News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Membongkar Akar Mental Inlander di Kalangan Elite NU

Editor: Husein Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

KH. Imam Jazuli, Lc. MA, alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Membongkar Akar Mental Inlander di Kalangan Elite NU

*Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA.

TRIBUNNEWS.COM - Ormas NU memang besar secara kuantitas. Itu bisa dilihat dari jumlah anggotanya yang selalu dibangga-banggakan.

Tak ayal, NU pun diklaim sebagai ormas Islam terbesar di dunia. Tetapi, apakah kualitas ormas ini seimbang dengan kuantitasnya? Bagaimana bila ormas ini hanya besar secara kuantitas, tetapi tidak secara kualitas?

Ada banyak aspek untuk menjawabnya. Salah satunya melihat dari aspek politik. Puluhan juta warga NU (Nahdliyyin) tidak satu pun yang berhasil memimpin negeri.

Jika pun ada, dia adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang tak tuntas satu periode saja. Selebihnya? Mentok hanya Wakil Presiden, dia Kiai Ma’ruf Amin.

Masalahnya bukan perjuangan Nahdliyyin yang kandas, atau gagal meraih tampuk kekuasaan tertinggi di dalam negeri.

Masalahnya terletak pada mentalitas elite NU. Mereka tidak tahu arti penting jumlah besar secara kuantitas. Karena itu tidak ada proses kaderisasi untuk melahirkan pemimpin masa depan.

Lebih parah lagi, visi PBNU di bawah kepemimpinan yang baru, periode 2021-2026, menutup saluran kaderisasi tersebut.

KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menarik garis batas antara warga Nahdliyyin dan politik. Bahkan, tidak boleh kader NU atas nama NU maju sebagai Capres-Cawapres.

Dari mana datangnya mental penakut ini? Mengapa elite NU tidak berani bersaing merebut puncak kekuasaan di negeri ini? Mengapa besarnya kuantitas anggota tidak diiringi oleh besarnya kualitas? Apakah elite NU krisis kader pemimpin bangsa dan negara?

Tampaknya, akar mentalitas seperti kerupuk ini lahir dari proses sejarah yang panjang. Pada satu kesempatan, Djarot Saiful Hidayat menulis sebuah buku berjudul "Politik dan Ideologi PDI Perjuangan 1987-1999: Penemuan dan Kemenangan", terbitan Gramedia, 2023.

Pandangan politikus PDI Perjuangan ini menarik, karena menceritakan spirit Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di awal-awal pendirian PKB (Partai Kebangkitan Bangsa).

Menurut Djarot, pasca runtuhnya rezim Orde Baru, para pemimpin internal Ormas NU mendesak Gus Dur mendirikan partai politik bagi warga NU untuk Pemilu 1999.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini