KiSSNed Soroti Tiga Pasal Kontroversial Dalam RKUHP
oleh: Erlangga Abdul Kalam, Koordinator Forum Kajian Isu Strategis Negara Demokrasi (KiSSNed)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Forum Kajian Isu Strategis Negara Demokrasi (KiSSNed) soroti pasal-pasal dalam draf RKUHP yang dapat menimbulkan kerancuan di masyarakat, beberapa pasal bahkan berpotensi untuk membungkam demokrasi di Indonesia.
Tiga tahun Rencana Kitab Undang-Undang Pidana (RKUHP) berhenti dibahas, kini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali kebut revisi RKUHP.
Wakil Menteri Hukum dan Ham (Wamenkumham) Eddy Omar Sharif Hirairej menyampaikan bahwa penargetan revisi keseluruhan RKUHP akan diselesaikan pada bulan ini, adapun target pengesahan RKUHP nya dilaksanakan pada bulan Juli. Hal itu disampaikan pada Rabu, 22/06/2022.
Seperti diketahui draf RKUHP sendiri mendapat banyak catatan, karena pasal yang terkandung di dalam draf tersebut cenderung merugikan masyarakat.
Total draf RKUHP itu berjumlah 600 pasal, RKUHP itu juga mengatur 14 isu yang sangat krusial.
Adapun beberapa pasal dalam draf RKUHP yang kini menjadi sorotan masyarakat di antaranya adalah pasal yang mengatur tentang Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum atau Lembaga Negara dan Demonstrasi.
Baca juga: Norma RKUHP Dianggap Batasi Kebebasan Berpendapat, PKS Minta Pertimbangkan Aspirasi Rakyat
Hal itu terjadi karena pasal-pasal tersebut sangat populis, erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat, sehingga dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat sebagai penerima kebijakan.
Pasal pertama yang kontroversi adalah pasal 218 RKUHP tentang Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden. Berikut redaksi pasal 218 RKUHP yang tertulis:
Pasal 218 ayat 1
Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3(tiga) tahun 6(enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Pasal 218 RKUHP ini yang paling membuat gaduh di masyarakat. Kenapa? Karena sebelumnya pasal 218 ini sudah pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), sehingga menjadi wajar kalau saat ini timbul kegaduhan di masyarakat.
Wamenkumham dalam wawancaranya kepada awak media menyebutkan bahwa pasal tersebut jelas berbeda dengan pasal yang dianulir oleh Mahkah Konstitusi (MK).