Istilah “abangan” dan “santri” ini mengacu pada Clifford Geertz (1926-2006), antropolog asal Amerika Serikat (AS) yang melakukan penelitian di Pulau Jawa, termasuk di Desa di Mojokuto, Pare, Kediri, Jawa Timur, tahun 1960-an yang kemudian melahirkan buku berjudul “Agama Jawa: Santri, Priyayi dan Abangan”.
Ketika membahas suasana keagamaan orang Jawa kala itu, Clifford Geertz membaginya dalam tiga kategori, yakni santri, priyayi dan abangan. Ada dua perbedaan umum yang mencolok ketika membahas istilah itu, yakni perbedaan santri dan abangan.
Secara sederhana, Geertz mengatakan santri adalah varian masyarakat di Jawa yang taat kepada ajaran Islam, sedangkan abangan lebih longgar dan tak terlalu taat pada ajaran Islam. Adapun priyayi adalah golongan bangsawan/ningrat yang tak terlalu taat pada ajaran Islam, terpesona pada adat dan kebiasaan yang datang dari leluhur.
Berkat metode dakwah yang digunakan Sunan Kalijaga itulah pelan namun pasti masyarakat Jawa mulai menerima ajaran Islam, bahkan hingga saat ini. Sekali lagi, terjadilah akulturasi.
Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri.
Dengan akulturasi itulah maka meskipun ajaran Islam sudah menyebar ke Pulau Jawa, namun kebudayaan yang bernama wayang tetap terjaga. Bahkan kini ada wayang santri yang akan dipentaskan di Desa Ujunggede itu.
Wayang Santri
Ada sejumlah hal menarik dalam rencana pegelaran wayang di Ujunggede itu.
Pertama, adalah wayang, kedua adalah santri, yang kemudian membentuk wayang santri (ketiga), keempat adalah sedekah bumi, kelima adalah Makam Mbah Wongsoreko, dan keenam adalah LESBUMI (NU).
Pertama, wayang. Wayang (biasanya terbuat dari kulit kerbau, sapi atau kambing, sehingga disebut wayang kulit; atau terbuat dari kayu yang kemudian disebut sebagai wayang golek; atau tergambar di kertas atau kain atau kulit kayu sehingga kemudian disebut wayang beber), seperti dilansir Wikipedia, adalah bentuk tradisional dari kesenian wayang yang aslinya ditemukan dalam budaya Jawa dan Bali di Indonesia.
Narasi wayang kulit sering kali berkaitan dengan tema utama kebaikan melawan kejahatan. Dalam kepercayaan dan sastra Jawa, wayang kulit diciptakan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga.
Pada mulanya, pertunjukan wayang kulit kental dengan nuansa agama Hindu atau Buddha. Namun belakangan, wayang kulit banyak dipentaskan dalam nuansa dan suasana Islami, sehingga banyak dalang yang juga bergelar haji, dan para penyanyi atau sinden-nya pun sering mengenakan hijab atau kerudung saat tampil.
Pagelaran wayang di Ujunggede nanti juga diiringi oleh hadrah modern "Laskar Ijo".
Ada pula tokoh-tokoh wayang yang kemudian dibuat dalam konteks kekinian.