Ibnu Khaldun, Bapak Sosiolog Muslim Pertama
Catatan Perjalanan KH. Imam Jazuli, Lc. MA.*
TRIBUNNEWS.COM - Siang itu penulis berada di Wisma Kedutaan Besar RI untuk Tunisia, menjadi tamu Gus Dubes Zuhairi Misrawi. Penulis kembali mengingat-ingat saat mulai meninggalkan kampus Zaitunah menuju penginapan.
Sepanjang perjalanan, penulis ingat pada tokoh Tunisia paling awal, yang juga pernah berkunjung ke Nusantara itu. Yaitu, Abu Zaid Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad Al-Hadhrami Al-Isybili, dikenal sebagai Ibnu Khaldun.
Ibnu Khaldun lahir di Tunis, 27 Mei 1332. Kala itu Tunisia di bawah kekuasaan Daulah Hafshiyah. Di sanalah ia menghabiskan masa kecilnya. Kemudian, Ibnu Khaldun mulai melakukan perjalanan ke negeri-negeri Maghribi dan Andalusia, sebelum menetap di Maroko. Di Maroko inilah, ia menyelesaikan penulisan kitab Muqaddimah sebelum hijrah ke Mesir.
Baca juga: Secuil Kisah Pertemuan, Dubes Maroko dan Menu Sarapan yang Lezat
Dari Mesir ia pergi ke Makkah untuk beribadah haji, dan terus ke Damaskus Suriah. Di Damaskus, ia sempat mengajar di Madrasah 'Adiliyah, sebelum kembali ke Mesir.
Di Mesir yang kedua kalinya, ia mengajar di salah satu madrasah bermazhab Malikiyah di Kairo. Walaupun setelah pendirian Madrasah bermazhab Zhahiriah Barquqiyah, ia juga mengajar di sana.
Di Kairo, Mesir, inilah Ibnu Khaldun menghembuskan nafas terakhirnya, pada 19 Maret 1406. Raga boleh meninggalkan kehidupan yang fana ini. Namun, jejak-jejak pemikirannya abadi, terus dibaca dan diajarkan, sampai detik ini kita hidup. Ia menjadi pemikir muslim pertama yang mengajarkan ilmu sosiologi, ekonomi, dan politik.
Ketika penulis mengunjungi Universitas Zaitunah, pertama kali kaki melangkah di halamannya, pikiran penulis langsung teringat salah satu karya Ibnu Khaldun, yang monumental berjudul Al-'Ibar wa Diwan al-Mubtada' wa al-Khabar fi Ayyam al-Gharb wa al-'Ajam wa al-Barbar wa man 'Asharahum min Dzawi al-Sulthan al-Akbar.
Bab pendahuluan kitab ini yang disebut Mukaddimah menjadi satu buku tersendiri, berisi konseptualisasi atas temuan-temuan yang dipaparkannya di sepanjang buku.
Dampak pemikiran Ibnu Khaldun sangat luar biasa terhadap pemikiran global. Ia dianggap sebagai tokoh pertama yang mempelajari bangkit dan tumbangnya sebuah peradaban bangsa-bangsa. Pelajar yang ingin belajar peradaban Islam tidak bisa mengabaikan karya pada masa Ibnu Khaldun.
Baca juga: Thahir Al-Haddad, Bapak Feminisme Tunisia
Bagi bangsa 'Ajam, ia dianggap sebagai menara ilmu pengetahuan tentang politik dan ekonomi. Karya-karya Ibnu Khaldun pun diterjemahkan ke dalam banyak bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Bahkan, penjelasan tentang Nusantara pun termaktub di dalam karya Ibnu Khaldun ini. Karenanya, orang-orang Nusantara yang ingin mengetahui sejarah mereka sendiri, kitab al-‘Ibar wa al-Diwan harus dipelajari.
Perampungan penulisan kitab Al-‘Ibar wa al-Diwan ini tidak terlepas dari suatu momen traumatik bagi Ibnu Khaldun. Pasalnya, ia sedang dalam perjalanan ke Andalusia. Namun, raja Granada mengusirnya dan mengirimnya kembali ke Afrika tak lama setelah tiba di Andalusia. Ia pun terpaksa pergi dan tiba di kota Mursia dengan perasaan sedih dan bingung.
Pada mulanya, Ibnu Khaldun berpikir dia tidak akan berhubungan dengan masalah-masalah politik. Ia ingin cabut diri dari apapun yang berbau politik. Akhirnya, ia kepikiran untuk pergi dari Mursia menuju Tlemcem, Aljazair. Ia disambut oleh Muhammad bin 'Arif, tokoh terkemuka Bani 'Arif, pada tahun 776 H./1374 M.
Suku Bani ‘Arif ini menghormati dan memuliakan Ibnu Khaldun, sehingga ia punya kesempatan emas untuk menyelesaikan penulisan Al-‘Ibar wa Al-Diwan tersebut. Saat itu, usianya sudah mencapai 45 tahun. Pada 779 H./1377 M., kitab Muqadimah selesai. Kemudian ia istirahat lima bulan kemudian sebelum melanjutkan.
Semula, kitab Al-‘Ibar ini tidak dimaksudkan mencatat seluruh kisah tentang khalifah. Ibnu Khaldun mengatakan, “dalam kitab ini saya mengingat apa yang mungkin diingat tentang wilayah Maghribi dengan sangat terang benderang, karena tujuan spesifik saya berupa menulis sejarah Maghrib, generasi ke generasinya, bangsa-bangsanya, dan para rajanya, karena saya tidak mengetahui hal banyak tentang Timur dan bangsa-bangsa Timur,” (Muhammad Abdullah Annah, 1933: 56).
Baca juga: Habib Burguibah dan Sekularisasi Tunisia
Pemikiran Ibnu Khaldun sangat luas, mencakup kajian sosiologi, ekonomi, sejarah, dan keagamaan. Ilmu tentang filsafat sosialnya ini ia sebut dengan nama Al-Imran Al-Basyari (Teman Tinggal Manusia). Ilmu ini penting untuk menunjukkan kebenaran dan menghapus kebatilan tentang peristiwa-peristiwa sejarah. Mitos bisa disingkirkan dengan menampilkan fakta-fakta historis.
Bagi Ibnu Khaldun, masyarakat itu adalah alat untuk refleksi dan penelitian. Karenanya, penelitian tentang masyarakat bisa dimulai dari sejak awal mula tumbuh, lalu berkembang, kuat dan berkuasa, pada akhirnya masa keruntuhan. Semua itu bisa dilihat dengan kacamata ilmiah. Cara pandang ini berpengaruh pada metodologi historis yang dibangunnya.
Ibnu Khaldun lebih condong pada metode penulisan sejarah yang bersifat diakronik, bukan sinkronik. Ia mengharuskan penelitian pada peristiwa-peristiwa sosial yang terus-menerus berlangsung, tanpa perlu mengaitkannya dengan perjalanan waktu. Inilah yang akan menampilkan kehidupan sosial. Sedangkan peristiwa masa lalu dipahami sebagai sesuai yang mirip dengan peristiwa yang sedang berlangsung.
Ibnu Khaldun kemudian memaparkan banyak gagasan tentang ekonomi dan keuangan dalam kitab Mukadimah. Dia melihat standar hidup masyarakat dan proporsionalitasnya dengan membandingkannya terhadap jumlah dan kepadatan penduduk. Ia juga mempelajari harga kebutuhan, upah dan pekerjaan, serta menelitinya untuk memahami naik turunnya harga mereka menurut tingkat penawaran, permintaan, serta kesinambungan kota dengan urbanisasi (Sa'ad Qasim Hasyim, 1999: 231).
Tentang ilmu politik, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa pengeluaran pemerintah (APBN/APBD) merupakan faktor penting dalam perkembangan urbanisasi. Permintaan pemerintah adalah penggerak utama kegiatan ekonomi, dan pengembang utama masyarakat dari pertanian ke industri.
Negara dapat berkontribusi melalui pengeluaran publik untuk meningkatkan permintaan barang dan jasa. Dengan demikian negara memotivasi individu untuk melakukan lebih banyak investasi dalam memenuhi permintaan, seperti yang telah dilakukan pada masa pemerintahan Al-Ma'mun (Sa'ad Qasim Hasyim, 1999: 242).
Di bidang keagamaan, Ibnu Khaldun melihat bahwa agama sebagai fenomena sosial yang mendasar. Tidak ada masyarakat yang tidak terpengaruh oleh salah satu agama mana pun. Agama adalah persoalan psikologis metafisik. Sejatinya, Ibnu Khaldun mencoba mendamaikan pendapat filosofis dan doktrin agama. Ia percaya bahwa tidak boleh ada perbedaan pendapat di antara keduanya (Thaha Husain, 1925: 76).
Akhirnya, dalam Wisma Kedubes itu, penulis hanya bisa menarik napas dalam-dalam, setelah membayangkan betapa besar kontribusi Universitas Zaitunah pada dunia, dengan melahirkan tokoh besar seperti Ibnu Khaldun dan lainnya. Ketika penulis melihat mahasiswa-mahasiswi Universitas Zaitunah, penulis hanya bisa berharap kelak akan banyak pelajar muslim Indonesia yang melanjutkan pendidikan ke negeri ini, dan menjadi tokoh besar sekaliber Ibnu Khaldun dan lainnya.[]
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.*_