Dari segi ideologi politik, tiga partai besar ini telah saling melengkapi satu sama lain, dengan basis massa masing-masing.
Di masa depan, koalisi PKB-PKS-Nasdem ini menciptakan peluang-peluang bagi setiap harapan.
Umat bangsa Indonesia mempunyai harapan ke depan bahwa sekat-sekat sosial politik antara kaum “kadrun” dan kaum “cebong” melebur; semua orang bersatu atas nama tokoh politik masing-masing.
Peluang kemenangan paslon Anies-Imin sangat besar. Pertama, dilema politik bukan terletak pada pembentukan koalisi antara PKS-PKB, melainkan pada Gerindra dan PDIP.
Baca juga: Deklarasi Anies-Muhaimin, Surya Paloh: Selamat Tinggal Kepada Politik Cebong dan Kampret
Dua partai ini harus berpikir keras bagaimana cara mereka bersikap pada representasi NU, kyai Said Aqiel, Khofifah Indar Parawansah, dan lainnya.
Sekiranya Anies-Imin maju pada Pemilu, maka siapa cawaspres bagi Prabowo Subianto maupun Ganjar Pranowo?
Haruskah mereka mengambil dari kader NU atau tidak? Jika iya, maka seberapa besar dampaknya? Dan jika tidak, bagaimana dampaknya pula?
Pertama, kader-kader terbaik NU haruslah dilirik Prabowo dan Ganjar untuk dipertimbangkan sebagai cawapres mereka.
Sebab, jika tidak dilibatkan, maka potensi seluruh kader dan warga NU mengalir kepada pasangan Anies-Imin.
Jika itu terjadi, maka Prabowo maupun Ganjar pasti kalah.
Jika Prabowo dan Ganjar sama-sama mengambil pasangan cawapres dari kalangan NU, maka otomatis suara NU akan terpecah menjadi tiga arus, dengan kehadiran Cak Imin sebagai pilihan ketiga.
Dampaknya, Prabowo dan Ganjar harus bersaing dengan Cak Imin dalam memobilisir suara Nahdliyyin.
Prabowo dan Ganjar akan menghadapi banyak kendala apabila harus bersaing dengan Cak Imin dalam menggalang dukungan suara NU.
Sangat mungkin, hasil Prabowo dan Ganjar dalam menjaring suara Nahdliyyin tidak berpengaruh besar pada kemenangan mereka sebab, hanya PKB yang mampu mengkonsolidasi.