Mengambil Alih Konferwil dan Konfercab, Langkah Tepat dan Smart PBNU
Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA.*
TRIBUNNEWS.COM - Menjelang Pelaksanaan Konferensi Wilayah 11 NU Lampung, PBNU menerbitkan Keputusan Nomor: 790/PB.03/A.I.03.44/99/07/22 pada tanggal 25 Juli 2023. Amar putusan ini menyebutkan MWC NU Lampung belum memenuhi syarat sesuai ketentuan ART Pasal 82 ayat 2 tentang tatacara pembekuan dan pengesahan kepengurusan.
Dengan begitu, Konferwil 11 NU Lampung hanya diikuti oleh PCNU se-Lampung sebagai peserta yang memiliki hak suara. Keputusan PBNU menuai kritikan. H. Fajrun Najah Ahmad, tokoh NU Lampung, menilai keputusan tersebut menunjukkan keinginan PBNU mengambil alih Konferwil. Lebih lanjut, menurutnya, pelibatan aspirasi akar rumput telah dikalahkan oleh pemikiran pragmatis demi kekuasaan, dan semangat memajukan demokrasi ditepikan.
Sementara Ketua MWC NU Labuhan Ratu Bandarlampung, Sahroni Irawan, mengeluarkan tekanan bahwa pihaknya (MWC NU se-Kota Bandarlampung) akan menjadi garda terdepan menolak putusan PBNU tersebut, bahkan berencana menggagalkan pelaksanaan Konferwil. Pihaknya juga akan berkampanye mengajak MWC NU di 14 kabupaten/kota untuk melakukan penolakan yang sama.
Perlu dipahami bahwa sesungguhnya keputusan PBNU sudah sangat bagus. Bukan saja Konferwil Lampung, semua Konferwil seyogyanya diambil alih oleh PBNU. Pertama, karena alasan administratif yang butuh efisiensi. Pengambilalihan Konferwil dan Konfercab oleh PBNU akan memudahkan garis komando, dalam mendesign dan menentukan ketua-ketua yang layak.
Sebaliknya, membiarkan Konferwil/Konfercab tanpa garis komando kuat akan menurunkan marwah PBNU sekaligus membuka gerbang masuk bagi mekanisme pasar bebas di lingkungan NU. Pasar Bebas NU bukan sesuatu yang baik. Sangat mungkin lahir pemimpin-pemimpin NU yang tidak sesuai dengan kebutuhan lokal dan misi organisasi pusat karena ada kultur pasar bebas. Dengan mengambil alih Konferwil, PBNU sudah selangkah melakukan reformasi administratif keorganisasian demi efektivitas dan efisiensi.
Kedua, selama ini pemilihan-pemilihan di tingkat Pengurus Wilayah (PW) dan Pengurus Cabang (PC) terlanjur dicitrakan oleh publik sebagai medan bagi kapitalis dan pasar bebas. Gara-gara praktik pasar bebas di PW/PC, marwah NU tercoreng secara diam-diam di dalam hati penonton publik. Satu-satunya cara mengembalikan marwah yang memudar tersebut, ketua-ketua PW/PC harus dipilih oleh para kiai sepuh dalam lembaga Rais Syuriah.
Jika harus menimbang keputusan PBNU dan pendapat yang kontra tersebut, penulis melihat pandangan tokoh NU Lampung seperti Fajrun Najah Ahmad mengekspresikan semangat liberalisme klasik, sebuah ideologi kebebasan yang mendukung otoritas individu, rasionalisasi, keadilan. Karenanya, peran otoritas yang lebih besar (seperti negara/organisasi) harus dibatasi. Sementara individualisme dan kebebasan harus didukung sepenuhnya.
Dalam suasana dimana tidak ada lagi peran besar lembaga negara atau organisasi, pasar kapitalistik sudah pasti datang menggantikannya. Para individu tidak saja liberal secara politis tetapi juga semakin kapitalistik secara ekonomi. Ini yang terjadi dalam peradaban Barat, yang identitk dengan dua ciri: liberalis-kapitalis. Seiring perjalanan waktu, liberalisme-kapitalisme ini menyebar ke seluruh penjuru dunia, khususnya negara-negara berkembang.
Sejatinya tidaklah demikian memahami arti kebebasan, individualisme, dan keadilan. Seiring kemenangan ideologi liberalisme di Eropa pada abad 19, neo-liberalisme memiki karakteristik yang berbeda. Sejak para liberalis meraih kekuasaan, sejak itu pula revisi-revisi terhadap pemikiran klasik mereka dilakukan. Salah satunya mempertemukan kepentingan individu dan peran lembaga (negara/organisasi).
Pada tahapan ini, lembaga tidak lagi dibatasi perannya dalam kehidupan individu-privat. Lembaga malah didorong untuk terlibat lebih jauh dan lebih aktif dalam mendukung kesejahteraan individu. Sejak itu pula, tuntutan besar diarahkan pada peran lembaga (negara/organisasi) untuk memperhatikan kebaikan, termasuk kesejahteraan, individu. Di sinilah peran lembaga semakin besar terhadap individu.
Pengambilalihan PBNU terhadap Konferwil bukan sesuatu yang bisa dinilai tidak adil, memangkas aspirasi akar rumput, dan pragmatis seperti pandangan tokoh NU Lampung Fajrun Najah Amhad, dkk. Sebaliknya, memang demikianlah idealnya perubahan dari liberalisme klasik menuju liberalisme modern. Jadi, aspirasi akar rumput, keadilan, dan rasionalitas individu bukan dipangkas, tetapi diarahkan.
Perbedaan antara dipangkas dan diarahkan ini sangat jauh. Pengarahan sudah dilakukan oleh lembaga modern lain. Misalnya, PBNU bisa belajar dengan baik kepada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang menerapkan mekanisme penentuan Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP). Pengambilalihan DPW dan DPC oleh DPP PKB ini bukan praktik untuk menciderai hak-hak demokratis. Sebaliknya untuk penguatan organisasi.
DPP berusaha untuk mengkordinir tokoh-tokoh lokal yang sesuai dengan kebutuhan organisasi di tingkat lokal. Pengambilalihan adalah bentuk keinginan lembaga untuk menempatkan orang yang tepat di tempat yang tepat (the right man on the right place). Hal ini sudah menjadi bagian dari manajemen organisasi modern apapun itu, lembaga negara, organisasi sosial keagamaan, ataupun lainnya.
Sampai di sini, penulis menilai, keputusan PBNU untuk mengambilalih Konferwil 11 Lampung adalah keputusan tepat, yang mencerminkan upaya transformasi organisasi NU dari klasik menjadi lebih modern. Karenanya, penulis menyarankan agar PBNU tidak saja mengambilalih Konferwil Lampung tetapi semua Konferwil juga semua Konfercab. Transisi organisasi dari tradisional ke modern akan lebih efisien dan efektif. Wallahu a’lam bis shawab.[]
*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.