Namun apakah layak, seorang yang mengaku NU namun justru merendahkan marwah rais aamnya sendiri?
Bukankah itu bagian dari upaya merusak organisasi dari dalam?
Bagi saya, dari cara berpikirnya itu, Imam Jazuli sudah tidak lagi bisa disebut sebagai tokoh atau ulama panutan bagi kalangan nahdliyin, khususnya di wilayah Cirebon.
Sebab caranya melakukan kritik terhadap PBNU baik secara organisasi atau personalnya sering mengabaikan batas-batas kepatutan.
Kritikannya selalu dikendalikan oleh motif menggiring opini yang bernuansa politis dan ingin meraih popularitas pribadi semata.
Bagi kader NU khususnya, membaca tulisannya bukan mendapatkan perspektif baru yang konstruktif.
Ini lantaran dia selalu mencibir dengan pikiran yang keruh sekaligus menyelipkan secara diksi kasar.
Bahkan yang ironi, tulisannya dijadikan sebagai ajang untuk target sangat pendek, yakni kampanye partai politik, dalam hal ini PKB.
Cara berpikirnya ini tentu patut disesalkan.
Imam Jazuli hanya ingin agar suaranya terdongkrak walau harus dengan jalan yang serampangan atau tidak konstruktif.
Bagi saya, model pelemahan marwah PBNU dengan berbalut kritikan ini adalah persoalan serius yang tidak bisa diabaikan.
Saya memahami ini seperti virus di dalam tubuh NU yang jika dibiarkan akan menjadi penyakit yang membahayakan.
Kalangan NU di Kabupaten Cirebon khususnya harus bersikap dan membuat tindakan taktis.
Saya melihat Imam Jazuli sedang mengalami fase sindrom ketokohan sehingga tampak selalu ingin mencari lawan tanding yang besar.