Pertama, syarat untuk mendirikan partai politik dirasa sangat berat. Sebagaimana bunyi Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2011, salah satu syaratnya adalah bahwa partai politik harus didirikan oleh setidaknya 30 orang WNI yang telah berusia 21 tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi. Jika terdapat 34 provinsi di Indonesia, maka untuk mendirikan partai politik paling tidak diperlukan 1.020 orang pendiri partai yang tersebar secara merata di seluruh provinsi.
Tidak hanya itu, partai politik harus sebagai badan hukum (Pasal 3). Syarat untuk menjadikan partai politik sebagai badan hukum, adalah harus memiliki kepengurusan di 100 persen provinsi, 75 persen kabupaten/kota, dan 50 persen kecamatan dari kabupaten/kota yang bersangkutan. Selain itu, partai politik harus memiliki kantor tetap di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahap akhir pelaksanaan pemilu.
Syarat tersebut tentu sangat berat bagi partai-partai politik baru yang akan berdiri. Hanya partai-partai politik lama dengan modal besar yang dapat memenuhi persyaratan itu. Selain menghambat partisipasi politik warga negara dalam kehidupan demokrasi, syarat itu justru membuka peluang masuknya kekuatan uang untuk mempengaruhi wajah demokrasi kita.
Kedua, batas maksimal sumbangan dari perusahaan/badan usaha kepada partai politik, sebagaimana diatur pada Pasal 35, adalah sebesar Rp7,5 milyar setiap perusahaan. Besarnya batas maksimal sumbangan dari perusahaan/badan usaha kepada partai politik itu, semakin menegaskan bahwa demokrasi kita telah bergeser ke arah demokrasi liberal ala demokrasi Barat. Pada sisi yang lain, kondisi itu membuka peluang praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan politik.
Menutup Keutamaan Musyawarah Mufakat
Secara sederhana, ciri demokrasi liberal adalah sistem pemerintahan perwakilan rakyat, di mana penguasa dipilih secara langsung oleh rakyat secara bebas, serta dominannya kekuasaan parlemen. Dengan pengertian itu, maka penyimpangan terhadap demokrasi Pancasila ke arah demokrasi cita rasa liberal pada masa reformasi juga dapat dilihat dari peristiwa dan praktik politik kita selama ini.
Pertama, kewenangan dan tafsir kebebasan MPR yang berlebihan pada masa reformasi dengan melakukan amandemen berkali-kali terhadap UUD 1945. Hampir semua pasal UUD 1945 mengalami penambahan atau pengurangan. Pasal-pasal UUD 1945 yang dulu ramping, luwes dan dinamis, kini menjadi gemuk, terlalu rinci dan kaku.
Postur UUD 1945 hasil amandemen itu seakan menutup keutamaan musyawarah mufakat dalam pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan di parlemen tidak lagi mengutamakan musyawarah untuk mufakat dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan, tetapi lebih banyak menggunakan mekanisme pemungutan suara. Peristiwa itu terjadi pertamakali pada saat pemilihan Hamzah Has menjadi wakil presiden setelah mengalahkan Akbar Tanjung dengan cara pemungutan suara. Setelah itu, kita menyaksikan betapa praktik pemungutan suara menjadi kebiasaan dalam setiap pengambilan keputusan.
Kedua, pemilihan presiden dan wakil presiden serta kepala daerah secara langsung ala demokrasi Barat. Bersamaan dengan itu, terjadi perubahan kewenangan dan fungsi MPR. MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara yang memiliki kewenangan untuk memilih presiden dan wakil presiden. Demikian juga DPRD tidak lagi memiliki kewenangan untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota.
Ketiga, pada sistem pemilu proporsional terbuka yang berlaku saat ini memperbesar peluang terjadinya fenomena liberalisasi politik. Dengan sistem pemilu tersebut, semakin menguat praktik money politic dan politik transaksional. Kader partai politik yang militan dan berkualitas bisa tergusur oleh kekuatan kapital atau popolarisme elektoral, dan sebagainya.
Menghidupi Demokrasi Pancasila
Praktik demokrasi cita rasa liberal ala Barat pada masa reformasi, jelas merupakan sebuah penyimpangan terhadap nilai-nilai demokrasi Pancasila. Selain itu, praktik demokrasi cita rasa liberal ala Barat tersebut, juga tidak menghadirkan nilai lebih berupa penguatan kedaulatan rakyat. Demokrasi pada masa reformasi telah melahirkan demokrasi prosedural dengan biaya tinggi. Praktik suap dan politik uang yang menjadi mata rantai tumbuhnya budaya korupsi menjadi semakin merajalela.
Penyelenggaraan pemilu selama ini seolah terjebak pada aturan administratif dan prosedural semata. Terlebih jika dilihat dari pemimpin dan wakil rakyat yang dihasilkan melalui pemilu secara langsung, tentu masih sangat jauh dari cita-cita dan tujuan nasional, yaitu tegaknya kedaulatan rakyat menuju masyarakat adil dan makmur.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, dari tahun 2004-2020 ada 397 pejabat politik yang terjerat kasus korupsi. Kasus korupsi tersebut melibatkan kepala daerah dan anggota legislative. Jumlah kasus pejabat politik itu mencapai 36 persen dari total perkara yang ditangani KPK.