Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Masih ingatkah kita akan cara Kanjeng Sunan Kalijaga (1450-1513), salah seorang dari Walisongo (sembilan wali), dalam menyebarkan ajaran Islam di Pulau Jawa?
Bila tidak ingat, silakan datang ke Desa Ujunggede, Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, Sabtu (3/6/2023) esok.
Di sana akan ada “Pagelaran Budaya Wayang Santri” dalam rangka “Sedekah Bumi” desa setempat.
Pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Suryo Ningrat, Ketua Pimpinan Cabang LESBUMI Kabupaten Pemalang, ini akan berlangsung di Makam Mbah Wongsoreko yang menurut Hj Nurbudi Herawati (48), tokoh masyarakat setempat, diyakini sebagian penduduk sebagai pendiri atau “sing babad alas” dan kemudian menjadi “sing mbahurekso” (yang memelihara) Desa Ujunggede. Entah benar atau tidak.
LESBUMI merupakan singkatan dari Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia yang berdiri pada 28 Juni 1962 sebagai salah satu badan otonom dari Nahdatul Ulama (NU) yang bergerak dalam bidang kebudayaan dan kesenian.
Jika menyaksikan acara tersebut, niscaya kita akan ingat, bahkan semacam “napak tilas (mengikuti jejak) cara Sunan Kalijaga menyebarkan ajaran Islam di Pulau Jawa, mulai dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten bahkan hingga DKI Jakarta. Saat itu mayoritas masyarakat Jawa masih menganut animisme dan dinamisme atau memeluk agama Hindu atau Buddha.
Sunan Kalijaga bukan hanya seorang pendakwah, melainkan juga seorang seniman dan budayawan. Ia banyak menciptakan “gendhing” (musik) dan “tembang” (lagu), terutama Macapat.
Sunan Kalijaga juga menciptakan tokoh wayang Punakawan, yakni Semar, Gareng, Petruk dan Bagong.
Sebab itulah dalam menyebarkan ajaran Islam, Sunan Kalijaga sering menggunakan wayang sebagai mediumnya.
Misalnya, seorang penonton sebelum menonton pagelaran wayang dipersyaratkan untuk membasuh muka, tangan dan kaki terlebih dahulu. Belakangan, "prosesi" semacam itu dikenal sebagai "wudhu".
Sunan Kalijaga juga menciptakan tembang "Ilir-ilir" yang pada liriknya terdapat kata "belimbing" atau buah segi lima yang menyimbolkan lima rukun Islam, yakni syahadat, salat, zakat, puasa dan haji.
Lalu terjadilah akulturasi. Masyarakat Jawa yang mayoritas penganut animisme dan dinamisme atau pemeluk agama Hindu atau Buddha, kemudian menganut ajaran Islam bahkan kemudian masuk Islam.
Dalam perjalanannya kemudian, umat Islam di Pulau Jawa ada yang disebut sebagai “abangan” dan “santri”.
Baca juga: Festival Budaya Bumi Mandala di Candi Ngawen Magelang Pentaskan Wayang Kulit dan Ragam Tarian