Oleh : Satria Yudistira *)
KRISIS global akibat pandemi ditambah perang antara Russia dan Ukraina memberikan sejumlah dampak yang signifikan terhadap sejumlah sektor vital umat manusia.
Pangan misalnya, sektor ini tentu saja sangat mempengaruhi kesehatan masyarakat dan berujung pada tingkat kesejahteraan masyarakat pada suatu bangsa sebagai tolok ukurnya.
Tidak hanya berdampak terhadap produktifitas masyarakat, namun juga turut mempengaruhi beban terhadap negara.
Organisasi Global UNICEF memprediksi biaya pengobatan untuk menyelematkan jiwa anak yang mengalami kekurangan gizi paling parah akan melonjak hingga 16 % .
Artinya, jika tanpa pendanaan menurut UNICEF selama enam bulan kedepan lebih dari 600 ribu anak berpotensi kehilangan asupan gizi penting.
Maka dengan adanya kondisi yang demikian krisis global ini akan sangat berdampak pada kondisi gizi anak seperti stunting dan wasting.
Dampaknya, kita akan menghadapi bencana dimasa depan.
Baca juga: Rumah Berantakan Berdampak Buruk pada Kesehatan Mental
Bahkan, sebelum terjadinya pandemi pun gizi buruk sudah menjadi mimpi buruk kita semua yang mana menurut UNICEF pada tahun 2019 satu dari tiga anak tidak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal karena mengalami malnutrisi.
Bicara krisis global dalam lingkup nasional, masyarakat kita telah lama mengalami bencananya sendiri perihal gizi bahkan sudah jauh lebih dahulu hadir sebelum datangnya pandemi dan dampak perang.
Hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia tahun 2021 angka prevelensi stunting di Indonesia mencapai angka 24,3 % atau setara dengan 5,33 juta balita.
Jika disederhanakan, bisa dikatakan setiap 1 dari 4 anak Indonesia mengalami stunting dan 1 dari 10 anak mengalami gizi kurang. Angka sebesar ini tentu menjadi sebuah pekerjaan rumah bersama untuk segera dituntaskan.
Banyak cara telah dilakukan untuk menuntaskan masalah ini namun efektivitasnya baru akan diakui jika kita sudah berhasil mencapai persentase prevalensi stunting sebagaimana yang sudah ditetapkan negara, yaitu 14 % pada tahun 2024.
Dalam waktu dua tahun ke depan, banyak hal harus dilakukan.
Dan jangan lupa, dua tahun ke depan juga adalah tahun politik, angka-angka akan menjadi alat penting dalam retorika.
Sebelum bicara data, ada baiknya evaluasi terhadap strategi dilakukan dengan melihat fakta kebutuhan dasar anak, yaitu kecukupan gizi.
ASI adalah yang utama, segera diberikan saat bayi baru lahir minimal hingga usia 6 bulan tanpa makanan tambahan lain, ini disebut ASI ekslusif.
Lepas usia enam bulan, MPASI (makanan pendamping ASI) sebagaimana yang dianjurkan banyak pakar dan penyuluh kesehatan, harus mengandung karbohidrat, protein hewani dan nabati, lemak, vitamin, sat besi dan kalsium. ASI masih dapat diberikan hingga usia dua tahun.
Tapi jika tak mencukupi pun, dapat dilengkapi dengan jenis susu lainnya sesuai anjuran dokter atau tenaga kesehatan. Yang penting, sang ibu mengurusi anaknya dengan Bahagia.
Inilah yang kerap luput dari perhatian kita bersama saat membicarakan gizi buruk pada anak.
Pada tataran pembuat kebijakan, bicara gizi buruk biasanya langsung mengarah pada pertanyaan bagaimana ekonomi keluarga? Sejatinya, ada banyak isu dan perdebatan dalam masyarakat yang tentu saja mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Misalnya saja, perdebatan tentang apakah susu bubuk dan jenis susu lainnya baik atau tidak baik untuk anak? Apakah seorang ibu harus memaksakan dirinya untuk memberikan anak nya ASI agar menjadi ibu yang sempurna?
Baca juga: Efek Rutin Mengonsumsi Minuman Kekinian yang Manis Menurut Spesialis Gizi
Di media sosial, pertengkaran antara ASI Vs susu formula dengan sangat gamblang ditampilkan para ibu, hingga kita lupa akan esensinya: bagaimana memenuhi kebutuhan gizi anak.
Disamping fenomena sosial itu, data konsumsi susu di Indonesia menjadi satu hal yang tidak dapat di sangkal, bahwa Indonesia adalah negara dengan tingkat konsumsi susu yang sangat rendah, hanya 16.27 kg/kapita/tahun (Data BPS tahun 2022). Angka tersebut masih dibawah rata-rata negara tentangga se ASEAn seperti Malaysia dengan 26.20kg/kapita/tahun, Mynmar 26.7 kg/kapita/tahun dan Thailand 22.2 kg/kapita/tahun.
Rendahnya konsumsi susu menjadi hal yang memprihatinkan. Sebagaimana referensi dari banyak penelitian telah menjadi sumber yang dapat dipercayai, bahwa susu memiliki peran yang penting dalam menuntaskan permasalahan gizi di Indonesia khususnya stunting.
Jika dilihat peran susu tidak hanya ada untuk balita dan anak saja sebagai salah satu stimulant gizi utama untuk perkembangan fisik dan kognitifnya.
Susu juga sangat berperan penting bagi Ibu yang sedang menyusui dan Ibu hamil.
Ini selaras dengan pedoman gizi seimbang yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan dalam peraturannya yang mengatur pesan khusus bagi ibu hamil untuk lebih banyak mengonsumsi susu karena tinggi protein, zat gizi, kalsium yang tentu baik untuk Kesehatan ibu hamil. Selanjutnya protein dan gizi lain dalam susu pun akan sangat berpengaruh bagi ibu hamil untuk dapat menjaga kualitas ASI-nya.
Angka konsumsi susu yang rendah ini tentu membawa kepada satu pertanyaan besar bagi siapapun yang peduli dan tentunya pemerintah. “Kenapa konsumsi susu masyarakat bisa serendah itu, apa faktornya?”
Jelas, jika bertanya pada masyarakat, pada umumnya minum susu tidak menjadi kebiasaan karena harganya yang tidak bersahabat, apalagi di tengah gempuran Covid 19 dalam 2 tahun terakhir ini.
Di penghujung covid 19, saat perekonomian masyarakat berangsur pulih, perang Rusia-Ukraina turut menggempur harga bahan pangan termasuk di Indonesia.
Lagi-lagi, susu untuk anak menjadi dikesampingkan.
Yang juga perlu diwaspadai, pilihan mengganti susu untuk anak dengan jenis susu yang lebih ekonomis, susu kental manis misalnya. Alih-alih gizi anak tercukupi, malah meningkatkan resiko penyakit tidak menular (PTM).
Baca juga: Resep Nugget Wortel, Cocok Jadi Menu Makan Siang yang Enak dan Bergizi untuk Keluarga
Inilah alasan petingnya mengkaji permasalahan ini dalam sudut pandang sosio-ekonomi.
Support system untuk ibu yang memungkinkan mereka mengasuh anak tanpa beban, pemahaman mengenai gizi untuk seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang gender dan usia, hingga bagaimana dukungan pemerintah terhadap kondisi perekonomian keluarga terutama keluarga dengan anak-anak di usia 1000 HPK. Jika BBM dan minyak goreng saja bisa di subsidi, kenapa tidak dilakukan untuk susu?
Intervensi kebijakan ini dirasa penting menjadi daya dobrak baru bagi pemerintah untuk dijadikan strategi demi menyelesaikan masalah stunting hingga ke akarnya.
Selanjutnya juga bersamaan dengan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat bahwa susu adalah penting dan tidak ada alasan bagi masyarakat untuk tidak mengonsumsi susu termasuk masyarakat miskin dan juga ibu menyusui baik yang dapat meng-ASIhi dengan ekslusif, maupun yang tidak.
*) Peneliti Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI)