Oleh Achmad Firdaus Hasrullah,
TRIBUNNEWS.COM - Seruan agar Rusia mengakhiri perang di Ukraina banyak dilontarkan dalam pertemuan puncak G20 kemarin. Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov yang mewakili Presiden Vladimir Putin, mengkritik negara-negara Barat atas apa yang ia gambarkan sebagai "politisasi" deklarasi G20.
Posisi Rusia di G20 kemarin seakan menjadi ‘Samsak’ untuk negara-negara barat memukul Rusia dengan segala kritik dan ujaran agar konflik antara Rusia-Ukraina segera diakhiri.
Inipun selaras dengan perkataan Presiden Indonesia dalam pidato pembukaan, Jokowi mengatakan, "jika perang tidak berakhir, akan sulit bagi kita untuk bertanggung jawab atas masa depan generasi sekarang dan mendatang.” Semua negara memiliki tanggung jawab menjaga kestabilan situasi dunia. Bertanggung jawab berarti menghormati hukum internasional dan prinsip-prinsip Piagam PBB secara konsisten.
Baca juga: Ukraina Coba Tekan Georgia untuk Gabung Perang Lawan Rusia
Apa yang dilakukan Rusia saat ini bukanlah hal baru, seperti yang terjadi pada Tahun 2014 ketika Rusia mencoba mencaplok kembali Ukraina yang dianggapnya sebagai bagian sah dari Rusia. Agresi dilakukan Rusia mempunyai alasan yang masuk akal, apabila Ukraina berhasil dipimpin oleh presiden yang pro Uni Eropa, Putin khawatir kepentingan ekonomi Rusia di Ukraina akan sangat dimanfaatkan oleh NATO.
Hal ini juga dilatar belakangi semakin eratnya hubungan NATO di beberapa negara Eropa Timur, seperti Polandia dan negara-negara Balkan lainnya. Dalam kacamata orang awam mungkin sangat tidak melihat perbedaan yang signifikan.
Namun, perbedaan kedua negara itu sangatlah mencolok, Jelas dalam Konflik Rusia-Ukraina terjadinya perbedaan signifikan yang terlihat, yaitu bahasa, sejarah, dan juga sistem politiknya, namun, Vladimir Putin mengklaim berulang kali bahwa keduanya merupakan bagian yang sama dari awal peradaban Rusia, sementara Ukraina berkali kali menolak klaim tersebut.
Hadirnya kekuatan militer Rusia di Ukraina akan memberi tekanan secara politik untuk Ukraina agar tetap menjadi negara netral yang tidak tergabung dalam kerjasama apapun dengan Barat, karena hakikatnya dalam mencapai kepentingannya suatu negara dapat melakukan paksaan terhadap negara lain dengan menggunakan power-nya.
Dalam buku Marshall I Goldman menyatakan bahwa Rusia memiliki strategi untuk memanfaatkan kekayaan minyak dan gas serta mineralnya sebagai senjata politik dan ekonomi baru.
Boikot berkepanjangan yang dilakukan oleh dunia barat terhadap Rusia tidak sama sekali meruntuhkan ekonomi Rusia. Cadangan minyak dan Gas sangat berlimpah di tanah Beruang Merah. Sangatlah tidak realistis jika kita memperkirakan Rusia akan bangkrut dengan rantai boikot dilakukan Amerika Serikat dan sekutunya.
Baca juga: Rusia Tuduh Tentara Ukraina Eksekusi Lebih dari 10 Tawanan Perang di Luhansk
Hal ini, dipertegas oleh Joseph A Stanislaw yang menyatakan bahwa, “Rusia adalah negara adidaya energi yang menggunakan sumber daya yang melimpah sebagai dasar pembangunan ekonomi dan sebagai alat untuk melaksanakan kebijakan dalam dan luar negeri”.
Kutipan kata-kata diatas juga menegaskan bahwa Rusia memiliki sumber daya energi melimpah memanfaatkannya sebagai alat untuk memperluas kekuatannya, baik di Eropa maupun seluruh dunia. Hal ini juga akan menyeimbangkan posisinya dalam persaingan dengan negara lainnya seperti Amerika Serikat dan Tiongkok.
Konflik yang terjadi antara Ukraina dan Rusia di Eropa Timur saat ini bukan hanya sekedar konflik, melainkan ini merupakan dari sisa-sisa bagian pada saat perang dingin yang masih berlangsung hingga saat ini.
Dapat dikatakan bahwa konflik yang sedang berkembang di Ukraina saat ini merupakan sebuah akar ketidakpuasan pemimpin Ukraina sebelumnya disulut terutama oleh Barat di bawah payung NATO. Konflik ini sebenarnya dapat saja dihindari seandainya pihak Barat bersedia dan berjanji, untuk tidak akan pernah melakukan upaya- upaya yang dapat mendorong Ukraina ke arah Blok Barat, terutama NATO dan bahkan juga Uni Eropa.
Usai KTT G20 di Bali, pembicaraan tentang konflik antara Rusia dengan Ukraina hanya sebatas pembicaraan tingkat tinggi yang belum menghasilkan genjatan senjata.
Apalagi ketidakhadiran Vladimir Putin dan hanya diwakili oleh Menteri Luar Negeri menunjukkan kepada kita semua bahwa konflik yang sudah berbulan ini menjadi catatan tersendiri bahwa hanya sebatas diplomasi.
Baca juga: Video Tahanan Perang Rusia Dieksekusi Mati Tentara Ukraina Beredar, Kremlin Meradang
Cukup G20 ini menunjukkan jika kedua tokoh sekaliber Putin dan Joe Biden tidak bertemu hampir dipastikan konflik bekas Uni Soviet itu belum bisa berakhir. Kuncinya maukah kedua negara Superpower ini duduk bersama untuk menyelesaikan konflik tersebut.
*) Achmad Firdaus Hasrullah adalah Bagian Kerjasama Internasional (WCU) UNHAS Makassar dan Alumni HSE (Higher School of Economics) Moskow, Rusia