juga lemah.
Agar itu tidak terjadi, maka peranan para tokoh, kiai, dan guru dalam memotivasi para santri dan generasi muda agar membaca dan bagaimana mengarahkan bacaan itu menjadi sangat penting. Jangan sampai salah membaca atau malas membaca. Riset hari ini menemukan bahwa sebagian besar orang menggunakan handphone yang canggih itu bukan untuk membaca, tetapi untuk nonton tayangan yang kurang berguna.
Mungkin ada yang berargumen, untuk apa kita terlalu ngoyo mengejar dunia, toh bukankah tujuan kita ke akhirat? Ini juga pendapat yang konyol kalau dikaitkan dengan perintah al-Quran. Kita dilahirkan oleh Allah ke dunia ini bukan untuk menunggu mati. Kita dilahirkan untuk mengisi dunia ini dengan berbagai perbuatan yang di dalam al-Quran disebut amal sholeh.
Bagaimana cara beramal sholeh? Agar perbuatan itu menghasilkan dampak yang besar, pasti membutuhkan modal yang besar juga. Butuh pengorbanan jiwa dan raga, sebagaimana dianjurkan al-Quran.
“Tidaklah sama antara orang beriman yang duduk (yang tidak turut berperang) tanpa mempunyai uzur (halangan) dengan orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan derajat orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk. Kepada masing-masing, Allah menjanjikan kebaikan dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan balasan yang besar,” (QS. An-Nisa: 95).
Dengan kata lain, belajar agama itu bukan untuk bekal mati dalam pengertian menghindari panggilan untuk mengurus dunia ini, justru kita belajar agama untuk mengisi kehidupan dunia ini dengan perbuatan, karya, prestasi, dan kontribusi yang dilandasi iman. Inilah bekal kita ke akhirat nanti. Jadi, pesantren pada hakikatnya adalah kawah pendidikan kehidupan dan perjuangan agar lahir agen-agen perubahan di masyarakat.
*) Penulis adalah pengasuh Pesantren Bina Insan Mulia 1 dan Bina Insan Mulia 2 Cirebon. Pernah dipercaya sebagai Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015. Penulis merupakan alumnus Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; alumnus Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; juga alumnus Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; dan alumnus Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies.