"Kami sama sekali tidak membangkitkan pasal yang sudah dimatikan MK (Mahkamah Konstitusi)," kata Edy, sapaan akrabnya dalam rapat lanjutan pembahasan RKUHP di Gedung DPR, Jakarta, Rabu, 25 Mei 2022.
Kami yang tergabung dalam Forum Kajian Isu Strategis Negara Demokrasi (KiSSNed) kemudian melakukan kajian mendalam atas draf RKUHP tersebut, ternyata apa yang disampaikan oleh Wamenkumham terkait pasal 218 memang berbeda dengan apa yang dulu dimatikan oleh MK. Dibuktikan dengan perubahan dalam pasal itu, dari delik biasa ke delik aduan.
Pasal 218 RKUHP ini semata-semata hanya untuk menjaga harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden saja, wajar pula kalau kemudian harkat dan martabat orang nomer satu dan dua di Indonesia ini harus dijaga. Secara subtantif kami juga melihat bahwa pasal ini tidak membatasi ruang rakyat untuk menyampaikan kritik.
Kritik yang membangun itu pasti berangkat dari penyampaian tutur kata yang baik, kalau dengan bahasa yang sarkas itu jatuhnya memang hinaan. Karenanya kami menilai bahwa pasal ini sah-sah saja dimasukan ke dalam RKUHP.
Meskipun secara penjelasan di dalam draf pasal 218 ini sudah berbeda, tapi seringkali secara kontekstual dalam pelaksanaan dilapangan suka berbeda. Ini yang kadang suka buat kita dilematis, tapi tinggal kita kembalikan saja tahap peroses pelaksanaannya nanti ke penegak hukum.
Baca juga: Draf RKUHP Belum Dibuka ke Publik, Ini Alasan Wamenkumham
Pasal kedua yang masuk dalam sorotan kami adalah pasal 353 RKUHP yang mengatur mengenai Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum atau Lembaga Negara sekaligus pasal 354 mengenai Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum atau Lembaga Negara melalui Media Elektronik dengan ancaman 1 tahun 6 bulan. Sengaja kami satukan dalam penyebutan, karena secara subtantif memiliki kesamaan.
Pasal 353 dan 354 ini terindikasi membungkam ruang demokrasi, terlihat dari bunyi pasalnya yang sangat anti kritik. Bagaimana mugkin perubahan Negara itu tercipta jika instansi atau lembaganya anti terhadap kritik? Bukankah kita sama-sama mengiginkan menjadikan Negara ini sebagai Negara yang maju? Kalau mau maju, tentu harus ada perbaikan yang dilakukan dan perbaikan itu berangkat dari kritikan. Istrumennya memang seperti itu.
Selain itu pasal 353 dan 354 RKUHP ini terlihat sangat abstrak dan sangat multitafsir sekali, tidak jelas individunya siapa yang merasa terhinakan.
Lain hal nya dengan pasal 218 RKUHP, dimana itu ditunjukan untuk menjaga harkat dan martabat pribadinya, bukan kepada instansi atau lembaga Negara.
Secara sadar keberadaan pasal 353 dan 354 RKUHP ini juga akan mengikis ruang demokrasi kita secara perlahan, karena masyarakat tidak bisa mengkritik instansi atau lembaga baik secara langsung atau melalui media sosial.
"Anggap saja hinaan itu sebagai bentuk perhatian dan kasih sayang masyarakat terhadap lembaga Negara. Artinya masyarakat masih peduli dan percaya terhadap instansi kepemerintahan."
Baca juga: Aktivis HAM Minta DPR Lebih Aktif saat Bahas RKUHP Bareng Pemerintah
Karena pasal 353 dan 354 ini berpotensi karet, abstrak dan multitafsir yang nantinya bisa saja digunakan sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan, maka kami menyarankan ada baiknya untuk pencegahan kesewenang-wenangan pasal 353 dan 354 RKUHP itu dihapuskan, karena tentu saja secara logis pasal tersebut tidak lagi sehat.
Berikut redaksi pasal 353 dan 354 RKUHP yang tertulis:
Pasal 353