Oleh: Dr. I Wayan Sudirta, SH. MH.
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan
TRIBUNNEWS.COM - Usulan untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah (Pilkada) dari model langsung menjadi tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali memunculkan diskursus publik.
Wacana ini pertama kali dilontarkan oleh Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, dalam puncak peringatan HUT Partai Golkar ke-60 pada 16 Desember 2024 di Sentul, Jawa Barat.
Gagasan tersebut mendapatkan dukungan dari Presiden Prabowo Subianto serta sejumlah ketua partai politik yang hadir.
Alasan utama yang diangkat adalah tingginya biaya politik dalam Pilkada langsung, yang sering disebut-sebut sebagai beban berat bagi kandidat dan membuka peluang bagi praktik politik uang.
Namun, perlu dicatat bahwa klaim ini tidak didukung oleh data yang konsisten. Dalam banyak kasus, angka yang dilaporkan terkait biaya politik sering kali berbeda jauh dari praktik informal di lapangan sehingga keabsahan argumen ini patut dipertanyakan.
Lebih jauh, sebenarnya perdebatan mengenai apakah pilkada harus dilaksanakan secara langsung atau tidak adalah perdebatan klasik yang sudah dimenangkan secara telak oleh mereka yang memilih pilkada langsung.
Tiga puluh dua tahun lamanya kita merasakan bagaimana dampak buruk dari pemilihan kepala daerah – bahkan Presiden secara tidak langsung – dan akhirnya kita bersama-sama menyimpulkan bahwa sistem ini harus diganti.
Reformasi kemudian berjalan demi memunculkan kembali semangat dan perjuangan untuk demokrasi dan kedaulatan rakyat.
Oleh sebab itu, cukup mengherankan bila kemudian muncul usulan untuk mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah ke rezim aturan lama, hanya karena alasan biaya politik yang terlalu mahal.
Padahal kita tahu bahwa kecenderungan pemilih dalam sistem demokrasi adalah sama dengan kecenderungan pasar dalam sistem kapitalisme – bisa diciptakan dan diarahkan. Semua tergantung pada elit politik.
Maka ketika saat ini kecenderungan pemilih menjadi “materialistis” dan berbiaya tinggi, semua itu diciptakan sendiri oleh para para elite.
Jadi jangan menyalahkan rakyat, bahkan sampai merenggut hak dan kedaulatan rakyat untuk memilih pemimpinnya sendiri sebagai alasan untuk “membeli” hak dan kedaulatan rakyat tersebut.
Manifestasi Kedaulatan Rakyat