Pada UU No.12 Tahun 2012 tentang pendidikan tinggi secara tegas mengatur pendidikan
vokasi dan profesi. Pasal 16 menegaskan "Pendidikan vokasi merupakan Pendidikan Tinggi program diploma yang menyiapkan Mahasiswa untuk pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu sampai program sarjana terapan" Sehingga masuknya S1 Farmasi (akademik) ke dalam TTK (vokasi) menurut UU ini tidak dibenarkan.
Pada penjelasan pasal 16, dijelaskan bahwa "Kurikulum pendidikan vokasi disiapkan bersama dengan Masyarakat profesi dan organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesinya agar memenuhi syarat kompetensi profesinya."
Artinya terkait kurikulum dan syarat kompetensi vokasi di siapkan oleh profesi (masyarakat profesi dan organisasi profesi) di bidang tersebut, bukan berarti tenaga vokasi bisa mendirikan organisasi profesi dan mengatur diri sendiri, apalagi mendeclare sebagai profesi, karena kompetensi vokasi masuk dalam sebagian kompetensi profesi di bidangnya dan bekerja atas dasar pendelegasian.
Istilah "Standar Kompetensi" muncul di UU 36 / 2014 tentang Tenaga Kesehatan. UU 36 /
2014 berkonsideran dengan pada UU 36 / 2009 tentang Kesehatan.
Khusus SDM farmasi, konten UU 36 / 2014 lebih banyak mengacu pada PP 51 / 2009, bukan PP 32 / 1996 tentang Tenaga Kesehatan.
Keanehan lain, UU Tenaga Kesehatan mengingkari beberapa pasal di UU Pendidikan Tinggi dimana proses Pendidikan tenaga Kesehatan tersebut diatur.
Missleading muncul saat UU Tenaga Kesehatan tidak membuat 2 kelompok besar Kelompok Profesi dan Kelompok Vokasi sesuai UU 12 / 2012 tentang pendidikan tinggi.
Semua level pendidikan vokasi, akademik dan profesi dipukul rata menjadi profesi, padahal hanya sebagian kecil yang menempuh pendidikan profesi.
Tentu profesi disini tidak bisa diartikan sebagai pekerjaan semata, karena didasarkan kompetensi atas dasar pendidikan profesi.
Lebih parahnya UU 36 / 2014 memecah kelompok tenaga kesehatan menjadi jenis tenaga
kesehatan, dimana tiap jenis tenaga kesehatan dapat membentuk organisasi profesi.
Semua level pendidikan vokasi, akademik dan profesi "diijinkan" membentuk Organisasi Profesi.
Sekali lagi menurut penulis profesi disini tidak bisa diartikan sebagai pekerjaan semata,
karena didasarkan kompetensi atas dasar pendidikan profesi. Beruntung bagi sejawat Dokter dan Dokter gigi , mampu keluar dari jebakan UU 36 / 2014 melalui Judivial Review (JR) tahun 2015 di Mahakamah Konstitusi.
Tidak berhenti disitu, terbitnya Perpres 90 / 2017 menambah rantai panjang birokrasi tenaga Kesehatan. Perpres yang mengatur Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI), pada pasal 8 ayat 3 huruf d, menyatakan "penyusunan standar praktik dan standar kompetensi Tenaga Kesehatan adalah tugas Konsil Masing-masing tenaga Kesehatan".
Pada Perpres 86 / 2019, tugas konsil masing-masing tenaga kesehatan bertambah "menyusun standar kompetensi kerja bersama dengan organisasi profesi".
Artinya standar praktik dan standar kompetensi tidak bisa lagi disusun "hanya oleh organisasi profesi saja", namun harus bersama konsil masing-masing tenaga Kesehatan. Apalagi yang menyusun bukan organisasi profesi, tentu harus diusulkan kepada organisasi profesi di bidangnya.