News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Polemik Nasab Ba’alawi dan Petaka Logika Kiai Imad

Editor: Wahyu Aji
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

KH. Imam Jazuli, Lc. MA, alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA*

TRIBUNNERS - Status validitas nasab Ba’alawi dan lembaga Rabithah ‘Alawiyyah berada di ujung tanduk.

Polemik yang digelar Kiai Imaduddin Utsman, Pengasuh Pesantren Nahdlatul ‘Ulum, menantang kesahihah nasab keluarga Alawi bin Ubaidillah sebagai penerus genetika Rasulullah SAW.

Tesis Kiai Imad mendekonstruksi status Ubaidillah sebagai putra Ahmad al-Muhajir bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali bin Ja'far as-Shadiq. Otomatis hubungan darah antara Alawi dan Ahmad al-Muhajir diragukan. Ubaidillah belum terbukti sebagai putra Ahmad al-Muhajir.

Ahmad al-Muhajir diperkirakan wafat pada 345 H./956 M., dan dimakamkan di Hadramaut, Yaman. Di sinilah awal mula polemik Kiai Imamd dimunculkan.

Berdasarkan catatan tertua yang berhasil dikumpulkan Kiai Imad, Ahmad al-Muhajir memiliki tiga putra: Abu Ja'far Muhammad di Ray Iran, Husain di Naisabur Iran, dan Ali di Ramlah Palestina.

Catatan Kiai Imad tersebut diambil dari sumber tertua, yaitu: kitab Al-Syajarah Al-Mubarakah fi Ansab al-Thalibiyah karangan Fakhruddin ar-Razi Abu Abdullah Muhammad bin Umar bin al-Husain al-Qursyi al-Thabaristani (w. 606 H./1209 M.).

Berbekal kitab yang sama, Kiai Imad menantang para pendukung akademis maupun fanatis nasab Ba’alawi.

Tantangan Kiai Imad sangat sederhana, yaitu mempersilahkan kubu pro-nasab Ba’alawi untuk mendatangkan sumber yang lebih tua dari pada kitab al-Syajarah al-Mubarakah tersebut. Tampaknya, sampai tulisan ini dibuat, satu-satunya wacana tandingan (counterdiscourse) yang kuat datang setelah penemuan sebuah manuskrip Sunan Tirmidzi bertarik 589 H./1193 M.

Pada halaman awal manuskrip terdapat tulisan tangan Muhammad bin Ali Al-Qala'i Shahib Mirbath Ba'alawi (w. 592 H./1195 M.), yang memberikan ijazah kepada Syarif Abdullah Ba'alawi pada tahun 575 H./1179 M. Dengan demikian, tahun wafat al-Qala’i Shahib Mirbath Ba’alawi lebih awal 15 tahun dibanding wafatnya Fakhruddin ar-Razi. Begitupun pemberian ijazah tersebut lebih awal 31 tahun dibanding wafatnya Fakhruddin ar-Razi.

Selain itu, eksistensi ijazah pada manuskrip Sunan Trimidzi jauh lebih tua dari kitab al-Syarajah al-Mubarakah sekitar 17 tahun. Ini dihitung sejak wafatnya pengarang kitab al-Syajarah, yaitu: 17 tahun kemudian. Sampai di sini, Kiai Imad semestinya menerima fakta material berupa ijazah dalam manuskrip sebagai sumber sejarah nasab Ba’alawi.

Jika ditanyakan, mana yang lebih kuat sebagai sumber otentik sejarah, apakah manuskrip atau kitab nasab? Tentu saja jawabannya adalah kitab nasab. Sebagai sebuah disiplin ilmu yang mandiri, kitab nasab memiliki peran fungsi dan statusnya yang lebih istimewa. Namun, berbeda halnya jika berkenaan dengan masalah sejarah, maka apapun benda materialnya, baik kitab maupun kepingan informasi pada kitab, sama-sama sebagai bukti material penulisan sejarah.

Kita tahu, misalnya, bahwa penulisan sejarah Nusantara hanya berpijak pada kepingan-kepingan informasi dalam prasasti-prasasti. Hampir tidak ditemukan satu kitab utuh tentang sejarah Nusantara pada abad 4 Masehi, yang sezaman dengan Prasasti Yupa Kerajaan Kutai Kertanegara. Namun kepingan informasi Prasasti Yupa sudah cukup menjustifikasi eksistensi Kerajaan Kutai.

Begitu juga dengan kepingan informasi nasab Ba’alawi yang—sampai tulisan ini dibuat—hanya bisa dijustifikasi melalui manuskrip berisi ijazah. Dengan berbekal secuil kepingan informasi tersebut, argumentasi untuk membangun narasi tentang historisitas keluarga Ba’alawi telah cukup, minimal dalam pandangan historis.

Sampai di sini, penulis mengapresiasi pemikiran Kiai Imad bahwa memang tidak ada kitab nasab tentang keluarga Ba’alawi yang ditulis lebih awal dari tahun 606 Hijriah. Tetapi, penulis juga tidak setuju pada Kiai Imad bahwa nasab Ba’alawi sepenuhnya terputus, mengingat ada fakta material berupa manuskrip yang melegitimasinya.

Seandainya, Kiai Imad memang mau mendelegitimasi status ijazah dalam manuskrip bertarikh 589 Hijriyah tersebut, maka upaya delegitimasi tidak dapat dilakukan dengan merujuk pada kitab al-Syajarah al-Mubarakah, yang secara tahun lebih muda dibanding usia manuskrip. Hendaknya Kiai Imad menghadirkan informasi baru, baik berupa kitab nasab yang penuh ataupun potongan informasi dalam manuskrip, yang sezaman dengan ijazah dalam manuskrip Sunan Tirmidzi 589 H.

Perdebatan semacam ini sebenarnya sangatlah menarik, karena mendorong setiap orang untuk belajar kembali, berpikir, dan berijtihad dalam kebenaran. Seandainya tujuan utama Kiai adalah kebenaran, tentu saja tidak akan berhenti mendekonstruksi nasab Ba’alawi dan mengkocar-kacirkannya begitu saja. Karena itulah, Kiai Imad harus berani maju satu langkah sebagai wacana jawaban (counterdiscourse) terhadap eksistensi ijazah dalam manuskrip Sunan Tirmidzi.

Penulis sendiri tidak memiliki tendensius apapun, tidak pro terhadap nasab Ba’alawi juga tidak kontra. Penulis hanya menghargai betapa pentingnya pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu sejarah, lebih-lebih ilmu nasab. Penulis juga mengapresiasi Habib Rumail Abbas, yang membangun jaringan internasional dan menyuguhkan manuskrip Sunan Tirmidzi tersebut. Tetapi, juga perlu dicatat, ilmu sejarah harus dilawan dengan ilmu sejarah. Begitupun ilmu nasab harus dijawab dengan ilmu nasab. Janganlah berbuat tidak adil. Wallahu a’lam bis shawab.[]

Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini