OLEH : RUSYAD ADI SURIYANTO, Staf Pengajar Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi, dan Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, FK-KMK UGM
DARATAN Sunda terpecah-pecah saat terjadi kenaikan permukaan laut pada akhir Zaman Es, sekitar 15.000 – 7.000 tahun yang lalu.
Di kawasan ini ada kekuatan utama yang mampu membentuk keragaman manusia modern di wilayah ini.
Bila ditarik garis tegas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa populasi manusia modern ini telah tinggal di Cina Selatan dalam waktu yang lama.
Selanjutnya menyebar ke kawasan-kawasan di sekitarnya dengan ragam variasinya oleh perjalanan waktu dan penghadapanya dengan perubahan-perubahan lingkungan kurun tersebut.
Dalam tafsiran Oppenheimer dikatakan sebagai variabilitas osteologisnya telah ditunjukkan oleh sisa-sisa manusia akhir Pleistosen sampai awal Holosen Kawasan ini. Jadi, inilah yang dapat dimaknai sebagai politipisme dan polimorfisme populasi di kawasan ini.
Sebuah rangka manusia laki-laki yang dikenal sebagai "Perak Man" telah berhasil digali dari situs kubur Gua Gunung Runtuh (Malaysia) yang menunjukkan afinitas rasial Australomelanesoid, dan pertanggalan radiokarbonnya memastikan antikuitasnya 10.120 ± 110 BP.
Temuan-temuan lainnya yang masih dianggap seperiode, seperti dari Tamiang, Langkat dan populasi-populasi gua di Jawa Timur, serta sebelumnya dari Tampong (Laos), Gua Cha dan Guar Kepah (Semenanjung Malaysia), telah dilaporkan menunjukkan karakteristik Australomelanesoid.
Sisa-sisa manusia termuda dari situs pemakaman Wajak (Tulungagung, Jawa Timur) berantikuitas 6.560 BP, sedangkan yang tertua berantikuitas 10.560 BP berdasarkan konteks faunal dalam lapisan temuan-temuannya.
Belakangan temuan Wajak itu diteliti ulang, dan menghasilkan temuan yang menunjukkan umur minimal 28,5 – 37,4 ribu tahun yang lalu.
Paleoantropolog dan arkeolog Bulbeck berdasarkan pada pertimbanganpertimbangannya yang paling baru untuk situs Guar Kepah telah mengusulkan Holosen tengah yakni sekitar 4.000 – 5.000 tahun lalu.
Selain itu, dengan interpretasinya yang hati-hati, dia tidak dapat memastikan afinitasnya apakah tergolong Australomelanesoid atau Mongoloid, namun dia menegaskan mereka sudah melakukan ekonomi Neolitik, dan karena itu, mereka memperlihatkan karakteristik-karakteristik morfologis yang lebih gracile (mungil dan halus).
Arkeolog Bellwood telah menggunakan kajian perbandingan-perbandingan linguistik untuk mengusulkan dua migrasi prasejarah utama di dalam kawasan Asia Tenggara.
Yakni migrasi Australoid kuno dari Kepulauan Indo-Malaysia yang menetap di Australia dan Papua Nugini sekitar 40.000 BP, dan migrasi Mongoloid Selatan yang lebih baru atau Austronesia yang berasal dari Propinsi Fujian atau Zhejian (Cina) dan menetap di pelbagai wilayah daratan dan kepulauan Asia Tenggara sekitar 4.000 – 6.000 BP.
Hal demikian dapat dipahami bahwa sisa-sisa populasi yang pertama ini di Asia Tenggara pada dasarnya digantikan atau diasimilasi oleh migrasi populasi yang kedua; sedangkan mereka yang telah menetap di Australia dan Papua Nugini relatif tidak terpengaruh oleh migrasi yang kedua.
Berdasarkan asumsi ini lah sekelompok ilmuwan aDNA telah mengantisipasi dengan melakukan penelitian mtDNA-nya, dan mereka telah menegaskan bahwa Asia Tenggara bisa jadi merupakan clinal zone antara genotipe Australomelanesoid (timur dan selatan) dan Mongoloid (barat dan utara).
Bukti-bukti ini makin nyata seperti yang telah diungkapkan di depan. Pun paleoantropolog pioneer Indonesia T. Jacob telah menegaskan bukti-bukti ini.
Migrasi-migrasi populasi manusia prasejarah di kawasan Asia Tenggara telah menghadirkan banyak interpretasi dan perdebatan oleh banyak ilmuwan dari beragam disiplin ilmu pengetahuan.
Para ilmuwan ini telah mengemukakan argumentasi-argumentasinya, baik dari penelitian karakteristikkarakteristik morfologis gigi-geliginya, antropologi biologis-paleoantropologisnya, perbandinganperbandingan linguistik dan material arkeologisnya, perbandingan-perbandingan material arkeobotanis dan arkeozoologisnya, perbandingan-perbandingan genetika manusianya, dan bahkan telah ada upayaupaya untuk menggunakan multidisipliner dan interdisipliner di antara genetika manusia, arkeologi dan linguistiknya.
Upaya lain bahkan telah dilakukan oleh beberapa peneliti terhadap bakteri-bakteri dalam kaitannya untuk mengetahui migrasi-migrasi ini.
Asumsinya, bakteri-bakteri pathogen ini selalu hadir di dalam badan manusia (populasi) tersebut, dan selanjutnya terbawa ke mana mereka bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Lalu terus dapat ditularkan ke populasipopulasi lain dalam kontak-kontak selanjutnya baik langsung ataupun tidak langsung.
Gegap kempita ini telah mengusik benak Oppenheimer dan rekannya Richards, dan mereka telah menanggapi masalah ini dengan suasana riang seperti berkelakar tidak terasa jika perdebatan-perdebatan ini telah memakan waktu lebih dari 200 tahun.
Beberapa hipotesis berkaitan dengan asal-usul Austronesia ini telah ikut menyemarakkan diskusi sejarah migrasi Australomelanesoid dan Mongoloid di Nusantara.
Secara garis besar, ada dua kutub pandangan; di mana satu sisi menyebut mereka berasal dari Asia Tenggara Kepulauan (off-shore), dan sisi lain menyebut mereka berasal dari Asia Daratan (on-shore).
Sekelompok ilmuwan paleo- dan arkeomegajukan skenario asal-usul mereka meliputi Asia Tenggara. Kepulauan yang membentang dari Taiwan (Formosa), Pantai Timur Asia Tenggara Daratan, Semenanjung Malaka, Kepulauan Filipina dan Kepulauan Indonesia minus Papua.
Sebenarnya pandangan paling tua ini masih dipegang oleh beberapa ahli genetika populasi berdasarkan bukti-bukti data haplotipe distribusi polimorfisme biallele pada kromosom Y dari populasi-populasi hidupnya di kawasan Asia Tenggara, Taiwan, Mikronesia, Melanesia dan Polinesia.
Seorang arkeolog mengajukan skenario bahwa mereka berasal dari wilayah Sulawesi, khususnya dari bagian tengah dan utara, bagian selatan Kepulauan Filipina dan bagian utara Kalimantan (Borneo), dan selanjutnya mereka menyebar ke wilayah-wilayah di sekitarnya yang diperkirakan sekitar 5.000 BC.
Pandangan alternatif lain telah dikemukakan oleh banyak ilmuwan paleo- dan arkeo-, bahwa mereka berasal dari Cina via Taiwan sekitar 3.000 – 4.000 BC, dan menyebar ke Kepulauan Indonesia via Filipina menggantikan populasi-populasi yang lebih awal setelah 2.000 BC.
Pandangan terakhir ini secara umum dikenal sebagai “out of Taiwan”, “express train from China”, “express train to Polynesia”, “express train from China to Polynesia”, bahkan yang terbaru seperti dalam salah satu judul bab buku karya Diamond yang terbit pada tahun 2005 telah diistilahkan sebagai “speedboat to Polynesia”.
Sekelompok peneliti genetika populasi beradil telah memberikan pandangan makin terang ini berdasarkan penelitian mtDNA dari sampel populasi Mindanao, Luzon dan Visayas dalam gugusan Kepulauan Filipina dan Taiwan.
Pengaruh-pengaruh biologi manusia dan kebudayaan dari barat ke timur dan sebaliknya yang telah berselang-seling datangnya dalam rentang kurun Pleistosen Atas sampai saat ini telah berperan untuk menghadirkan “warna-warni” penduduk Nusantara.
Kita telah berwarna-warni sejak zaman prasejarah! (*)