News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Menyoal Kedudukan Polri dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Sebagai Negara Demokrasi

Editor: Eko Sutriyanto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi Polisi - Menyoal kedudukan Polri dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sebagai negara demokrasi

Oleh : Dr Husni Thamrin SH MH *)

JAKARTA - Salah satu kehendak rakyat yang harus dilaksankan oleh pemegang kekuasaan negara berdasarkan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) adalah terlindunginya seluruh rakyat, terciptanya keamanan dan ketertiban.

Maka oleh karena itu, kehendak tersebut ditaungkan dalam pembukaanya UUD 1945 “….membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”.

Dengan demikian, untuk terwujudnya keamanan, ketertiban dan terlindunginya rakyat tersebut, maka perlu ada alat negara yang memiliki fungsi melindungi rakyat dan menjaga ketertiban guna terwujudnya tujuan pembentukan negara tersebut.

Oleh karena hal tersebut di atas, maka Pasal 30 Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan : “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga kemanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”. Dengan

Demikian fungsi utama Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) adalah untuk menjaga kemanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi,melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

Dalam sejarah Hukum Ketatanegaraan Indonesia, penempatan kedudukan Polri langsung dibawah Prsiden Pasca Reformasi dimulai sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 2000 Tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu pada ketentuan Pasal 2 Ayat (1) yang menyatakan : “Kepolisian Negara Republik Indonesia berkedudukan langsung di bawah Presiden”.

Baca juga: Ketua KPK Firli Bahuri Hanya Duduk Melihat Rumahnya Digeledah Polisi, Ini Pengakuan Ketua RT

Selanjutnya Pasal 2 Ayat (2) menyatakan: “Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab langsung kepada Presiden”.

Akan tetapi, Kepres tersebut masih menentukan dalam pelaksanaan fungsi dan tugasnya Polri masih harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dan Departemen Dalam Negeri.

Hal ini dinyatakan dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (3) Kepres tersebut, yang menyatakan: “Kepolisian Negara Republik Indonesia berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam urusan yustisial dan dengan Departemen Dalam Negeri dalam urusan ketentraman dan ketertiban umum”.

Adapun yang menjadi pertimbangan penempatan Polri langsung dibawah Presiden dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden adalah untuk terpeliharanya ketertiban dan ketentraman masyarakat serta kepastian hukum, dipandang perlu untuk meningkatkan integritas dan kemampuan profesional Kepolisian Negara Republik Indonesia dan telah menjadi kenyataan fungsi keamanan yang dilaksanakan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan fungsi pertahanan yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia telah terpisah berdasarkan kebijakan pemerintah sejak 1 April 1999.

Selain itu, kedudukan Polri langsung dibawah Presiden juga diatur dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VII/MPR/2000 Tentang Peran Tentara Nasional Indonesia Dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia pada Pasal 7 Ayat (2) yang
menyatakan : “Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden”.

Bertitik tolak dari ketiga Peraturan tersebut diatas (UU Kepolisian, Kepres, dan Tap MPR) maka dapat terlihat ada persamaan dan perbedaan yang sangat mendasar berkaitan dengan kedudukan Polri dalam sistem Ketanegaraan Indonesia.

Persamaannya adalah ketiga mengatur bahwa Polri ditempatkan dibawah Presiden secara langsung. Sedangkan yang menjadi perbedaannya yaitu sebagai berikut:

1. Pada Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VII/MPR/2000 Tentang Peran Tentara Nasional Indonesia Dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia hanya mengatur kedudukan Polri dibawah Presiden, tidak mengatur mengenai pertanggungjawaban pelaksanaan tugas Polri langsung kepada Presiden dan juga tidak mengatur fungsi koordinasi Polri kepada Lembaga lain dalam menjalankan tugasnya.

2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 89 Tahun 2000 Tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia mengatur tentang kedudukan Polri dibawah Presiden, Mengatur pertanggungjawaban Polri dalam melaksanakan tugasnya langsung kepada Presiden, dan juga mengatur mengenai koordinasi Polri dalam pelaksanaan tugasnya kepada Lembaga negara lainnya (Berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam urusan yustisial dan dengan Departemen Dalam Negeri dalam urusan ketentraman dan ketertiban umum).

3. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Republik Indonesia hanya mengatur kedudukan Polri dibawah Presiden dan Pertanggungjawaban pelaksanaan tugas kepada Presiden. Sedangkan kewajiban berkoordinasi dengan Lembaga Negara lain (Kejaksaan Agung dan Kementerian Dalam Negeri) dalam pelaksanaan urusanya ditiadakan.

Berdasarkan persamaan dan perbedaan ketiga Peraturan tersebut diatas, maka terlihat jelas bahwa lahirnya UU Kepolisian tahun 2002 menjadi tonggak awal lahirnya Polri yang memiliki kedudukan langsung dibawah Presiden dan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnyapun langsung kepada Presiden serta tidak lagi ada ketentuan berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung maupun Kementerian dalam Negeri dalam pelaksanaan urusannya.

Dengan demikian, UU Kepolisian menjadi dasar Polri sebagai institusi atau Alat Negara yang mandiri dengan fungsi dan kewenangan yang sangat besar.

Menempatkan Polri Langsung dibawah Presiden dan menjadikan Polri sebagai Institusi yang mandiri dalam UU Kepolisian tentunya diiringi dengan harapan agar Polri dapat membangun citra diri sebagai polisi negara yang juga berarti polisi rakyat, maka tentunya Polri harus dapat memeposisikan diri pada posisi yang tidak memungkinkan keberpihakan selain keberpihakan kepada hukum dan rakyat.

Pada tataran operasional teraktualisasi dalam bentuk kedekatan Polri dengan masyarakatnya, yang pada akhirnya Polri mampu mendapat kepercayaan yang besar dari masyarakat melebihi institusi negara lainnya.

Selain itu, Polri juga harus menyadari adanya kenyataan bahwa Sumber Daya Manusia (SDM) POLRI yang terbatas tidak mungkin mampu mengamankan masyarakatnya yang demikian besar jumlahnya maka oleh karena itu Polri membutuhkan partisipasi masyarakat. Agar tercipta partisipasi masyarakat tersebut maka Polri terlebih dahulu harus dipercayai dan dicintai oleh masyarakat.

Akan tetapi, walaupun sudah 20 Tahun menjadi Institusi yang mandiri dan memiliki kekuasaan serta kewenangan yang sangat besar Polri belum mampu untuk menjadi Institusi seperti apa yang dicita-citakan pada saat merumuskan UU Kepolisian.

Akhir-akhir ini Polri menjadi institusi yang paling rendah mendapatkan kepercayaan masyarakat terutama berkaitan dengan penegakan hukum, perlindungan HAM, dan etika Sumber Daya Manusia (SDM) anggota Polri.

Bahkan terkadang Polri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tidak lagi menjadi pelindung bagi rakyat tetapi cenderung pelindung kekuasaan, pelindung kejahatan, pelaku kejahatan serta diduga ikut dalam politik praktis yang diharamkan bagi Polri.

Pada hari ini Polri kembali kembali tercoreng dengan kasus yang sangat amat memalukan bangsa dan negara, tidak hanya kepada rakyat tetapi juga kepada negara Internasional, yaitu kasus pembunuhan berencana yang diduga dilakukan oleh seorang Pejabat Tinggi Polri beserta isteri dan para ajudannya kepada salah satu ajudannya pula.

Dalam kasus ini bagaimana dipertontokan buruknya ahlak seorang oknum Jenderal (FS) dengan jabatan Kepala Divisi Propam yang merupakan intitusi internal Polri yang bertugas menjaga nama baik Polri dan bertugas membina dan menyelenggarakan fungsi pertanggungjawaban profesi dan pengamanan internal.

Dalam hal ini termasuk ketertiban di lingkungan Polri, penegakan disiplin, dan pelayanan pengaduan masyarakat tentang adanya penyimpangan tindakan anggota Polri. Rakyat Indonesia tidak hanya dipertontokan sikap kejam dan pelanggar HAM, tetapi juga sifat yang munafik (pembohong) dengan membuat scenario palsu dan tidak bertanggungjawab.

Dalam perjalanan pengungkapan kasus ini tidak hanya terjadi pembunuhan berencana tetapi juga terjadi dugaan mengahalangi proses penegakan hukum dan bertindak tidak profesional yang melibatkan sangat banyak anggota Polri, mulai dari Perwira Tinggi, Perwira Menengah, hingga Bintara.

Dengan adanya peristiwa ini semakin terlihat bahwa adanya keinginan yang kuat dari oknum-oknum anggota Polri untuk saling melindungi dalam melakukan kejahatan atau ketidak profesionalan sehingga tujuannya adalah menutup rapat rapat kejahatan yang dilakukan oleh oknum-oknum anggota Polri tersebut.

Hal ini tentunya sangat bertolak belakang dari apa yang diharapkan dengan menempatkan Polri langsung dibawah Presiden dengan kekuasaan serta kewenangan yang sangat besar sebagaimana diatur dalam UU Kepolisian saat ini.

Bertitik tolak dari hal-hal tersebut diatas, maka permasalahan utama di Polri hari adalah kedudukan Polri dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Berbagai kasus Polri yang muncul hari ini pada hakikatnya hanyalah puncak dari gunung es akibat kekuasaan dan kewenangan yang terlalu besar yang dimiliki oleh Polri.

Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai Lembaga tinggi negara yang berfungsi dan berwenang mengawasi Polri inipun seakan-akan tidak memiliki keberanian untuk berhadapan dengan Polri dikarenakan besarnya kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh Polri.

Dari sekian banyak Lembaga negara termasuk Lembaga tinggi negara seakan-akan hanya Presiden yang mampu menghadapi kekuasaan dan kewenangan Polri ini. Atau mungkin karena UU Kepolisian yang mengatur bahwa seolah-olah hanya Presiden yang menjadi atasan Polri. Keadaan yang demikian ini tentunya menjadi sangat berbahaya bagi bangsa Indonesia sebagai sebuah Negara Demokrasi.

Memperhatikan berbagai kasus yang dilakukan oleh oknum-oknum Polri hari ini yang semakin tidak terkendali seakan-akan lebih dari ABRI pada masa orde baru yang dilabeli sebagai tameng kekuasaan.

Dengan kekuasaan dan kewengan yang amat besar tersebut Polri seakan-akan semakin tak terkendali seperti pembentukan Satuan Tugas Khusus (Satgasus) Merah Putih tahun 2019 oleh Kapolri Tito Karnavian berdasarkan Surat Perintah (Sprin) Nomor Sprin/681/III/HUK.6.6/2019 tertanggal 6 Maret 2019

. Satgasus Merah Putih mempunyai wewenang melakukan penyelidikan sejumlah perkara, antara lain yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Selain itu, Satgasus berwenang melakukan penyelidikan perkara narkotika, Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), hingga Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan perkara-perkara yang menajdi atensi pimpinan.

Satgasus ini merupakan jabatan nonstruktural dalam tubuh Polri tetapi memiliki kewenanganyang sangat besar. Hal ini tentunya merupakan bentuk anomaly dalam tubuh polri itu sendiri.

Terjadinya hal demikian ini tentunya sebagai sebuah akibat dari besarnya kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh Polri.

Undang-Undang Kepolisian yang menempatkan Polri dibawah Presiden dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada Presiden tentunya harus menjadi focus dalam mencari solusi dari berbagai masalah yang terjadi di Polri saat ini.

Selain itu, kedudukan Polri yang demikian itu juga harus dikaji dari aspek Negara Indonesia sebagai sebuah negara Demokrasi dimana dalam negara demokrasi yang menjadi pemegang kekuasaan sesungguhnya adalah rakyat (sipil).

Maka oleh karena itu, sudah sepatutnya semua cabang kekuasaan itu dipimpin oleh rakyat (sipil) dalam hal ini Polri harus bernaung dalam lembaga negara yang dipimpinan seorang Menteri atau Lembaga Negara setingkat Menteri yang dipimpim seorang sipil.

Hal ini diperlukan agar marwah negara demokrasi tersebut dapat terwujud. Adanya Polri yang langsung dibawah Presiden dan Polri langsung dibawah Komando seorang Jenderal Polisi yang bertanggungjawab kepada Presiden dalam pelaksanaan tugasnya tentunya merupakan bentuk penyimpangan dari negara Demokrasi (Pemerintahan Rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat).

Dengan demikian, agar kedudukan Polri dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sesuai dengan konsep negara demokrasi maka dalam pelaksanaan tugas dan adminsitrasinya harus dibawah Lembaga negara yang dipimpin oleh masyarakat sipil.

Seperti halnya TNI yang saat ini yang secara kebijakan dan administratif tidak berada secara langsung dibawah Presiden melainkan dibawah koordinasi Kementerian Pertanahanan.

Selain itu, kedudukan Polri yang langsung di bawah presiden akan cenderung dipolitisasi dan disalahgunakan untuk kepentingan kekuasaan. Meski diakui juga tidak ada jaminan bahwa perubahan kedudukan Polri di bawah kementerian tidak lagi mengundang politisasi oleh kekuasaan.

Akan tetapi, perubahan tersebut diyakini sedikit banyak akan memperkecil potensi politisasi dan penyalahgunaan Polri oleh kekuasaan. Perubahan kedudukan Polri menjadi di bawah kementerian atau Lembaga negara setingkat kementerian merupakan kelanjutan dari reformasi Polri pasca refomasi demi mewujudkan Polri yang profesional dan bukan alat kekuasaan, Polri harus menjadi sebagimana yang dikehendaki oleh UUD 1945 yaitu pelindung rakyat dan penjaga ketertiban.

Dengan kedudukan sebagaimana yang diatur dalam UU Kepolisian saat ini, Polri dianggap sebagai institusi yang super power dengan membela kepentingan penguasa dan karena langsung dibawah kekuasaan ditambah dengan kewenangan yang sangat besar terutama dalam penegakan hukum menyebabkan banyak oknum anggota Polri yang lupa daratan, lupa akan tugas dan fungsi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat, sehingga penyalahgunaan kewenangan (abuse Of Power) seolah-olah menjadi hal yang biasa.

Kekuasaan Polri dipandang sangat besar dengan kedudukannya di bawah Presiden sehingga seolah-olah menjadi alat kekuasaan penguasa dan tidak memiliki sense of crisis terhadap permasalahan yang ada di masyarakat.

Dengan kedudukan langsung di bawah Presiden sebagaimana yang diatur dalam UU Kepolisian saat ini, menyebabkan Polri beranggapan bahwa hanya Presiden yang dapat melakukan pengawasan terhadap Polri. Sementara itu, Presiden tentunya tidak akan mampu mengawasi Polri secara terus menerus dikarenakan Presiden sebagai Kepala Negara dan sebagai Kepala Pemerintahan juga sibuk dengan pelaksanaan tugas lainnya.

Disamping itu dari segi waktu  Presiden juga terbatas sehingga tidak akan mungkin ada pengawasan yang efektif terhadap kinerja Polri apalagi didalamnya terdapat oknum-oknum yang bermoral tidak baik. Sedangkan lembaga negara lain tidak akan didengarkan oleh Polri jikalau akan melakukan pengawasan karena Polri beranggapan bahwa secara vertical hanya bertanggungjawab kepada Presiden.

Dengan dilakukan perubahan kedudukan Polri dibawah Kementerian atau Lembaga Negara setingkat Kementerian maka pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi, tugas dan kewenangan Polri dapat berjalan dengan baik karena dapat dilakukan oleh banyak pihak termasuk dengan memperkuat fungsi Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Selain itu, apabila Polri dibawah Kementerian atau Lembaga Negara Setingkat Kementerian, maka nantinya akan dapat dilibatkan pengawas dari unsur masyrakat, sehingga Polri diharapkan dapat menjadi Polisi masyrakat yang dicintai serta dipercayai oleh masyarakat.

Berdasarkan UU Kepolisian, terdapat tumpang tindihnya tugas dan wewenang Kapolri. Selain sebagai penyelenggara operasional, Kapolri juga merumuskan berbagai kebijakan non operasional yang menentukan kebijakan strategis penyelenggaraan fungsi kepolisian negara. Dengan demikian ketentuan dalam UU Kepolisan yang menyatakan Kapolri memiliki kewenangan untuk menentukan kebijakan teknis operasional, dalam kenyataannya bisa lebih luas seperti lahirnya satgasus diluar struktur organisasi polri yang ada.

Padahal secara teori harus terjadi pemisahan yang tegas antara kekusaan pembetukan peraturan dan kekuasan melaksanakan peraturan. Keadaan yang demikian ini tentunya juga bertentangan dengan konsep negara demokrasi dan konsep pembagian/pemisahan kekuasaan yang tujuan utamanya adalah pembatasan kekuasaan agar tidak terjadi otoriter dalam menjalankan kekuasaan.

Hal ini terjadi dikarenakan dalam pengambilan kebijakan dan administrasi Kapolri tidak dalam koordinasi Lembaga Negara Lain.

*) Dosen tetap Program Studi Magister Hukum Universitas Pertiba Pangkal Pinang
Advokat pada Federasi Advokat Republik Indonesia

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini